Mencitai dan Mengikuti Ulama Jalan Menuju Kebenaran




Oleh Ali Wafa Abu Sulthon

Sebelum mencintai dan mengikuti Ulama yang perlu kita ketahui yaitu mengenal mereka { para ulama }siapa ulama itu dan cirinya bagaimana ? itu yang perlu kita bahas , secara definisi ulama adalah menurut ibnu Juraij rahimahullah menukilkan dari ‘Atha beliau berkata: “Barangsiapa yg mengenal Allah mk dia adl orang alim.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dlm kitab beliau Kitabul ‘Ilmi mengatakan: “Ulama adalah orang yg ilmunya menyampaikan mereka kepada sifat takut kepada Allah.”



Badruddin Al-Kinani rahimahullah mengatakan: “Mereka adl orang2 yg menjelaskan segala apa yg dihalalkan dan diharamkan dan mengajak kepada kebaikan serta menafikan segala bentuk kemudharatan.”
Abdus Salam bin Barjas rahimahullah mengatakan: “Orang yg pantas utk disebut sebagai orang alim jumlah sangat sedikit sekali dan tdk berlebihan kalau kita mengatakan jarang. Yang demikian itu krn sifat-sifat orang alim mayoritas tdk akan terwujud pada diri orang2 yg menisbahkan diri kepada ilmu pada masa ini. Bukan dinamakan alim bila sekedar fasih dlm berbicara atau pandai menulis orang yg menyebarluaskan karya-karya atau orang yg men-tahqiq kitab-kitab yg masih dlm tulisan tangan. Kalau orang alim ditimbang dgn ini mk cukup . Akan tetapi penggambaran seperti inilah yg banyak menancap di benak orang2 yg tdk berilmu. Oleh krn itu banyak orang tertipu dgn kefasihan seseorang dan tertipu dgn kepandaian berkarya tulis padahal ia bukan ulama. Ini semua menjadikan orang2 takjub. Orang alim hakiki adl yg mendalami ilmu agama mengetahui hukum-hukum Al Quran dan As Sunnah. Mengetahui ilmu ushul fiqih seperti nasikh dan mansukh mutlak muqayyad mujmal mufassar dan juga orang2 yg menggali ucapan-ucapan salaf terhadap apa yg mereka perselisihkan.” dimana mereka juga para ulama itu adalah hamba – hamba Allah Azza wa Jalla yang mempunyai rasa takut yang tinggi kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala dimana Allah berfirman dalam Al Qur’an :
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama." (Fathir: 28)
Tafsir ayat in diterangkan oleh Syeikh AbdulAziz bin Baz Rahimahullah bahwa Ayat ini adalah ayat yang sangat mulia, yang menjelaskan bahwa ulama itu adalah manusia yang sangat takut/patuh kepada Alloh, Agama-Nya, Kitab-Nya yang agung, dan Sunnah Rasul-Nya yang mulia. Dan kepatuhan mereka (ulama) itu sangat sempurna kepada Alloh subhanahu wata’ala. Adapun makna;
إنما يخشى الله adalah kepatuhan mereka yang sangat tinggi kepada Alloh, mereka yang mengenal Alloh dengan nama-namaNya, sifat-sifatNya dan mengagungkan hak-hakNya. Dan mereka (para ulama) adalah orang-orang yang memberikan perhatian kepada Syariat-syariat Alloh, mengetahui ganjaran di sisi-Nya berupa kenikmatan bagi orang-orang yang bertaqwa dan balasan adzab bagi orang-orang yang menentangNya dan bermaksiat kepada-Nya.
Dan mereka (ulama), karena keluasan ilmu mereka tentang Alloh, mereka menjadi orang yang paling takut/patuh kepada Alloh. Dan mereka adalah orang yang sangat takut kepada Alloh.
Dan diatas kepala mereka ada para Rosul dan Nabi-nabi alaihimussalam (mengemban amanat para rosul). Merekalah orang-orang yang paling bagus kepatuhannya kepada Alloh serta pengagungan kepadaNya. Kemudian mereka menjadi khalifah-khalifah (yang mengajak/memimpin manusia kepada) Alloh dan AgamaNya.
Dan makna ayat tersebut bukan berarti bahwa selain mereka (para ulama) tidak memiliki rasa takut/patuh kepada Alloh. Setiap muslim dan muslimah, mukmin dan mukminah juga memiliki rasa takut/patuh kepada Alloh Azza wa jalla. Namun, kepatuhan mereka kepada Alloh berbeda. Maka bagi orang-orang yang lebih mengenal dan mengetahui tentang Alloh dan Agama-Nya, mereka lebih takut/patuh kepada Alloh. Dan bagi orang-orang yang sedikit ilmu dan sedikit pengetahuan maka sedikitlah rasa takut mereka terhadap Alloh dan seikit pula kepatuhan mereka kepadaNya.
Dan manusia sangat berbeda-beda dalam masalah ini, sehingga (dapat dibedakan bahwa) ulama berbeda dengan manusia lainnya dalam hal kepatuhan/ketakutannya kepada Alloh sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Disamping pula ulama adalah pewaris para nabi yang memberikan nasehat kepada ummat ini sebagaimana sabda Rasulullah Shollahu alaihi wa sallam bersabda :
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ
يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ
فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), Ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu Dawud no. 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimahnya dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 182, dan Shahih At-Targhib, 1/33/68)
Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali mengatakan: “Kebijaksanaan Allah atas makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya yang mutlak atas mereka. Maka barang siapa yang mendapat hidayah maka itu wujud fadhilah (keutamaan) dari Allah dan bentuk rahmat-Nya. Barangsiapa yang menjadi tersesat, maka itu dengan keadilan Allah dan hikmah-Nya atas orang tersebut. Sungguh para pengikut nabi dan rasul menyeru pula sebagaimana seruan mereka. Mereka itulah para ulama dan orang-orang yang beramal shalih pada setiap zaman dan tempat, sebab mereka adalah pewaris ilmu para nabi dan orang-orang yang berpegang dengan sunnah-sunnah mereka. Sungguh Allah telah menegakkan hujjah melalui mereka atas setiap umat dan suatu kaum dan Allah merahmati dengan mereka suatu kaum dan umat. Mereka pantas mendapatkan pujian yang baik dari generasi yang datang sesudah mereka dan ucapan-ucapan yang penuh dengan kejujuran dan doa-doa yang barakah atas perjuangan dan pengorbanan mereka. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya atas mereka dan semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih dan derajat yang tinggi.” (Al-Manhaj Al-Qawim fi At-Taassi bi Ar-Rasul Al-Karim hal. 15)
Dan juga ulama adalah kunci – kunci Ilmu { Ad- Dien} bahwa ilmu akan diangkat oleh Allah Tabaroka wa Ta’ala dengan mewafatkan ulama sebagaimana Rasulullah Shollallahu alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ
الْعِباَدِ،
وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ
عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا
بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: Asy-Sya’bi berkata: “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari terbaliknya gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua urusan.”
Di dalam Shahih Al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ (riwayatnya sampai kepada Rasulullah): “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 60)
Meninggalnya seorang yang alim akan menimbulkan bahaya bagi umat. Keadaan ini menunjukkan keberadaan ulama di tengah kaum muslimin akan mendatangkan rahmat dan barakah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terlebih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengistilahkan mereka dalam sebuah sabdanya:
مَفاَتِيْحُ لِلِخَيْرِ وَمَغاَلِيْقُ لِلشَّرِّ
“Sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan dan sebagai penutup segala bentuk kejahatan.”
Kita telah mengetahui bagaimana kedudukan mereka dalam kehidupan kaum muslimin dan dalam perjalanan kaum muslimin menuju Rabb mereka. Semua ini disebabkan mereka sebagai satu-satunya pewaris para nabi sedangkan para nabi tidak mewariskan sesuatu melainkan ilmu.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Ilmu merupakan warisan para nabi dan para nabi tidak mewariskan dirham dan tidak pula dinar, akan tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang mengambil warisan ilmu tersebut, sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak dari warisan para nabi tersebut. Dan engkau sekarang berada pada kurun (abad, red) ke-15, jika engkau termasuk dari ahli ilmu engkau telah mewarisi dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ini termasuk dari keutamaan-keutamaan yang paling besar.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 16) dan dalam pada ini kita haru mengetahui mereka karena para ulama itu mengorbankan hidup mereka kepada Allah tabaroka wa Ta’ala yang mereka disebut ulama Rabbani dan beberapa Contoh-contoh Ulama Rabbani ini bukan untuk membatasi mereka akan tetapi sebagai permisalan hidup ulama walau mereka telah menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka hidup dgn jasa-jasa mereka terhadap Islam dan muslimin dan mereka hidup dgn karya-karya peninggalan mereka.
1. Generasi shahabat yg langsung dipimpin oleh empat khalifah Ar-Rasyidin: Abu Bakar ‘Umar ‘Utsman dan ‘Ali.
2. Generasi tabiin dan di antara tokoh mereka adl Sa’id bin Al-Musayyib ‘Urwah bin Az-Zubair ‘Ali bin Husain Zainal Abidin Muhammad bin Al-Hanafiyyah ‘Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud Salim bin Abdullah bin ‘Umar Al-Hasan Al-Basri Muhammad bin Sirin ‘Umar bin Abdul ‘Aziz dan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri .
3. Generasi atba’ at-tabi’in dan di antara tokoh-tokoh adl Al-Imam Malik Al-Auza’i Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri Sufyan bin ‘Uyainah Ismail bin ‘Ulayyah Al-Laits bin Sa’d dan Abu Hanifah An-Nu’man .
4. Generasi setelah mereka di antara tokoh adl Abdullah bin Al-Mubarak Waki’ bin Jarrah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Abdurrahman bin Mahdi Yahya bin Sa’id Al-Qaththan ‘Affan bin Muslim .
5. Murid-murid mereka di antara tokoh adl Al-Imam Ahmad bin Hanbal Yahya bin Ma’in ‘Ali bin Al-Madini .
6. Murid-murid mereka seperti Al-Imam Bukhari Al-Imam Muslim Abu Hatim Abu Zur’ah Abu Dawud At-Tirmidzi dan An-Nasai .
7. Generasi setelah mereka di antara Ibnu Jarir Ibnu Khuzaimah Ad-Daruquthni Al-Khathib Al-Baghdadi Ibnu Abdil Bar An-Numairi .
8. Generasi setelah mereka di antara adl Abdul Ghani Al-Maqdisi Ibnu Qudamah Ibnu Shalah Ibnu Taimiyah Al-Mizzi Adz-Dzahabi Ibnu Katsir berikut para ulama yg semasa mereka atau murid-murid mereka yg mengikuti manhaj mereka dlm berpegang dgn Al-Qur’an dan As-Sunnah sampai pada hari ini.
9. Contoh ulama di masa ini adl Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin BazAsy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Asy-Syaikh Muhammad Aman Al-Jami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dan selain mereka dari ulama yg telah meninggal di masa kita. Berikut Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan Asy-Syaikh Zaid Al-Madkhali Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad Asy-Syaikh Al-Ghudayyan Asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimi Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri dan Syaikh Yahya Al Hajury hafidhahullah dan selain mereka yg mengikuti langkah-langkah mereka di atas manhaj Salaf.
Dalam hal mencintai mereka dan mengikutinya didasari kepada Al-Qur’an dan As- Sunnah yang dipahami kepada pemahaman Salafusholeh yang berjalan pada jalan yang lurus dan para ulama itu tiada yang terjaga dan terbebas dari kesalahan dan dosa besar (ma’shum) selain para Nabi ‘alaihim sholatu wa salam. Setiap ulama -–termasuk para ulama sahabat radiyallahu ‘anhum— seberapapun tinggi kapasitas keilmuannya, bisa salah dan bisa benar. Pendapat, fatwa dan tindakan mereka bisa benar dan salah. Oleh karenanya, harus dikaji dan ditimbang berdasar Al-Qur’an, Al-Sunah dan ijma’. Apabila sesuai dengan ketiganya, berarti pendapatnya benar dan harus diterima, siapapun ulama Islam tersebut. Apabila menyelisihi ketiganya, berarti pendapatnya salah dan harus ditolak, siapapun ulama tersebut.
Sebagai konskuensinya, seorang muslim tidak boleh taklid buta kepada seorang ulama dengan menerima semua pendapat, fatwa dan tindakannya tanpa menghiraukan kebenaran dan kesalahannya, kesesuaian dan penyelisihannya terhadap Al-Qur’an, Al-Sunnah dan ijma’ ulama. Para ulama sejak generasi sahabat, tabi’in, tabi’u tabi’in sampai para ulama madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad, Al-Auza’i, Laits bin Sa’ad, Thabari, Daud Al-Dzahiri dan lain-lain) telah melarang umat Islam untuk taklid buta. Mereka memerintahkan umat Islam untuk menimbang pendapat mereka dengan Al-Qur’an, Al-Sunah dan ijma’. Bila bertentangan dengan ketiga dasar tersebut, pendapat mereka harus ditinggalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>