SUBHAT - SUBHAT DAN FITNAH PERAYAAN TAHUN BARU


                                                                Disusun Oleh
                                                           Ali Wafa Abu Sulthon



Tinggal menghitung jam ke depan, tahun 2010 akan segera berganti 2011, dan tahun 2010 akan menjelang. Ini tahun baru Masehi, tentu saja, karena tahun baru Hijriyah telah terjadi dua pekan yang lalu. Bagi kita orang Islam, ada apa dengan tahun baru Masehi?
Entah direncanakan atau sekadar latah, pada malam itu orang-orang seakan secara serempak melonggarkan moralitas dan kesusilaan. Bunyi terompet diselingi gelak tawa (bahkan dengan minuman keras) bersahut-sahutan di setiap tempat. Sepeda motor mengepulkan asap hingga mirip ‘dapur berjalan’ meraung-raung. Mobil-mobil membunyikan klakson sepanjang jalan. Cafe, diskotik dan tempat-tempat hiburan malam sesak padat. Orang-orang ‘tumpah’ di jalanan dengan satu tujuan: merayakan Tahun Baru.

Sebenarnya tahun Masehi adalah tahun yang baru bagi bangsa Indonesia, karena ia tidak memiliki akar kultur dan tradisi dalam sejarah bangsa ini. Ada beberapa faktor yang dapat mendukung anggapan ini.

Pertama, latarbelakang sosio-historis. Berlakunya tahun Masehi tidak bisa dipisahkan dari pengaruh teologi (keagamaan) Kristen, yang dianut oleh masyarakat Eropa. Kalender ini baru diberlakukan di Indonesia pada tahun 1910 ketika berlakunya Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap atas seluruh rakyat Hindia Belanda.

Kedua, karena latarbelakang teologis. Sebagaimana diketahui, kalender Gregorian diciptakan sebagai ganti kalender Julian yang dinilai kurang akurat, karena awal musim semi semakin maju, akibatnya, perayaan Paskah yang sudah disepakati sejak Konsili Nicea I pada tahun 325, tidak tepat lagi.

Kalender Hijriyah, disebut sebagai kalender Islam (at-taqwim al-hijri), karena ditetapkan sejak hijrahnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Ia ditetapkan sebagai tahun Islam setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam wafat atas inisiatif Khalifah kedua, Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhu pada tahun 638 M (17 H). Hijrah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ditetapkan sebagai awal kalender Islam, menyisihkan dua pendapat lainnya, yaitu hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan hari wafat beliau.

Sejak kedatangan Islam hingga awal abad ke-20, kalender Hijriyah berlaku di nusantara. Bahkan raja Karangasem, Ratu Agung Ngurah yang beragama Hindu, dalam surat-suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Otto van Rees yang beragama Nasrani, masih menggunakan tarikh 1313 Hijriyah (1894 M).

Jadi secara historis dan kultural bangsa kita pun, tahun baru Masehi tidak perlu dirayakan. Terlebih lagi jika ditinjau dari sisi akidah al wala' wal bara' (loyalitas dan pelepasan diri) dalam agama Islam.
Meski demikian, hal ini tidak bisa secara otomatis dijadikan sebagai justifikasi pentingnya merayakan tahun baru Hijriyah yang juga tinggal menghitung hari. Mengingat sejauh ini tidak ditemukan teks agama yang menganjurkan perayaan tahun baru Hijriyah.

ULAMA MENYIKAPI HARI RAYA NON-MUSLIM (NATAL/TAHUN BARU)
Fatwa Syaikh Muhammad Ibn Shalih al Utsaimin—rahimahullah
Pertanyaan:
Apa hukumnya mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan hari besar keagamaan mereka? (Misal: Merry Christmas, Selamat hari Natal dan Tahun Baru dst, red.). Dan bagaimana kita menyikapi mereka jika mereka mengucapkan selamat Natal kepada kita. Dan apakah dibolehkan pergi ke tempat-tempat di mana mereka merayakannya? Dan apakah seorang Muslim berdosa jika ia melakukan perbuatan tersebut tanpa maksud apapun, akan tetapi ia melakukannya hanya karena menampakkan sikap tenggang rasa, atau karena malu atau karena terjepit dalam situasi yang canggung, atau pun karena alasan lainnya. Dan apakah dibolehkan menyerupai mereka dalam hal ini?
Jawaban:
Mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan Natal atau hari besar keagamaan lainnya dilarang menurut ijma’ (kesepakatan ulama). Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim—rahimahullah—dalam bukunya Ahkamu Ahlidz-dzimmah, beliau berkata, “Mengucapkan selamat terhadap syiar-syiar kafir yang menjadi ciri khasnya adalah haram, menurut kesepakatan. Seperti memberi ucapan selamat kepada mereka pada hari-hari rayanya atau puasanya, sehingga seseorang berkata, “Selamat hari raya”, atau ia mengharapkan agar mereka merayakan hari rayanya atau hal lainnya. Maka dalam hal ini, bisa jadi orang yang mengatakannya terlepas dari jatuh ke dalam kekafiran, namun (sikap yang seperti itu) termasuk ke dalam hal-hal yang diharamkan. Ibarat dia mengucapkan selamat atas sujudnya mereka pada salib. Bahkan ucapan selamat terhadap hari raya mereka dosanya lebih besar di sisi Allah dan jauh lebih dibenci dari pada memberi selamat kepada mereka karena meminum alkohol dan membunuh seseorang, berzina dan perkara-perkara yang sejenisnya. Dan banyak orang yang tidak paham agama terjatuh ke dalam perkara ini. Dan ia tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Maka siapa yang memberi selamat kepada seseorang yang melakukan perbuatan dosa, atau bid’ah, atau kekafiran, berarti ia telah membuka dirinya kepada kemurkaan Allah.” Akhir dari perkataan Syaikh (Ibnul Qoyyim—rahimahullah).

Haramnya memberi selamat kepada orang kafir pada hari raya keagamaan mereka sebagaimana perkataan Ibnul Qoyyim adalah karena di dalamnya terdapat persetujuan atas kekafiran mereka, dan menunjukkan ridha dengannya. Meskipun pada kenyataannya seseorang tidak ridha dengan kekafiran, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk meridhai syiar atau perayaan mereka, atau mengajak yang lain untuk memberi selamat kepada mereka. Karena Allah  tidak meridhai hal tersebut, sebagaimana Allah Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman, artinya,

“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” [QS. Az Zumar 39: 7].

Dan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala juga berfirman, artinya,

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan bagimu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [QS. Al Maaidah: 3]

Maka memberi selamat kepada mereka dengan ini hukumnya haram, sama saja apakah terhadap mereka (orang-orang kafir) yang terlibat bisnis dengan seseorang (Muslim) atau tidak. Jadi, jika mereka memberi selamat kepada kita dengan ucapan selamat hari raya mereka, kita dilarang menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita, dan hari raya mereka tidaklah diridhai Allah, karena hal itu merupakan salah satu yang diada-adakan (bid’ah) di dalam agama mereka, atau hal itu ada syariatnya tapi telah dihapuskan oleh agama Islam yang Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, telah diutus dengannya untuk semua makhluk. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman tentang Islam, artinya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [QS. Ali ‘Imran: 85].

Dan bagi seorang Muslim, memenuhi undangan mereka untuk menghadiri hari rayanya hukumnya haram. Karena hal ini lebih buruk dari pada hanya sekadar memberi selamat kepada mereka, di mana di dalamnya akan menyebabkannya turut berpartisipasi dengan mereka. Juga diharamkan bagi seorang Muslim untuk menyerupai atau meniru-niru orang kafir dalam perayaan mereka dengan mengadakan pesta, atau bertukar hadiah, atau membagi-bagikan permen atau makanan, atau libur kerja, atau yang semisalnya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka”.


Dalih toleransi sering dijadikan alasan sebagian kaum Muslimin untuk turut berpartisipasi dalam perayaan hari-hari besar agama lain. Padahal, hari raya adalah masalah agama dan akidah, bukan masalah keduniaan, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam sabda beliau kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu pada hari Idul Fitri,

إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَهَذَا عِيْدُنَا

”Setiap kaum memiliki hari raya, dan ini (Idul Fitri) adalah hari raya kita.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, turut merayakannya berarti ikut serta dalam ritual ibadah mereka. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, dan dinyatakan hasan shahih oleh Al-Albani).
Imam Al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhuma beliau pernah berkata,
“Barangsiapa lewat di negeri non Arab, lalu mereka sedang merayakan Hari Nairuz dan festival keagamaan mereka, lalu ia meniru mereka hingga mati, maka demikianlah ia dibangkitkan bersama mereka di Hari Kiamat nanti.” (Lihat Ahkaamu Ahlidz Dzimmah I/723-724).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah—rahimahullah—berkata, “Adapun apabila seorang Muslim menjual kepada mereka pada hari-hari raya mereka segala yang mereka gunakan pada hari raya tersebut, berupa makanan, pakaian, minyak wangi dan lain-lain, atau menghadiahkannya kepada mereka, maka itu termasuk menolong mereka mengadakan hari raya mereka yang diharamkan. Dasarnya adalah kaidah yang mengatakan tidak boleh menjual anggur kepada orang kafir yang jelas digunakan untuk membuat minuman keras. Juga tidak boleh menjual senjata kepada mereka bila digunakan untuk memerangi kaum Muslimin.” Kemudian beliau menukil dari Abdul Malik bin Habib dari kalangan ulama Malikiyyah, “Sudah jelas bahwa kaum Muslimin tidak boleh menjual kepada orang-orang Nashrani sesuatu yang menjadi kebutuhan hari raya mereka, baik itu daging, lauk-pauk atau pakaian. Juga tidak boleh memberikan kendaraan kepada mereka, atau memberikan pertolongan untuk hari raya, karena yang demikian itu termasuk memuliakan kemusyrikan mereka dan menolong mereka dalam kekufuran mereka.” (Al-Iqtidhaa 229-231).

Maka jelas kita bertasyabbuh, meridhai dan berpartisipasi dalam kegiatan mereka, apabila kita bersukaria, berpesta, memakan makanannya, berpartisipasi dalam acara non Muslim, memberi hadiah, memberi ucapan selamat, menjual kartu selamat, menjual segala keperluan hari raya mereka, baik itu lilin, pohon natal, makanan, kalkun, kue dan lain-lainnya.

Sejarah Tahun Baru Masehi
Perayaan Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Perayaan Tahun Baru
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.
Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.
Perayaan Tahun Baru Zaman Dulu
Seperti kita ketahu, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).

Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year's Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan "Selamat Tahun Baru" dan menyanyikan Auld Lang Syne.Di negara-negara lain, termasuk Indonesia? Sama saja!

Bagi kita, orang Islam, merayakan tahun baru Masehi bukanlah bersumber dari ajaran Islam , di mana bertentangan dengan Ajaran Islam itu tentu saja akan semakin ikut andil dalam menghapus jejak-jejak sejarah Islam yang hebat. Selengkapnya...

Keutamaan Seorang Ibu

 Oleh  : Ali Wafa Abu Sulthon



Ibu adalah sosok manusia yang dalam pandangan Islam untuk melahirkan, merawat, mendidik , mengayomi, membimbing dan memperbudikan generasi - generasi yang sholeh dan sholehah sebagai jembatan menuju keridhaan Allah Azza Wa Jallah .Mengapa kaum ibu sedemikian diutamakan? Karena mereka adalah fihak yang sejak masih mengandung anak saja sudah merasakan beban memikul tanggung-jawab membesarkan anak-anaknya. Mereka adalah pendamping, penyayang, pengasuh dan pengajar pertama dan utama bagi seorang anak. 
Dalam pepatah Arab ada ungkapan berbunyi Al-Ummu madrasah (ibu adalah sekolah). Benar, saudaraku. Seorang ibu merupakan sekolah pertama bagi setiap anak. Ibulah yang pertama kali mengajarkan banyak pelajaran awal tentang kehidupan kepada anak. Apalagi di zaman penuh fitnah seperti sekarang dimana al-ghazwu al-fikri (perang pemikiran/ perang budaya/ perang ideologi) datang menyerbu rumah-rumah kaum muslimin. Serbuan itu datang dari berbagai penjuru. Bisa dari televisi, internet, facebook, buku bacaan, komik, majalah, nyanyian, musik, pergaulan bahkan dari sekolah formal...! Maka kehadiran seorang ibu yang memiliki wawasan pengetahuan luas menjadi laksana penjaga benteng terakhir bagi anak-anaknya. Ibulah yang bertugas membentengi, memfilter dan mengarahkan anak-anak menghadapi berbagai serbuan perang budaya tadi.
Islam mengajarkan bahwa kaum ibu merupakan fihak yang sangat istimewa dan tinggi derajatnya. Oleh karena itu kita sangat akrab dengan hadits yang menjelaskan keharusan seorang sahabat agar memprioritaskan berbuat baik kepada ibunya. Bahkan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyebutkan keharusan tersebut sebanyak tiga kali sebelum beliau akhirnya juga menganjurkan sahabat tadi agar berbuat baik kepada ayahnya. Jadi ibaratnya keharusan menghormati dan berbuat baik seorang anak kepada ibunya sepatutnya lebih banyak tiga kali lipat daripada penghormatan dan perilaku baiknya terhadap sang ayah.
أَخْبَرَنَا بَهْزُ بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي قَالَ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَبَرُّ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ
قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ
ثُمَّ أَبَاكَ ثُمَّ الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ
Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada siapa aku berbuat kebaikan?. Beliau bersabda: "Ibumu." Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: "Ibumu." Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: "Ibumu." Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: "Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat." (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ الْكَبَائِرِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ
Dari Anas ia berkata: Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ditanya mengenai dosa-dosa besar, maka beliau bersabda: “Mempersekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang-tua, membunuh jiwa dan kesaksian palsu.” (HR Bukhary
Bahkan di dalam hadits lainnya disebutkan bahwa kedua orang-tua merupakan faktor yang sangat besar mempengaruhi apakah seseorang bakal menuju ke surga ataukah ke neraka. Artinya, perilaku baik seseorang kepada kedua orang-tuanya bakal memperbesar kemungkinannya berakhir di dalam rahmat Allah dan surga-Nya. Sedangkan kedurhakaannya kepada kedua orang-tua bakal memperbesar kemungkinan hidupnya berakhir di dalam murka Allah dan neraka-Nya.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
مَا حَقُّ الْوَالِدَيْنِ عَلَى وَلَدِهِمَا قَالَ هُمَا جَنَّتُكَ وَنَارُكَ
Dari Abi Umamah ia berkata: “Ada seorang lelaki berkata: “Ya Rasulullah, apakah hak kedua orang-tua atas anak mereka?” Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Keduanya (merupakan) surgamu dan nerakamu.” (HR Ibnu Majah)

Hal ini sejalan dengan hadits berikut ini: Dari Abdullah Ibnu Amar al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua." (HR Tirmidzi)
Namun yang menarik ialah ditemukannya hadits yang secara khusus mengungkapkan haramnya durhaka kepada sang ibu. Sedangkan hal ini tidak kita temukan dalam kaitan dengan larangan berlaku durhaka kepada sang ayah. Sudah barang tentu ini tidak berarti bahwa berlaku durhaka kepada fihak ayah dibenarkan. Yang jelas dengan adanya larangan khusus berlaku durhaka kepada fihak ibu cuma menunjukkan betapa ajaran Islam sangat menjunjung tinggi martabat kaum ibu. Selengkapnya...

IKHLAS TOLAK UKUR AMAL SESEORANG


 Disusun Oleh Ali Wafa Abu Sulthon

Di dalam diri manusia terdapat hati yang sebagai tempat dari niat seseorang dalam melakukan suatu perbuatan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Salih Utsaimin bahwa niat itu tempatnya di hati ( kitab syarah Riydhussolihin Bab Niat )bukan di lisan seseorang sebagaimana di terangkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  dari Amirul Mu’minin, (Abu Hafsh atau Umar bin Khottob rodiyallohu’anhu) dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’” (Diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin Mughiroh bin Bardizbah Al-Bukhori dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusairy An-Naisabury di dalam kedua kitab mereka yang merupakan kitab paling shahih diantara kitab-kitab hadits)[1]
Kedudukan Hadits
Materi hadits pertama ini merupakan pokok agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ada Tiga hadits yang merupakan poros agama, yaitu hadits Úmar, hadits Aísyah, dan hadits Nu’man bin Basyir.” Perkataan Imam Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan diantara halal dan haram tersebut ada yang mustabihat (hadits Nu’man bin Basyir). Untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar), dan harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits Aísyah).
Setiap Amal Tergantung Niatnya
Diterima atau tidaknya dan sah atau tidaknya suatu amal tergantung pada niatnya. Demikian juga setiap orang berhak mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya dalam beramal. Dan yang dimaksud dengan amal disini adalah semua yang berasal dari seorang hamba baik berupa perkataan, perbuatan maupun keyakinan hati.
Fungsi Niat
Niat memiliki 2 fungsi:
1. Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan.
2. Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya.
Pengaruh Niat yang Salah Terhadap Amal Ibadah
Jika para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:
1. Niat sebagai syarat sahnya ibadah, yaitu istilah niat yang dipakai oleh fuqoha’.
2. Niat sebagai syarat diterimanya ibadah, dengan istilah lain: Ikhlas.
Niat pada pengertian yang ke-2 ini, jika niat tersebut salah (tidak Ikhlas) maka akan berpengaruh terhadap diterimanya suatu amal, dengan perincian sebagai berikut:
a. Jika niatnya salah sejak awal, maka ibadah tersebut batal.
b. Jika kesalahan niat terjadi di tengah-tengah amal, maka ada 2 keadaan:
- Jika ia menghapus niat yang awal maka seluruh amalnya batal.
- Jika ia memperbagus amalnya dengan tidak menghapus niat yang awal, maka amal tambahannya batal.
c. Senang untuk dipuji setelah amal selesai, maka tidak membatalkan amal.
Beribadah dengan Tujuan Dunia
Pada dasarnya amal ibadah hanya diniatkan untuk meraih kenikmatan akhirat. Namun terkadang diperbolehkan beramal dengan niat untuk tujuan dunia disamping berniat untuk tujuan akhirat, dengan syarat apabila syariát menyebutkan adanya pahala dunia bagi amalan tersebut. Amal yang tidak tercampur niat untuk mendapatkan dunia memiliki pahala yang lebih sempurna dibandingkan dengan amal yang disertai niat duniawi.
Hijrah
Makna hijrah secara syariát adalah meninggalkan sesuatu demi Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah artinya mencari sesuatu yang ada disisi-Nya, dan demi Rasul-Nya artinya ittiba’ dan senang terhadap tuntunan Rasul-Nya.
Bentuk-bentuk Hijrah:
1. Meninggalkan negeri syirik menuju negeri tauhid.
2. meninggalkan negeri bidáh menuju negeri sunnah.
3. Meninggalkan negeri penuh maksiat menuju negeri yang sedikit kemaksiatan.
Ketiga bentuk hijrah tersebut adalah pengaruh dari makna hijrah.

Catatan Kaki:


Sumber: Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh
Selengkapnya...

Sejarah Sekte Teroris Khawarij



 Disusun Oleh Ali Wafa Abu Sulthon

Tidakkah kita ingat sejarah hitam kaum Teroris  Khawarij yang diabadikan di dalam kitab-kitab hadits? Sebuah sekte yang diperselisihkan status keislamannya oleh para ulama (yang kuat mereka tidak dikafirkan, lihat al-Minhaj Syarh Muslim bin al-Hajjaj [4/390 dan 393]). Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki ciri khas pandai membaca al-Qur’an dan menghafalkannya, suka mengusung slogan keadilan dan pembelaan rakyat yang tertindas guna menghalalkan pemberontakan kepada penguasa muslim. Berawal dari kedangkalan berpikir mereka, akhirnya hal itu menyeret mereka ke jurang kebid’ahan yang mengerikan. Mereka bunuhi umat Islam sementara para pegiat kemusyrikan justru mereka biarkan.
Nah, berikut ini kami nukilkan sebagian hadits yang mengisahkan tentang kekejian manhaj kaum Teroris Khawarij dan sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat dalam menghadapi mereka. Agar jelas bagi siapa saja bahwa sikap ulama Ahlus Sunnah as-Salafiyun -pengikut salafus shalih- dalam memerangi Khawarij dan pemikiran mereka bukanlah karena motif menjilat penguasa atau mencari muka di hadapan mereka, namun hal itu mereka lakukan semata-mata demi ‘melanjutkan kehidupan Islam’ sebagaimana yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tentu saja dengan cara meneladani metode perjuangan generasi terbaik dari umat ini.
Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma menceritakan,
أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْجِعْرَانَةِ مُنْصَرَفَهُ مِنْ حُنَيْنٍ وَفِى ثَوْبِ بِلاَلٍ فِضَّةٌ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْبِضُ مِنْهَا يُعْطِى النَّاسَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ اعْدِلْ. قَالَ « وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ لَقَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ ». فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضى الله عنه دَعْنِى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَقْتُلَ هَذَا الْمُنَافِقَ. فَقَالَ « مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ يَتَحَدَّثَ النَّاسُ أَنِّى أَقْتُلُ أَصْحَابِى إِنَّ هَذَا وَأَصْحَابَهُ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْهُ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ».
“Ada seorang lelaki yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ji’ranah -nama tempat- sepulangnya beliau dari -peperangan- Hunain, ketika itu di atas kain Bilal terdapat perak yang diambil sedikit demi sedikit oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibagikan kepada orang-orang. Kemudian lelaki itu mengatakan, ‘Hai Muhammad, berbuat adillah!’. Maka Nabi menjawab, ‘Celaka kamu! Lalu siapa lagi yang mampu berbuat adil jika aku tidak berbuat adil. Sungguh kamu pasti telah celaka dan merugi jika aku tidak berbuat adil.’ Maka Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu berkata, ‘Biarkanlah saya wahai Rasulullah untuk menghabisi orang munafiq ini.’ Maka beliau bersabda, ‘Aku berlindung kepada Allah, jangan sampai orang-orang nanti mengatakan bahwa aku telah membunuh para sahabatku sendiri. Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya adalah suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka. Mereka keluar darinya sebagaimana keluarnya anak panah yang menembus sasaran bidiknya.’.” (HR. Muslim)
an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ungkapan ‘mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggrorokan mereka’ memiliki dua penafsiran. Pertama, dimaknakan bahwa hati mereka tidak memahami isinya dan tidak bisa memetik manfaat darinya selain membaca saja. Kedua, dimaknakan amal dan bacaan mereka tidak bisa diterima oleh Allah (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/389] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأَوْثَانِ يَمْرُقُونَ مِنَ الإِسْلاَمِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ
“Sesungguhnya di belakang orang ini akan muncul suatu kaum yang rajin membaca al-Qur’an namun tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka. Mereka membunuhi umat Islam dan justru meninggalkan para pemuja berhala. Mereka keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari sasaran bidiknya. Apabila aku menemui mereka, niscaya aku akan membunuh mereka dengan cara sebagaimana terbunuhnya kaum ‘Aad.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)
an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Di dalam hadits ini terkandung dorongan untuk memerangi mereka -yaitu Khawarij- serta menunjukkan keutamaan Ali radhiyallahu’anhu yang telah memerangi mereka.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/391] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)
Mereka bukanlah orang yang malas beribadah, bahkan mereka adalah sosok yang menakjubkan dalam ketekunan dan kesungguhan beribadah. Namun di sisi yang lain, mereka telah menyimpang dari manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sehingga membuat mereka layak menerima ancaman dan hukuman yang sangat-sangat berat, yaitu hukum bunuh!
Dalam teks riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ciri mereka,
فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ
“Sesungguhnya orang ini -Dzul Khuwaishirah, gembong Khawarij,pent- akan memiliki pengikut-pengikut yang membuat salah seorang di antara kalian meremehkan sholatnya apabila dibandingkan dengan sholat mereka, dan meremehkan puasanya apabila dibandingkan dengan puasa mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَيَخْرُجُ فِى آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِى قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Akan muncul di akhir masa ini nanti sekelompok orang yang umurnya masih muda-muda dan lemah akalnya. Apa yang mereka ucapkan adalah perkataan manusia yang terbaik. Mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak sampai melewati pangkal tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama seperti halnya anak panah yang melesat dari sasaran bidiknya. Apabila kalian menjumpai mereka maka bunuhlah mereka. Karena sesungguhnya dengan terbunuhnya mereka maka orang yang membunuhnya itu akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat kelak.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)
an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Hadits ini menegaskan wajibnya memerangi Khawarij dan pemberontak negara, dan hal itu merupakan perkara yang telah disepakati oleh segenap ulama.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/397] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)
Ubaidullah bin Abi Rafi’ radhiyallahu’anhu -salah seorang bekas budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- menceritakan bahwa ketika terjadi pemberontakan kaum Haruriyah (Khawarij) sedangkan saat itu dia bersama pihak Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, mereka -kaum Khawarij- mengatakan, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah.” Maka Ali bin Abi Thalib pun menanggapi ucapan mereka dengan mengatakan, “Itu adalah ucapan yang benar namun dipakai dengan maksud yang batil…” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafaz Muslim)
Dalam riwayat lainnya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menyatakan tentang betapa buruknya mereka,
هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ
“Mereka itu adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu)
Mewaspadai al-Qa’adiyah Gaya Baru
al-Qa’adiyah merupakan salah saktu sekte Khawarij yang memiliki ideologi Khawarij, hanya saja mereka tidak memilih sikap memberontak. Meskipun demikian, mereka menganggap pemberontakan sebagai perkara yang baik, tidak boleh diingkari, bahkan berpahala! Dengan kata lain -dalam bahasa sekarang- mereka menilai bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh rekan-rekan mereka -dengan menimbulkan kekacauan dan mengancam penguasa; bom bunuh diri dan semisalnya- bukan perkara yang salah, alias hasil ijtihad yang harus dihargai dan layak untuk diberi pahala [?!].
Sampai-sampai salah seorang tokoh mereka di negeri ini berkata, “Menurut saya mereka -teroris- adalah mujahid. Dan apa yang mereka lakukan itu merupakan hasil ijtihad mereka. Walaupun saya tidak sependapat dengan -hasil ijtihad- mereka.” Maha Suci Allah dari ucapan mereka!
Ketika menjelaskan biografi ringkas Imran bin Hitthan -salah seorang perawi hadits yang terseret paham Khawarij- Ibnu Hajar berkata, “al-Qa’adiyah adalah salah satu sekte dari kelompok Khawarij. Mereka berpendapat sebagaimana pendapat Khawarij, namun mereka tidak ikut melakukan pemberontakan. Akan tetapi mereka menghias-hiasi/menilai baik perbuatan itu.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Sebelumnya, Ibnu Hajar juga menukil ucapan Abul Abbas al-Mubarrid, “Imran bin Hitthan adalah gembong kelompok al-Qa’adiyah dari aliran Shafariyah. Dia adalah khathib/orator dan penya’ir di kalangan mereka.” (Hadyu as-Sari, hal. 577).
Imran bin Hitthan inilah yang meratapi kematian Abdurrahman bin Muljam -sang pembunuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu- dengan untaian bait-bait sya’irnya yang heroik. Dikisahkan bahwa pada akhir hidupnya dia kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan paham Khawarij, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Zakariya al-Mushili di dalam Tarikh al-Mushil (lihat Hadyu as-Sari, hal. 577,578, lihat juga Tahdzib at-Tahdzib [8/128] as-Syamilah)
Ibnu Hajar mengatakan,
والقَعَدية الذين يُزَيِّنون الخروجَ على الأئمة ولا يباشِرون ذلك
“al-Qa’adiyah adalah orang-orang yang menghias-hiasi perbuatan pemberontakan kepada para pemimpin -umat Islam- dan mereka tidak ikut terjun langsung dalam tindakan tersebut.” (Hadyu as-Sari, hal. 614 cet Dar al-Hadits)
as-Syahrastani mengatakan,
كل من خرج على الإمام الحق الذي اتفقت الجماعة عليه يُسمى خارجياً سواء كان الخروج في أيام الصحابة على الأئمة الراشدين أو كان بعدهم على التابعين بإحسان والأئمة في كل زمان
“Setiap orang yang memberontak kepada pemimpin yang sah yang disepakati oleh rakyat sebagai pemimpin mereka maka dia disebut sebagai Khariji (kata tunggal dari Khawarij). Sama saja apakah dia melakukan pemberontakan itu di masa sahabat masih hidup kepada para pemimpin yang lurus atau setelah masa mereka yaitu kepada para tabi’in yang senantiasa mengikuti pendahulu mereka dengan baik serta para pemimpin umat di sepanjang masa.” (al-Milal wa an-Nihal [1/28] as-Syamilah)
Salah satu pemikiran Khawarij yang berkembang saat ini -terutama di kalangan sebagian pemuda Islam yang bersemangat tapi tanpa ilmu- adalah pendapat yang membolehkan -tidak harus- untuk memberontak kepada pemimpin muslim yang zalim (lihat mukadimah kitab al-Khawarij wal Fikru al-Mutajjaddid karya Syaikh Abdul Muhsin bin Nashir al-Ubaikan, hal. 6). Sebagaimana pula keterangan semacam ini pernah kami dengar dari perkataan Syaikh Abdul Malik Ramadhani -hafizhahullah- dalam sebuah rekaman video ceramah beliau ketika memberikan pelajaran kitab asy-Syari’ah karya Imam al-Ajurri.
Bom Bunuh Diri Bukan Jihad
Di manakah letak ilmu pada diri orang yang melakukan bom bunuh diri dan menyuruh orang lain untuk bunuh diri? Padahal Allah ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (QS. an-Nisaa’: 29)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu alat/senjata maka dia akan disiksa dengannya kelak pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin ad-Dhahhak radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)
Ketika mengomentari ulah sebagian orang yang nekad melakukan bom bunuh diri dengan alasan untuk menghancurkan musuh, maka Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Hanya saja kami katakan, orang-orang itu yang kami dengar melakukan tindakan tersebut, kami berharap mereka tidak disiksa seperti itu sebab mereka adalah orang-orang yang jahil/bodoh dan melakukan penafsiran yang keliru. Akan tetapi, tetap saja mereka tidak memperoleh pahala, dan mereka bukan orang-orang yang syahid dikarenakan mereka telah melakukan sesuatu yang tidak diijinkan oleh Allah, akan tetapi mereka telah melakukan apa yang dilarang oleh-Nya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, dinukil dari al-Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu Utsaimin, hal. 109)
Di manakah letak ilmu pada diri orang yang membunuh nyawa orang kafir tanpa hak? Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barang siapa yang membunuh seorang kafir yang terikat perjanjian maka dia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya baunya itu akan tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jizyah dan Kitab ad-Diyat dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, lafaz ini ada di dalam Kitab al-Jizyah)
al-Munawi menjelaskan bahwa ancaman yang disebutkan di dalam hadits ini merupakan dalil bagi para ulama semacam adz-Dzahabi dan yang lainnya untuk menegaskan bahwa perbuatan itu -membunuh kafir mu’ahad- termasuk kategori dosa besar (Faidh al-Qadir [6/251] as-Syamilah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حتَّى يَشْهَدُوا أنْ لا إلَهَ إلاَّ الله، وأَنَّ مُحَمَّداً رسولُ اللهِ، ويُقيموا الصَّلاةَ ، ويُؤْتُوا الزَّكاةَ ، فإذا فَعَلوا ذلكَ ، عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءهُم وأَموالَهُم، إلاَّ بِحَقِّ الإسلامِ ، وحِسَابُهُم على اللهِ تَعالَى
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan alasan haq menurut Islam, dan hisab mereka terserah pada Allah ta’ala” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh -hafizhahullah- (beliau adalah menteri Urusan Keislaman Arab Saudi) menerangkan bahwa di dalam kata-kata “apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku” terdapat dalil yang menunjukkan bahwa orang kafir itu hartanya boleh diambil dan darahnya boleh ditumpahkan. Dan orang yang dimaksud di dalam hadits ini adalah kafir harbi, yaitu orang kafir yang sedang terlibat peperangan dengan pasukan kaum muslimin. Oleh sebab itu misalnya jika anda mengambil harta seorang kafir harbi maka tidak ada hukuman bagi anda. Adapun orang kafir mu’ahad, kafir musta’man dan kafir dzimmi -ketiganya bukan kafir harbi,pen- maka mereka semua tidak boleh diperangi (lihat Syarah Arba’in, hal. 63)
Siapakah Wahabi/Salafi?
Syaikh Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi hafizhahullah -beliau adalah guru besar Aqidah di Universitas Islam Madinah- menerangkan di dalam kitabnya ‘Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid Asma’ wa Shifat’ [halaman 54] bahwa pendapat yang benar lagi populer ialah pendapat jumhur ulama Ahlis Sunnah wal Jama’ah yaitu yang menyatakan bahwa salafush shalih itu mencakup tiga generasi yang diutamakan dan telah dipersaksikan kebaikannya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Sebaik-baik manusia adalah di jamanku, kemudian sesudah mereka, kemudian sesudahnya lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sehingga istilah salafush shalih itu mencakup sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Syaikh at-Tamimi mengatakan, “Dan setiap orang yang meniti jalan mereka dan berjalan di atas metode/manhaj mereka maka dia disebut salafi, sebagai penisbatan kepada mereka.” (Mu’taqad, hal. 54).
Beliau juga memaparkan [halaman 54] bahwa salafiyah adalah manhaj yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta generasi yang diutamakan sesudah beliau. Nabi telah memberitakan bahwa manhaj salaf ini akan tetap ada hingga datangnya hari kiamat. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan senantiasa ada segolongan manusia di antara umatku yang selalu menang di atas kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka sampai datang ketetapan Allah sementara mereka tetap dalam keadaan menang.” (HR. Muslim)
Kemudian, Syaikh at-Tamimi juga menegaskan [halaman 55] bahwa perkara yang dibenarkan apabila seorang menyandarkan diri kepada manhaj salaf ini selama dia konsisten menetapi syarat-syarat dan kaidah-kaidahnya. Maka siapa pun yang menjaga keselamatan aqidah dan amalnya sehingga sesuai dengan pemahaman tiga generasi yang utama tersebut, maka dia adalah orang yang bermanhaj salaf.
Di tempat yang lain [halaman 63] beliau mengatakan, “Terkadang para ulama menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai pengganti istilah salaf.”
Dari pemaparan ringkas di atas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa istilah salaf atau salafi sebenarnya adalah istilah yang sudah sangat terkenal dalam pembicaraan para ulama. Mereka itu tidak lain adalah para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Orang-orang yang mengikuti manhaj Salaf inilah yang biasa dijuluki dengan gelar ‘Wahabi’. Yang amat disayangkan adalah, sebagian pemuda yang terseret dalam paham Khawarij -sebagaimana sudah diterangkan di atas- juga merasa bahwa dirinya adalah penganut ajaran Wahabi. Sehingga itulah salah satu faktor pemicu munculnya anggapan bahwa Wahabi itu ada dua golongan yaitu Wahabi Salafi dan Wahabi Jihadi (yaitu yang menebar teror berkedok jihad). Padahal, para ulama Salafi berlepas diri dari tindakan-tindakan brutal yang mereka perbuat, sebagaimana sudah dipaparkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin di atas.
Reaksi Yang Salah
Dengan mencermati beberapa keterangan di atas, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa salah satu sebab utama munculnya aksi-aksi bom bunuh diri dan perusakan tempat-tempat umum dengan mengatasnamakan jihad adalah racun pemikiran Khawarij yang bercokol di dada sebagian pemuda yang ‘cetek’ pemahaman agamanya. Mereka sama sekali tidak berjalan di bawah bimbingan para ulama Rabbani. Semangat mereka membara, namun ilmu yang mereka miliki tidak cukup untuk menopang cita-citanya. Niat mereka mungkin baik, namun cara yang mereka tempuh jelas-jelas menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah serta pemahaman salafus shalih.
Akibatnya, musuh-musuh dari luar Islam pun dengan mudah menyamaratakan bahwa Islam mengajarkan kekerasan dan agama yang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka ingin menanamkan kesan kepada publik bahwa siapa saja yang ingin menegakkan kembali syari’at Islam dan tauhid maka mereka pasti identik dengan terorisme dan gemar membuat kekacauan. Oleh sebab itu mereka pun melekatkan gelaran Islam Fundametalis kepada kelompok mana saja yang bercita-cita untuk mengembalikan kejayaan Islam sebagaimana yang diraih oleh para pendahulu mereka, tidak terkecuali kepada Ahlus Sunnah as-Salafiyun.
Sayangnya, sebagian kaum muslimin yang tidak mengerti juga ikut-ikutan latah menuduh saudaranya yang mengikuti Sunnah Nabi dan berupaya untuk menebarkan dakwah tauhid sebagai penganut aliran sesat dan menyimpang gara-gara penampilan mereka yang mirip dengan tokoh-tokoh teroris atau istri mereka yang dimunculkan fotonya di media-media massa. Semata-mata karena celana cingkrang, jenggot dan cadar maka julukan teroris pun dengan enteng dilekatkan kepada mereka. Padahal memelihara jenggot dan memakai cadar termasuk tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagi anda yang ingin menyimak penjelasan lebih tentang hukum cadar, jenggot, dan celana ‘cingkrang’ silahkan membaca tulisan saudara kami yang mulia al-Akh Muhammad Abduh Tuasikal di link berikut ini -rumaysho.com-. Semoga Allah membalasnya dengan sebaik-baik balasan.
Akhir kata, kami memohon kepada Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang tinggi lagi mulia, semoga Allah membukakan pintu hidayah bagi saudara-saudara kita yang melenceng dari jalan yang lurus dan semoga Allah berkenan melimpahkan ampunan-Nya kepada kita. Dan semoga kejadian semacam ini bisa menjadi pelajaran bagi para pemuda Islam di mana saja mereka berada, bahwa perjuangan Islam adalah perjuangan yang suci, yang harus ditegakkan di atas ilmu al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman sahabat Nabi dan bimbingan para ulama Rabbani. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Selengkapnya...

Dalil-Dalil dan Hukum Mencukur Jenggot / Lihyah Bagi Laki - Laki

Dalil-dalil dan hukum mencukur jenggot/lihyah bagi laki-laki
Antara hadits-hadits sahih dari Nabi Shalallahu alaihi wassalam yang menunjukkan wajibnya memelihara jenggot dan jambang kemudian mewajibkan orang-orang lelaki beriman supaya memotong atau menipiskan kumis mereka serta pengharaman dari mencukur atau memotong jenggot mereka ialah: "Abdullah bin Umar berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam : Janganlah kamu menyerupai orang-orang Musyrikin, peliharalah jenggot kamu dan tipiskanlah kumis kamu". HR al Bukhari, Muslim dan al Baihaqi.

"Dari Abi Imamah : Bersabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam : Potonglah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu, tinggalkan (jangan meniru) Ahl al-Kitab". Hadits sahih, HR Ahmad dan at Tabrani.

"Dari Aisyah berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam : Sepuluh perkara dari fitrah (dari sunnah nabi-nabi) diantaranya ialah mencukur kumis dan memelihara jenggot". HR Ahmad, Muslim, Abu Daud, at Tirmidzi, an Nasaii dan Ibn Majah.

Bagi individu yang menjiwai hadits di atas pasti mampu memahami bahwa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam melarang setiap mukmin dari meniru atau menyerupai tatacara orang-orang kafir sama ada dari golongan Yahudi, Nasrani, Majusi atau munafik. Antara penyerupaan yang dilarang oleh Rasulullah ialah berupa pengharaman ke atas setiap orang lelaki yang beriman dari mencukur jenggot dan jambang mereka. Kemudian Rasulullah melarang pula dari memelihara kumis karena dengan memelihara kumis kemudian mencukur jenggot telah menyerupai perbuatan semua golongan orang-orang kafir. Antara motif utama dari larangan Rasulullah itu ialah agar orang-orang yang beriman dapat memelihara sunnah supaya tidak mudah pupus disamping mengharamkan setiap orang yang beriman dari meniru tata-etika, amalan dan tata-cara orang-orang kafir atau jahiliah.

Larangan yang berupa penegasan dari syara ini telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam melalui hadits-hadits Rasulullah. Terlalu sukar untuk ditolak atau dinafikan tentang pengharaman mencukur jenggot ini karena terlalu banyak hadits-hadits sahih yang telah membuktikannya dengan terang tentang pengharaman tersebut.

Memang tidak dapat diragukan, antara penyerupaan yang diharamkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam ialah meniru perbuatan orang-orang kafir yang kebanyakan dari mereka lebih gemar mencukur jenggot dan jambang mereka kemudian membiarkan (memelihara) kumis mereka sebagai hiasan. Ketegasan larangan mencukur jenggot yang membawa kepada penyerupaan masih dapat difahami melalui hadits-hadits Rasulullah yang seterusnya sebagaimana di bawah ini:

"Dari Ibn Umar Radiyallahu anhu berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam : Barangsiapa yang menyerupai satu satu kaum, maka ia telah menjadi golongan mereka". HR Ahmad, Abu Daud dan at Tabrani. "Dari Abi Hurairah Radiyallahu anhu: Bersabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam : Bahwasanya ahli syirik memelihara kumisnya dan memotong jenggotnya, maka janganlah meniru mereka, peliharalah jenggot kamu dan potonglah kumis kamu". HR al Bazzar.

"Bersabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam : Janganlah kamu meniru (menyerupai) orang-orang Majusi (penyembah berhala) karena mereka itu memotong (mencukur) jenggot mereka dan memanjangkan (memelihara) kumis mereka". HR Muslim.

"Tipiskanlah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu. Di riwayat yang lain pula : Potonglah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu". HR al Bukhari.

Dari Abi Hurairah berkata : Telah bersabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam : Di antara fitrah dalam Islam ialah memotong kumis dan memelihara jenggot, bahwasanya orang-orang Majusi memelihara kumis mereka dan memotong jenggot mereka, maka janganlah kamu menyerupai mereka, hendaklah kamu potong kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu". HR Ibn Habban.

"Dari Abdullah bin Umar berkata : Pernah disebut kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam seorang Majusi maka beliau bersabda : Mereka (orang-orang Majusi) memelihara kumis mereka dan mencukur jenggot mereka, maka (janganlah menyerupai cara mereka) tinggalkan cara mereka". HR al Baihaqi.

"Dari Ibn Umar Radiyallahu anhu berkata : Kami diperintah supaya memelihara jenggot". HR Muslim.

"Dari Abi Hurairah : Bersabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam : Cukurlah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu". HR Muslim.

"Dari Abi Hurairah berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam : Peliharalah jenggot kamu dan cukurlah kumis kamu, janganlah kamu meniru (menyerupai) Yahudi dan Nasrani". HR Ahmad.

"Dari Ibn Abbas berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam : Janganlah kamu meniru (menyerupai) Ajam (orang asing dan kafir), maka peliharalah jenggot kamu". HR al Bazzar.

Jumhur ulama (ulama tafsir, hadits dan fiqah) menegaskan bahwa perintah yang terdapat pada hadits-hadits (tentang jenggot) adalah menunjukkan perintah yang wajib bukan sunnah karena ia menggunakan lafaz atau kalimah (صيغة الامر) : "nada (gaya) perintah" yang tegas, jelas (dan diulang-ulang). Lihat : (تفسير النصوص) Adib Saleh. Jld. 2 : 241.

Larangan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam agar orang-orang yang beriman tidak mencukur jenggot mereka dan tidak menyerupai Yahudi, Nasrani atau Majusi telah dilahirkan oleh Rasulullah melalui sabdanya dengan beberapa gaya bahasa dan ungkapan yang jelas, terang dan tegas. Sebagaimana hadits-hadits sahih di bawah ini:

"Janganlah kamu menyerupai orang-orang Musyrikin, peliharalah jenggot kamu". HR al-Bukhari dan Muslim.

"Tinggalkan cara mereka (jangan meniru orang-orang musyrik) peliharalah jenggot kamu dan cukurlah kumis kamu". HR al-Bazzar. "Tinggalkan cara Majusi (jangan meniru Majusi)". HR Muslim. "Dan janganlah kamu sekalian menyerupai Yahudi dan Nasrani". HR Ahmad. "Janganlah kamu sekalian menyerupai orang-orang yang bukan Islam, peliharalah jenggot kamu". HR al-Bazzar. Hadits-hadits di atas amat jelas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam telah mewajibkan kepada setiap orang-orang yang beriman agar memelihara jenggot mereka kemudian memotong atau menipiskan kumis mereka. Di samping itu mengharamkan mereka dari meniru perbuatan orang-orang kafir, sama ada golongan Yahudi, Nasrani, Majusi, munafik atau orang fasiq yang mengingkari perintah dan melanggar larangan yang terdapat di dalam hadits-hadits sahih tentang jenggot dan penyerupaan sebagaimana kenyataan dari hadits-hadits sahih di atas tadi.

Begitu juga jika diteliti beberapa hadits di atas, maka antara ketegasan hadits tersebut ialah melarang orang-orang beriman dari meniru (menyerupai) perbuatan, amalan atau tingkah laku golongan Yahudi, Nasrani, Majusi dan semua orang-orang kafir, yaitu peniruan yang dilakukan dengan cara memotong (mencukur) jenggot dan kemudian memelihara pula kumis. Amat jelas dalam setiap hadits di atas perintah atau perintah dari Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam agar orang-orang yang beriman memelihara jenggot mereka kemudian memotong atau menipiskan kumis mereka. Antara tujuan perintah tersebut ialah supaya orang-orang yang beriman tidak menyerupai golongan orang-orang kafir tidak kira apa jenis kekafiran mereka. Nabi telah memberi peringatan melalui hadits-hadits sahihnya kepada siapa yang melanggar dan mengabaikan perintah syara termasuk memelihara jenggot.

Hadits dari Ibn Umar yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Tabrani yang telah dikemukakan di atas, perlu dijiwai dan diresapi di hati setiap mukmin agar sentiasa menjadi panduan dan perisai untuk memantapkan pegangan (istiqamah) dalam memelihara hukum berjenggot. Hadits yang dimaksudkan ialah:

"Dari Ibn Umar Radiyallahu anhuberkata : Barangsiapa yang menyerupai satu satu kaum, maka dia telah tergolong (agama) kaum itu". HR Ahmad, Abu Daud dan at Tabrani. Menurut keterangan al-Hafiz al-Iraqi dalam (تخريج الاحياء) bahwa sanad hadits ini sahih.

Kesahihan hadits di atas dapat memberi keyakinan dan penerangan bahwa barang siapa yang meniru atau menjadikan orang-orang jahiliah sama ada dari kalangan Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagai contoh dan mengenepikan amalan yang telah ditetapkan oleh agama Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam, maka peniru tersebut akan tetap menjadi golongan kafir yang ditiru selagi tidak bertaubat malah akan terus bersama mereka sampai di akhirat. Kesahihan ini dapat diperkuat dan dipastikan lagi dengan hadits sahih di bawah ini: "Tiga jenis manusia yang dibenci oleh Allah (antara mereka) ialah penganut Islam yang masih memilih (meniru) perbuatan jahiliah". HR al-Bukhari.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Umar, Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam telah bersabda: "Barangsiapa yang meniru (menyerupai) seperti mereka (orang-orang bukan Islam) sehingga ia mati, maka ia telah termasuk dalam golongan (mereka sehingga ke akhirat)". Memelihara jenggot adalah fitrah Islamiyah yang diamalkan oleh semua nabi-nabi, rasul-rasul alaihissalam, para sahabat dan orang-orang yang sholih. Pengertian fitrah Islamiyah boleh difahami dari apa yang telah dijelaskan oleh Imam as Suyuti di dalam kitabnya: "Sebaik-baik pengertian tentang fitrah boleh dikatakan bahwa ia adalah perbuatan mulia dipilih dan dilakukan oleh para nabi-nabi dan dipersetujui oleh syara sehingga menjadi seperti satu kemestian ke atasnya".

Sirah atau sejarah semua rasul-rasul dan nabi-nabi sampai ke sirah Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam serta tarikh semua para sahabat terutama Khulafa ar Rasyidin telah didedahkan kepada kita bahwa mereka semua didapati memelihara jenggot karena mengimani dan mentaati setiap perintah agama dan berpegang kepada fitrah yang diturunkan kepada rasul yang diutus untuk mendidik dan menunjukkan mereka jalan kebenaran. Mereka yakin hanya dengan mentaati Nabi atau Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam dalam semua aspek akan berjaya di dunia dan di akhirat. Antara kisah nabi yang terdapat di dalam al-Quran yang disebut dengan jenggot ialah kisah Nabi Harun sebagaimana firman Allah: "Harun menjawab : Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang jenggotku dan jangan pula kepalaku". (QS Thaha, 20:94). Para Isteri Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam juga suka melihat Nabi berjenggot sehingga ada yang meletakkan minyak wangi di jenggot dan jambang Nabi. Sebagaimana hadits sahih di bawah ini: "Dari Aisyah Ummul Mukminin berkata : Aku mewangikan Nabi Shalallahu alaihi wassalam dengan sebaik-baik wangi-wangian pada rambut dan jenggotnya". Muttafaq alaihi. "Berkata Anas bin Malik : Jenggot Nabi Shalallahu alaihi wassalam didapati lebat dari sini ke sini, maka diletakkan kedua tangannya di pipinya". HR Ibn Asyakir (dalam Tarikhnya).

Di dalam kitab (فتح الباري) Jld. 10: 335, terdapat nash yang ditulis: "Memelihara jenggot adalah kesan peninggalan yang diwariskan oleh (Nabi) Ibrahim alaihissalam wa ala nabiyina as salatu wassalam sebagaimana dia mewariskan (wajibnya) jenggot maka begitu juga (wajibnya) berkhatan".

"Dari Jabir berkata : Sesungguhnya Rasulullah lebat jenggotnya". HR Muslim. "Dari Muamar berkata : Kami bertanya kepada Khabbab, adakah Rasulullah Shalallahu ?alaihi wassalam membaca (al-Quran) di waktu Zuhur dan Asar? Beliau berkata : Ya! Kami bertanya, dari mana engkau tahu? Beliau menjawab : Dengan bergerak-geraknya jenggot Rasulullah". HR al Bukhari.

"Dari Jabir berkata : Kebiasaannya Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam apabila bersikat dimulakan pada rambutnya kemudian pada jenggotnya". HR Muslim.

"Dari Umar berkata : Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam lebat jenggotnya, di riwayat yang lain tebal jenggotnya dan di lain riwayat pula subur jenggotnya". HR at Tirmidzi. "Dari Anas bin Malik berkata : Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam apabila berwuduk meletakkan tapak tangannya yang berair ke bawah dagunya dan diratakan (air) di jenggotnya. Beliau bersabda : Beginilah aku disuruh oleh Tuhanku". HR Abu Daud. "Terdapat pada jenggot (Nabi Shalallahu alaihi wassalam) jenggot yang putih". HR Muslim. "Tidak kelihatan uban di jenggotnya kecuali sedikit". HR Muslim. "Rambut yang putih (uban) di kepala dan di jenggot (Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam) tidak melebihi dua puluh helai". HR al-Bukhari.

Semua Para Sahabat Radiyallahu anhu Berjenggot

Melalui keterangan yang diperolehi dari hadits sahih, atsar dan sirah (sejarah para sahabat) terbukti tidak seorangpun dari kalangan para sahabat yang mencukur jenggot mereka dan tidak seorangpun yang menghalalkan perbuatan mencukur jenggot. Ini terbukti karena didapati keseluruhan para sahabat berjenggot. Sebagaimana keterangan dari hadits-hadits di bawah ini: "Didapati Abu Bakar lebat jenggotnya, Utsman jarang (tidak lebat) jenggotnya tetapi panjang, dan Ali tebal jenggotnya". HR Tirmidzi.

"Berkata al-Bukhari : Ibn Umar menipiskan kumisnya sehingga kelihatan kulitnya yang putih dan memelihara jenggot dan jambangnya". Lihat: Fathulbari, jild 10, : 334.

"Semasa Ibn Umar mengerjakan haji atau umrah, beliau menggenggam jenggotnya, mana yang lebih (dari genggamannya) dipotong". HR al-Bukhari.

Hadits-hadits di atas bukan saja menjelaskan suatu contoh perbuatan Nabi Muhammad, para nabi sebelum Rasulullah dan juga para sahabat yang semua mereka memelihara jenggot. Malah hadits-hadits di atas juga merupakan lanjutan yang berupa perintah dari nabi-nabi dan rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam.

Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam meneruskan perintah (lanjutan) tersebut ke atas orang-orang yang beriman supaya memelihara jenggot mereka. Anehnya, dalam hal perintah yang nyata ini dirasakan sukar difahami oleh segolongan para mufti, hakim, imam, ustadz dan alim ulama yang bertebaran di negara ini. Apakah mereka tidak pernah terjumpa (terbaca) walaupun sepotong dari beberapa hadits-hadits sahih sebagaimana yang tercatit di atas yang mewajibkan memelihara jenggot sehingga mereka tidak sudi memeliharanya? Jika sekiranya mereka telah terbaca salah satu dari hadits-hadits tersebut mengapa pula tidak mau menerima dan mentaatinya? Apakah mereka merupakan ulama buta, tuli, pekak dan bisu sehingga tidak dapat melihat, memahami, mengetahui dan menyampaikan sebegitu banyaknya hadits-hadits sahih yang memperkatakan tentang jenggot? Mengapa pula perintah dan larangan syara sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah di bawah ini tidak mereka sadari ? "Dan apa yang disampaikan oleh Rasul maka hendaklah kamu ambil (patuhi) dan apa yang ditegah kamu (dari melakukannya) maka hendaklah kamu tinggalkan". AL Hasyr, 59:7.

Ayat di atas memberi penekanan agar setiap orang-orang yang beriman bersikap patuh (taat), sama ada patuh dengan cara melaksanakan segala apa yang disuruh oleh Allah dan RasulNya atau patuh dengan cara meninggalkan segala apa yang telah dilarang atau diharamkan.

Orang-orang yang beriman tidak boleh mencontoh sikap Iblis yang enggan mematuhi perintah Allah Subhanahu wa Taala apabila diarah supaya sujud kepada Nabi Adam alaihissalam. Iblis dilaknat karena mengingkari satu perintah Allah. Keengganan mematuhi perintah Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam identik seperti mengingkari perintah Allah karena mentaati Rasulullah adalah asas mentaati Allah, maka mereka yang tidak mau mematuhi atau mentaati perintah Rasulullah Shalallahu alaihi Wassalam yang diulang berkali-kali supaya memelihara jenggot dan jambang dengan alasan berjenggot itu tidak rapi, serabutan, kelihatan jelek dan sebagainya. Maka keingkaran dan alasan seperti ini ditakuti menyerupai alasan Iblis dan petanda yang mereka telah mewarisi sikap Iblis yang congkak, biadab, bangga diri dan akhirnya ia dikekalkan di neraka hanya lantaran tidak mau mematuhi satu-satunya perintah Allah Subhanahu wa Taala yaitu sujud kepada bapa sekalian manusia..

Mentaati Allah dan Rasulnya dalam setiap aspek adalah bukti kokoh yang menandakan seseorang itu benar-benar mencintai Allah Subhanahu wa Taala dan RasulNya, karena syarat untuk mencintai Allah dan RasulNya ialah ketaatan. Sebagaimana firman Allah: "Katakanlah jika kamu (benar-benar)mencintai Allah, ikutlah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Ali Imran, 3:31.

Cinta perlukan pembuktian walaupun dalam hal atau perkara yang kecil dan dianggap remeh. Sikap orang-orang yang beriman apabila mengetahui bahwa Allah dan RasulNya telah menetapkan sesuatu hukum dan menyeru mereka supaya mematuhinya, maka oleh karena cinta mereka yang tinggi terhadap Allah dan Rasulnya maka mereka akan mematuhinya tanpa banyak persoalan. Kepatuhan mereka adalah benar-benar didorong oleh rasa cinta kepada Allah dan RasulNya sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya jawaban orang-orang yang beriman apabila mereka diseru kepada Allah dan RasulNya agar menghukum di antara mereka, ucapan mereka ialah : Kami mendengar dan kami patuh. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung".An Nuur 24:51.

Orang-orang yang beriman akan mentaati segala perintah Allah dan RasulNya walaupun sekecil-kecilnya karena mereka mengimani bahwa perintah Allah Subhanahu wa Taala wajib dipatuhui. Mereka menyedari jika perintah yang kecil dan mudah tidak mampu dilaksanakan tentunya yang besar-besar akan ditinggalkan. Malah orang yang beriman akan sentiasa berpegang teguh dengan perintah Allah Subhanahu wa Taala sebagaimana yang terdapat pada ayat di bawah ini: "Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajipan Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". AL Maidah, 5:92.

"Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah". An Nisaa? 4:64.

Ayat-ayat di atas merupakan perintah agar kita mengambil (mentaati perintah yang berupa setiap apa) yang didatangkan (yang berupa perintah) dari Allah dan RasulNya kemudian meninggalkan semua yang ditegah (dilarang atau diharamkan) serta melaksanakan semampu mungkin setiap perintah terutamanya yang nyata wajibnya.

Allah dan RasulNya tidak meridhai perbuatan orang-orang kafir, oleh sebab itu melaknat siapapun dari kalangan orang Islam yang meniru cari mereka yang tidak diridhai oleh Allah dan RasulNya seperti perbuatan mencukur jenggot kemudian memelihara kumis mereka saja. Orang-orang yang menyedari bahwa perbuatannya yang suka meniru perbuatan orang-orang kafir itu dibenci, dilaknat dan tidak diridhai oleh Allah dan RasulNya tetapi mereka masih meneruskan perbuatan tersebut dan menyukainya, maka ingatlah Allah telah mengancam orang-orang seperti ini dengan firmanNya: "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti (apa yang menimbulkan) kemurkaan Allah dan (karena) membenci keridhaanNya, sebab itu Allah menghapuskan (pahala) amal-amal mereka". Muhammad 47:28.

Nabi melarang orang-orang yang beriman dari mencukur jenggot dan jambang mereka malah berkali-kali menyuruh memeliharanya dengan berbagai-bagai ungkapan agar dapat difahami dan diterima oleh umatnya. Apakah benar seseorang itu mencintai Allah dan RasulNya jika perkara yang paling mudah dan tidak mengeluarkan modal ini mereka abaikan dan tidak memperdulikannya langsung? Apakah mereka tidak mampu untuk memahami perintah Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam dan tidak mau mentaatinya? Suri tauladan dari siapakah yang sewajarnya ditiru oleh orang-orang yang beriman? Apakah lebih berbangga dan menyenangi contoh yang ditiru dari Yahudi, Nasrani atau Majusi yang ditegah dari menirunya? Atau mencintai contoh dari Rasul utusan Allah, contoh dari para sahabat Rasulullah dan contoh dari orang-orang sholih yang dibanggakan oleh setiap orang yang beriman apabila dapat mematuhi dan mentaati contoh tersebut? Contoh yang terbaik dan selayaknya dibanggakan hanyalah contoh yang ada pada diri Rasulullah Shalallahu ?alaihi wassalam sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah (dan kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingati Allah". AL AHZAB, 33:21.

"Maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". IBRAHIM, 14:36.

Berkata as-Syeikh Ismail al-Ansari dalam memperkatakan hadits (atsar) dari Ibn Umar Radiyallahu anhu: Tidak syak lagi bahwa kata-kata Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam dan perbuatannya lebih berhak dan utama dipatuhi daripada kata-kata selain dari Nabi, tidak kira siapapun orang itu".

Mencintai Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam dan sunnahnya ialah dengan cara mencontoh segala suri teladan dan amalannya, mentaati seruannya dan mematuhi segala perintahnya semampu mungkin.

Berjenggot atau berjambang adalah suri teladan, perintah dan amalan yang berupa sunnah para rasul, para nabi, para sahabat dan orang-orang sholih sejak dahulu kala sampai ke hari kiamat.

(Lihat تحريم حلق اللحى . للعاصمى 6. Muhammad Ahmad bin Ismail) Tanya : Apa hukumnya mencukur jenggot (lihyah) atau mencukur sebagiannya?Jawab : Alhamdulillah, mencukur jenggot hukumnya haram berdasarkan hadits-hadits shahih yang secara tegas melarangnya. Dan berdasarkan dalil-dalil umum yang melarang menyerupai orang-orang kafir. Diantaranya hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda: "Selisihilah orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan potonglah kumis." Dalam riwayat lain berbunyi: "Potonglah kumis dan peliharalah jenggot."

Masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna dengan itu. Maksud memelihara jenggot adalah membiarkannya tumbuh secara alami. Termasuk memeliharanya adalah membiarkannya tanpa mencukur, mencabut atau memotongnya sedikitpun. Ibnu Hazm bahkan telah menukil ijma' (kesepakatan) tentang hukum wajibnya memotong kumis dan memelihara jenggot.

Beliau berdalil dengan sejumlah hadits, diantaranya adalah hadits Ibnu Umar terdahulu dan hadits Zaid bin Arqam yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda: "Barangsiapa tidak memotong sebagian dari kumisnya maka ia bukan termasuk golonganku (golongan yang melaksanakan sunnahku)." Hadits tersebut dinyatakan shahih oleh At-Tirmidzi, ia berkata dalam kitab Al-Furu' bahwa riwayat yang dibawakan oleh rekan-rekan kami dari kalangan madzhab Hambali di atas menegaskan hukum haramnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: "Dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah serta ijma' telah memerintahkan supaya menyelisihi orang-orang kafir dan melarang menyerupai mereka. Sebab menyerupai mereka secara lahiriyah merupakan sebab menyerupai tabiat dan tingkah laku mereka yang tercela. Bahkan merupakan sebab meniru keyakinan-keyakinan sesat mereka. Dan dapat mewariskan benih-benih kecintaan dan loyalitas dalam batin kepada mereka. Sebagaimana kecintaan dalam hati dapat menyeret kepada penyerupaan dalam bentuk lahiriyah. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda: "Bukanlah termasuk golongan kami orang yang menyerupai selain kami. Maka janganlah kalian menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani." Dalam riwayat lain berbunyi: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka." (H.R Imam Ahmad).

Bahkan Umar bin Khaththab menolak persaksian orang yang mencabuti jenggotnya. Dalam kitab At-Tamhid Imam Ibnu Abdil Barr berkata: "Haram hukumnya mencukur jenggot, sesungguhnya perbuatan tersebut hanya dilakukan oleh kaum banci." Yaitu perbuatan tersebut termasuk menyerupai kaum wanita. Dalam riwayat disebutkan bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam adalah seorang yang lebat jenggotnya. (H.R Muslim dari Jabir) Dalam riwayat lain disebutkan: "Tebal jenggotnya" dalam riwayat lain: "Banyak jenggotnya", maknanya sama yakni lebat jenggotnya. Oleh karena itu tidak dibolehkan memotong sedikitpun darinya berdasarkan dalil-dalil umum yang melarangnya. (Fatawa Lajnah Daimah V/133, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa)



Selengkapnya...

BILA CINTA BERSEMI



Jatuh cinta pada seorang wanita, mungkin semua pria pernah mengalaminya. Rasanya hampir tak terkatakan. Ada kalanya cinta itu membahagiakan, tapi tak jarang juga menyakitkan. Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah membagi cinta kepada wanita ini dalam tiga bentuk.

Pertama, Mencintai dengan maksud ketaatan dan taqorrub kepada Allah Ta’ala. Ini merupakan cinta kepada istri dan budak wanita yang dimiliki. Merupakan cinta yang bermanfaat dan dapat mengantarkan pada tujuan yang disyari’atkan Allah dan pernikahan, dapat menahan pandangan mata dan hati untuk melirik wanita selain istrinya. Orang yang mencintai semacam ini dipuji di sisi Allah dan di tengah manusia.

Kedua, Cinta yang dibenci Allah dan menjauhkan dari rahmat-Nya. Cinta yang hanya memperturutkan hawa nafsu. Demi cinta ini, seorang hamba mau melanggar syari’at Allah ‘Azza Wa Jalla. Cinta ini merupakan yang paling berbahaya bagi hamba, yang dapat mengancam dien dan dunianya. Siapa yang memiliki cinta ini, dia hina dihadapan Allah, dia orang yang hatinya paling jauh dari Allah, dan cinta ini merupakan tabir penghalang antara dirinya dengan Allah. Untuk mengobatinya adalah dengan memohon pertolongan kepada Allah yang membolak-balikkan hati, bersungguh-sungguh untuk kembali kepada-Nya. Sibuk mengingatnya, menyibukkan diri dan mengganti cinta itu dengan cinta hanya pada Allah. Memikirkan derita dan sengsara yang akan dialami lantaran cinta itu, dan menggambarkan keindahan sebenarnya dengan meninggalkan cinta itu.

Ketiga, Cinta yang mubah. Cinta yang tiba-tiba datang, seperti mencintai wanita yang sifatnya dikatakan kepadanya atau dilihat dengan tidak sengaja, lalu hati pun tertambat padanya. Tapi cinta ini tak sampai menjerumuskan dirinya hingga melakukan maksiatdan kedurhakaan (seperti berhubungan atau berpacaran dengan wanita itu). Yang ini tidak menimbulkan siksaan. Yang paling bermanfaat adalah membuang jauh-jauh cinta ini dan menyibukkan diri dengan hal yang lebih bermanfaat. Dan juga harus menyembunyikan perasaannya, dan sabar dalam menghadapi ujian cinta ini sehingga dengannya Allah memberikannya pahala. Yang mesti dilakukannya adalah mengganti cintanya itu dengan kesabaran karena Allah, tidak patuh pada bisikan nafsu dan lebih mementingkan keridhoan Allah dan apa yang ada di sisi-Nya.

Dari tiga bentuk cinta di atas, dapat dipahami bahwa seandainya bara cinta itu—yang lahir karena keindahan wajah seorang wanita—mampu dipendam, bahkan diredam dan tidak melanjutkannya pada tahapan yang melanggar syari’at (seperti pacaran), kemudian bersabar dan memohon ketabahan kepada Allah, dan lebih memilih keridhoan walau harus bertarung dengan perasaan sendiri, maka ini yang dibolehkan. Dan satu hal yang tak boleh dilupakan seorang muslim bahwa Allah tak mungkin menyia-nyiakan hamba-Nya yang lebih memilih cinta dan kasih sayang-Nya, meskipun harus merelakan sang kekasih menjadi milik orang lain. Mungkin dengan ujian cinta dan sikap kita yang seperti itu (lebih memilih keridhoan Allah), Allah ingin kita menjadi hamba pilihan yang kelak akan merasakan indahnya bersanding dengan bidadari nan menawan di jannah-Nya.

Andaikan memilih bentuk cinta kedua, maka ini yang disebutkan Ibnul Qoyyim bahwa permulaannya yang ringan dan manis. Pertengahannya kekhawatiran, kesibukan hati dan siksaan dan kesudahannya adalah kebinasaan dan kematian.

Adapun bentuk cinta yang ketiga, maka obatnya hanya dua.Pertama, berpuasa dan menyibukkan diri dari hal yang mampu menjauhkan pikiran ke arah “sana”. Kedua, jika puasa sudah tidak bisa meredam gejolak cinta itu, maka tak ada jalan lain lagi selain menikah. “Menikah dengan wanita yang dicintai merupakan obat cinta yang paling mujarab, yang dijadikan Allah sebagai penawar yang sejalan dengan ketaatan syari’at”, demikian Ibnul Qoyyim Rahimahullah meyakinkan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (artinya): “Ada tiga perkara apabila terdapat pada diri seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman. (1) Ia menjadikan Allah dan Rosul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya. (2) Ia mencintai seseorang karena Allah, ia membenci seseorang hanya kepada Allah, (3) Ia sangat benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dicampakkan ke dalam api.”(HR Bukhori - Muslim)


Karena itu, jika kita mencintai seseorang, usahakan jangan sampai melebihi cinta kita pada Allah dan Rosul-Nya, agar cinta kita tidak menggelincirkan kita dalam jurang kekufuran.

Selengkapnya...

Download


Silahkan    Download  KAJIAN ISLAM SUMENEP   di sini

the benefit in seeking the knowledge by Ali wafa Abu Sulthon.mp3


berdzikir & bersyukur oleh Ali wafa Abu Sulthon.mp3

Akhlaq Nabi Shollallahu alaihi wa sallam Tauladan Kita Semua oleh Ali wafa Abu Sulthon.mp3

Al ayatul Kursi in English by Ali wafa Abu Sulthon.mp3

tafsir Al fatihah dalam bahasa Arab I oleh Ali wafa Abu Sulthon.mp3


Mengutamakan Orang Lain Oleh Ali Wafa Abu Sulthon.mp3 Selengkapnya...

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>