KEJUJURAN JEMBATAN MENUJU SURGA ( JANNAH )

Oleh Ali Wafa Abu Sulthon 





Allah subhanahu wata’ala mengabarkan kepada kita keutamaan Ash shidq. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai sekalian orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah engkau semua bersama-sama dengan para shiddiqin (orang-orang yang jujur perilakunya).” (At Taubah: 119)
فَلَوْ صَدَقُوا اللهَ لَكَانَ خَيْراً لَهُمْ
“Dan andaikata mereka itu bersikap benar terhadap Allah, pastilah hal itu amat baik untuk mereka sendiri.” (Muhammad: 21)
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Az Zumar: 33)


Di dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنَّ الصِّدقَ يَهْدِي إِلَى البرِّ ، وإنَّ البر يَهدِي إِلَى الجَنَّةِ ، وإنَّ الرَّجُلَ لَيَصدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقاً . وَإِنَّ الكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الفُجُورِ ، وَإِنَّ الفُجُورَ يَهدِي إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكتَبَ عِنْدَ الله كَذَّاباً
“Sesungguhnya ash shidq (kejujuran) itu menunjukkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan ke surga dan sesungguhnya seorang bermaksud untuk jujur sehingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu menunjukkan kepada kejahatan dan sesungguhnya kejahatan itu menunjukkan kepada neraka. Sesungguhnya seorang itu bermaksud untuk berdusta sehingga dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang suka berdusta.” (Muttafaq ‘alaih)
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam telah menerangkan bahwa kejujuran adalah watak dasar yang dapat membuahkan kebaikan, sedangkan kedustaan akan mewujud sebagai kejahatan. Dan sungguh Allah Tabaroka wata’ala berfirman
إِنَّ الأبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ
"Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka." (Al Infithar: 13-14)
Yusuf ibnu Asbath Rahimahullahu Ta’ala dan ulama lainnya berkata, "tidaklah seorang hamba berlaku jujur kepada Allah Ta’ala kecuali Allah Tabaroka wata’ala akan berbuat (baik) kepadanya." Pernyataan semacam ini cukup banyak.
Kejujuran dan keikhlasan merupakan realisasi nilai keimanan dan keislaman. Karena orang yang berpenampilan sebagai orang Islam terbagi dalam dua kelompok; (yaitu) orang mukmin dan orang munafik. Namun yang membedakan keduanya adalah kejujuran.
Macam-macam Sikap Shidq
Para ulama membagi  kejujuran  ( As-Shidq) menjadi dua:
1.  Jujur (Shidq) dalam Ucapan
Yakni ketika seseorang ucapannya mencocoki apa yang ada di hatinya. Seperti orang yang mengatakan bahwa saya beriman dan memang di hatinya dia beriman maka dia pun telah jujur dalam ucapannya. Sebaliknya ketika dia mengucapkan bahwa dirinya beriman, tapi di hatinya justru kufur maka ini tidak lah disebut sebagai orang yang shadiq, orang yang jujur.
Dari sini kita ketahui bahwa orang-orang yang munafiq bukanlah orang-orang yang beriman, karena ucapan mereka menyelisihi apa yang ada di hati mereka.
2. Jujur (Shidq) dalam Perbuatan
Yakni ketika perbuatan seseorang mencocoki apa yang ada di hatinya. Orang yang berbuat riya’ tidaklah disebut sebagai shadiq. Ini karena secara lahirnya mereka memang nampak sebagai seorang yang rajin beribadah kepada Allah, tapi di dalam batinnya tidaklah demikian. Ibadah yang mereka lakukan semata-mata agar dilihat oleh manusia.
Demikian juga para pelaku kebid’ahan. Mereka tidaklah disebut sebagai shadiq. Karena secara lahirnya mereka menunjukkan kecintaan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan tetapi batinnya tidaklah demikian.

Urgensi Kejujuran (Ash shidq ) dalam Setiap Perkara

 Jujur (Ash shidq) dalam setiap perkara adalah seseorang senantiasa berucap dan bersikap jujur ketika dia berhubungan dengan sesama manusia. Di dalam keluarga, ketika bekerja, berhubungan sosial dengan yang lain seorang muslim harus mengedepankan ash shidq agar dia memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat.
Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
إنَّ الصِّدقَ يَهْدِي إِلَى البرِّ ، وإنَّ البر يَهدِي إِلَى الجَنَّةِ
“Sesungguhnya kejujuran itu menunjukkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan kepada surga.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Beliau juga mengatakan bahwa
البَيِّعَانِ بالخِيَار مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، فَإنْ صَدَقا وَبيَّنَا بُوركَ لَهُمَا في بيعِهمَا ، وإنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بركَةُ بَيعِهِما
“Dua orang yang berjual-beli itu dengan kebebasan (boleh meneruskan jual-belinya atau membatalkannya) selama keduanya itu belum berpisah. Apabila keduanya itu jujur dan menerangkan (kekurangan barang yang diperjualbelikan), maka diberi berkahlah jual-beli keduanya, tetapi jikalau keduanya itu menyembunyikan (kekurangan barang yang diperjualbelikan) dan sama-sama berdusta, maka dileburlah keberkahan jual-beli keduanya itu.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Syaikh Rabi Bin Hadi Al Madkhali Hafidhahulloh  mengatakan  bahwa Sifat jujur merupakan faktor terbesar tegaknya agama dan dunia. Kehidupan dunia tidak akan baik, dan agama juga tidak bisa tegak di atas kebohongan, khianat serta perbuatan curang.
Jujur dan mempercayai kejujuran, merupakan ikatan yang kuat antara para rasul dan orang-orang yang beriman dengan mereka. Allah berfirman.
وَالَّذِي جَآءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ لَهُم مَّايَشَآءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ جَزَآءُ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Rabb mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik”. [Az zumar:33-34].
Karena (tingginya) kedudukan perbuatan jujur di sisi Allah, juga dalam pandangan Islam serta dalam pandangan orang-orang beradab dan juga karena akibat-akibatnya yang baik, serta bahaya perbuatan bohong dan mendustakan kebenaran; saya ingin membawakan naskah ini. Saya ambil dari Al Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sejarah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sejarah dan kenyataan hidup orang-orang jujur dari kalangan shahabat Rasulullah. Dan hanya kepada Allah, saya memohon agar menolong dan memberikan taufiq kepada saya dalam menyampaikan nasihat dan penjelasan kepada kaum muslimin semampu saya. Dan saya memohon kepada Allah, agar Ia menjadikan kita orang-orang jujur yang bertekad memegang teguh kejujuran, serta menjadikan kita termasuk orang orang yang cinta kebenaran, mengikutinya serta mengimaninya dan juga beliau mengatakan tentang buah kejujuran yaitu Keberuntungan dimana Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari-Muslim, dari Thalhah bin Ubaidillah, ia mengatakan: Ada seorang lelaki dari Najd datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan rambut acak-acakan. Kami mendengar gema suaranya, tetapi kami tidak faham, sampai ia mendekat kepada Rasulullah. Ternyata ia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah bersabda,”(Islam itu) shalat lima kali sehari-semalam.” Orang itu bertanya,”Apakah ada kewajiban (shalat) lainnya atas saya?” Rasulullah menjawab,”Tidak ada, kecuali engkau mau melaksanakan yang sunnah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Dan puasa Ramadhan.” Dia bertanya,”Apakah ada kewajiban (puasa) lainnya atas saya?” Rasulullah menjawab,”Tidak ada, kecuali engkau mau melaksanakan yang sunnah.”
Thalhah mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan zakat, orang itu bertanya,”Apakah ada kewajiban (zakat) lainnya atas saya?” Rasulullah menjawab,”Tidak ada, kecuali engkau mau melaksanakan yang sunnah.”
Thalhah mengatakan: Kemudian orang itu pulang sambil berkata,”Demi Allah, saya tidak akan menambah dan juga tidak akan menguranginya.” Rasulullah bersabda.
أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ
“Dia beruntung, jika ia jujur”
Dalam kitab Shahih Muslim terdapat hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Sesungguhnya kami dilarang bertanya kepada Rasulullah tentang sesuatu. Dan kami sangat heran pada kedatangan seorang laki-laki badui menghadap Rasulullah, seraya bertanya,”Wahai Rasulullah, seorang utusanmu telah mendatangi kami dan mengatakan, bahwa engkau mengaku diutus Allah.” Rasulullah bersabda,”Dia benar.” Orang itu bertanya,”Siapakah yang menciptakan langit?” Rasulullah n menjawab,”Allah.” Orang itu bertanya (lagi),”Siapakah yang menciptakan bumi?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Allah.” Orang itu bertanya (lagi),“Siapakah yang menancap gunung dan menciptakan semua yang ada di sana?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Allah.” Lelaki tadi mengatakan,”Demi Dzat yang menciptakan langit, bumi dan yang menancapkan gunung, apakah Allah (yang benar-benar) mengutusmu?” Rasul menjawab,”Ya.” Lelaki itu berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa wajib atas kami untuk shalat lima kali sehari-semalam.” Rasulullah menjawab,”Dia benar.” Orang itu bertanya lagi,”Demi Dzat Yang mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya.” Lelaki itu berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa wajib atas kami zakat dari harta kami.” Rasulullah menjawab,”Dia benar.” Orang itu bertanya lagi,”Demi Dzat Yang mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya.” Lelaki itu berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa wajib atas kami untuk puasa bulan Ramadhan dalam setahun.” Rasulullah menjawab,”Dia benar.” Orang itu bertanya lagi,”Demi Dzat Yang mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?” Beliau  menjawab,”Ya.” Lelaki itu berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa wajib atas kami untuk haji bagi siapa saja yang mampu.” Rasulullah menjawab,”Dia benar.” Orang itu bertanya lagi,”Demi Dzat Yang mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya.”
Anas Radhiyallahu ‘anhu berkata: Kemudian orang itu pergi dan berkata,”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan menambah dan tidak menguranginya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ
Jika ia jujur, pasti dia akan masuk syurga.
Kedua penanya dalam hadits di atas adalah orang cerdas. Keduanya telah diberi Allah kecerdasan, kecerdikan dan pertanyaan yang baik, terutama penanya yang kedua. Ada yang mengatakan, ia adalah Dhamam Bin Tsa’labah Al Hudzali. Orang pertama bertanya tentang syariat Islam. Maka Rasulullah menjawab dengan hal-hal yang diwajibkan atas seorang hamba, berupa rukun agama ini setelah syahadatain. Karena sang penanya zhahirnya seorang muslim, maka Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa Islam itu adalah kewajiban-kewajiban (yang telah disebutkan) ini.
Sang penanya pertama ini, juga mengakui hal serta konsisten melaksanakannya. Karenanya, ia ingin tahu, adakah kewajiban lain disamping rukun-rukun yang telah disebutkan ini? Dan Rasul menjawab, tidak ada, kecuali perbuatan sunnah.
Ketika Rasulullah telah membedakan antara yang wajib dengan yang sunnah, sang penanya tadi bersumpah, bahwa ia tidak akan menambah dan juga tidak akan mengurangi. (Mendengar sumpah ini), Rasulullah menjawab untuk memberikan kabar gembira berupa pahala yangbesar bagi si penanya dan umat Islam yang melaksanakan kewajiban-kewajiban ini dengan benar, dia beruntung, jika ia jujur. Maksudnya, perbuatannya sejalan dengan perkataannya. Inilah sebuah kejujuran. Jadi keberuntungan terwujud dari kejujurannya dalam berbuat dan berkata. Dan penanya pertama ini sudah diberi kejujuran oleh Allah.
Sedangkan penanya kedua, pertanyaannya lebih dalam dan luas dibandingkan dengan pertanyaan orang pertama. Penyusun kitab At Tahrir, yaitu Muhammad Bin Ismail Al Asfahani mengatakan,“Ini menunjukkan baiknya pertanyaan orang ini, keindahan kalimat dan urutannya. Dia pertama kali menanyakan tentang kejujuran utusan yang ditugaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajak mereka masuk Islam; “Apakah ia jujur, bahwa engkau utusan Allah?” Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Dia benar.” Kemudian orang itu bertanya tentang pencipta langit dan bumi dan siapakah yang menancapkan gunung-gunung, karena orang ini seperti halnya orang Arab lainnya yang beriman kepada tauhid rububiyah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab setiap pertanyaan dengan kalimat Allah.
Kemudian, orang itu memastikan kebenaran syari’at-syari’at Islam yang disampaikan oleh utusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti: shalat, zakat dan puasa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, dia benar.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah selesai menjawab pertanyaan-pertanyaannya, orang itu berkata,”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan menambah dan tidak menguranginya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Jika ia jujur, pasti dia akan masuk syurga.”
Alangkah besarnya buah kejujuran ini ; jujur dalam i’tiqad, jujur dalam berbicara dan dalam beramal.
Ini adalah sebagian manfaat kejujuran. Kejujuran akan membimbing si pelaku kepada bir (perbuatan taat) di dunia yang merupakan induk perbuatan baik, dan juga akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Azza wa Jalla. Jadi orang-orang yang jujur akan kekal di surga. Mereka mendapatkan kesenangan yang sangat diidamkan, yang melebihi kedudukan ini, yaitu keridhaan Allah.
Perbuatan jujur membimbing si pelaku kepada perbuatan bir, kemudian ke syurga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ
“Sesungguhnya kejujuran itu akan membimbing ke perbuatan bir, dan perbuatan bir akan membimbing masuk surga”.
Di antara manfaat kejujuran, ialah mendapatkan ridha Allah, kemudian akan dimasukkan ke dalam surga. Allah berfirman, yang artinya: ” Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha terhadapnya. Itulah keberuntungan yang paling besar”. [Al Maidah:119].(Diterjemahkan dari Majalah Al Ashalah dengan sedikit perubahan, Edisi 28/Tahun ke 5, 15 Jumadil Akhirah 1420 H, Halaman 51-62)
Kisah Kejujuran Ka’ab Bin Malik  Radhiyallohu anhu
Abdillah bin Ka’ab bin Malik ra. berkata, “Aku mendengar Ka’ab bin Malik ra. menceritakan kisahnya ketika tidak mengikuti perang Tabuk bersama Rasulullah.
Ka’ab berkata : ‘Aku tidak pernah absen dari peperangan bersama Rasullulah saw, kecuali pada perang Tabuk, Aku juga absen dari perang Badar, namun Rasulullah tidak pernah mencela orang yang tidak mengikutinya.Sesungguhnya pada saat itu (saat perang Tabuk) kondisi ekonomi dan fisikku sangat baik.Aku mempunyai dua kendaraan (kuda) yang belum pernah kumiliki sebelumnya. Setiap kali hendak berperang Rasullulah saw tidak pernah menjelaskannya secara terang-terangan, kecuali  Perang Tabuk.
Perang itu terjadi di musim yang sangat panas, jarak yang ditempuh sangat jauh, dan gurun sahara yang kering kerontang harus dilewati. Musuh yang akan dihadapi pun jumlahnya sangat banyak.Beliau menjelaskan rencana ini kepada kaum muslimin agar mereka menyiapkan perbekalan yang dibutuhkan.Beliau juga menjelaskan arah perjalanan yang dituju.Kaum musllimin yang ikut berperang jumlahnya sangat banyak sehingga tidak tercatat seluruhnya. Orang-orang yang absen dari perang ini mengira tidak akan diketahui oleh rasulullah, kecuali jika ada wahyu yang turun dari Allah.Rasulullah berangkat ke Tabuk saat pohon-pohon mulai berbuah dan dedaunan pun telah rindang sehingga aku lebih cenderung untuk tinggal di rumah.
Rasulullah dan kaum muslimin mulai mempersiapkan perbekalan.Aku pun ingin menyiapkan perbekalanku untuk perang ini. Aku pulang ke rumah, tapi tidak melakukan sesuatu.Aku berkata kepada diriku, “Aku mampu melakukannya jika aku mau.”Aku terus mengulur-ulur waktu hingga kaum muslimin siap dengan perbekalannya masing-masing.
Keesokan harinya , Rasulullah dan kaum muslimin berangkat, sementara aku belum menyiapakan apa-apa.Aku berangkat ke kebun, lalu pulang ke rumah tanpa melakukan sesuatu (tidak menyiapkan perbekalan untuk perjalanan ke Tabuk). Hal itu terus tertunda.
Kaum muslimin sudah berangkat dan melaju dengan cepat . Terlintas dalam hatiku untuk berangkat dan menyusul mereka.(Seandainya itu aku lakukan). Namun, hal itu pun tidak aku lakukan.
Ketika aku keluar rumah , aku merasa sedih karena aku hanya menjumpai lelaki-lelaki yang dikenal sebagai orang-orang munafik, atau oarang-orang lemah yang telah mendapatkan keringanan dari Allah.
Rasulullah tidak menyebutku kecuali setelah tiba di Tabuk. Beliau bertanya “Apa yang dilakukan Ka’ab bin Malik?”
Seorang laki-laki dari Bani Salamah menjawb , “Ya Rasulullah, dia tidak ikut berangkat karena tertahan oleh dua pakaiannya dan dua lengannya” (kiasan yang berarti bangga dan sombong).
Muadz bi Jabal ra. berkata , “sungguh buruk apa yang engkau katakan.” Lalu ia berkata kepada Rasulullah , “Ya Rasulullah, demi Allah, kami tidak mengetahui apa yang dilakukannya kecuali kebaikan.” Rasulullah pun diam.
Ketika aku mendengar bahwa Rasulullah saw. Telah meninggalkan Tabuk , aku sedih. Terlintas dalam benakku untuk membohongi beliau. Aku berkata kepada diriku sendiri,” Dengan cara apa agar aku bisa terlepas dari kebencian beliau.” Akupun bermusyawarah dengan keluargaku. Ketika diberitakan bahwa Rasullulah saw. Sudah semakin dekat dengan kota Madinah, segala rencana kotorku lenyap. Aku sadar bahwa berdusta tidak akan menyelesaikan masalah, lalu aku bertekad untuk berkata jujur kepada beliau.
Keesokan harinya , Rasulullah saw. tiba. Biasanya, bila beliau pulang dari bepergian , beliau masuk ke mesjid terlebih dahulu, lalu shalat dua rakaat. Kemudian , beliau duduk menyambut kaum muslimin yang menghadapnya.
Saat itulah orang –orang yang tidak mengikuti perang Tabuk datang menyampaikan alasan mereka dengan bersumpah-sumpah dihadapan beliau. Jumlah mereka lebih dari 80 orang. Rasulullah saw. menerima  apa yang mereka kemukakan dan mengambil janji dari mereka, serta memintakan ampun untuk mereka. Sedangkan isi hati mereka yang sebenarnya beliau serahkan kepada Allah
Lalu aku dating. Ketika aku ucapkan salam, beliau tersenyum penuh kemarahan. Lalu berkata, “Kemarilah”. Aku mendekat hingga berada di hadapan beliau.
“Apa yang membuatmu tidak ikut? Bukankah kamu telah membeli kendaraan (kuda)?”
“Ya Rasulullah, seandainya aku berhadapan dengan orang selain engkau, aku akan bisa selamat dari kebenciannya, karena aku bisa mengemukakan berbagai alasan. Akan tetapi , aku sekarang berhadapan dengan engkau. Jika saat ini aku memberikan alasan palsu sehingga engkau tidak marah , aku khawatir setelah itu Allah menjadikan engkau marah kepadaku. Jika aku berkata jujur , engkau pasti pasti marah kepadaku. Namun, aku berharap mendapatkan ampunan dari Allah. Demi Allah, aku tidak mempunyai alasan untuk tidak ikut berperang. Saat itu, kondisi ekonomi dan fisikku sangat baik.
” Rasulullah saw. bersabda, “Adapun orang ini, ia telah berkata jujur. Berdirilah wahai Ka’ab, tunggulah keputusan Allah.”
Beberapa laki-laki dari Bani Salamah berjalan mengikutiku. Mereka berkata, “Demi Allah, kami belum pernah melihatmu berbuat dosa sebelum ini. Mengapa kamu tidak mampu mengajukan alasan kepada Rasulullah saw., sebagaimana orang-orang yang tidak ikut berperang itu mengemukakan alasannya. Sungguh, istigfar Rasulullah saw. sudah cukup untuk mengampuni dosamu.” Mereka terus menyalahkan tindakanku sampai timbul keinginan dalam diriku untuk kembali kepada Rasulullah saw. dan berkata bohong kepadanya.
Aku bertanya kepada mereka , “Adakah orang lain yang mengalami hal sepertiku?”
Mereka menjawab , “Ada, dua laki-laki yang berkata seperti kamu katakan kepada Rasulullah saw. Beliau berkata kepada mereka seperti yang dikatakannya kepadamu.”
“Siapakah mereka?”
“Murarah bin Rabi’ah dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi.” Kemudian mereka menyatakan bahwa kedua orang itu adalah orang – orang shalih yang ikut perang Badar, dan merekalah yang menjadi teladan.Aku segera pergi dari hadapan mereka.
Lalu, Rasulullah saw. melarang para sahabat untuk berbicara dengan kami bertiga. Orang- orang pun menghindari kami. Sikap mereka berubah terhadap kami. Sampai- sampai, aku merasakan bumi berubah, bukan bumi yang sebelumnya kukenal. Keadaan seperti ini menimpa kami selama lima puluh hari.Dua temanku, Murarah dan Hilal, hanya menetap di rumah masing – masing dan terus – terusan menangis. Sementara aku, orang yang usianya paling muda, dan paling kuat di antara kami, masih menghadiri shalat berjamaah dengan kaum muslimin, dan pergi ke pasar. Aku tetap melakukan itu, meski tidak ada seorangpun yang mau berbicara denganku.
Aku juga mendatangi Rasulullah saw.Kuucapkan salam kepadanya ketika beliau di tempat duduknya setelah shalat. Aku berkata dalam hati, “Apakah beliau menggerakkan bibirnya untuk menjawab salam atau tidak?” Kemudian aku mengerjakan shalat di dekat beliau sambil melirik kepada beliau. Saat aku tidak menoleh ke arah beliau, beliau memandangku. Namun , jika aku memandang beliau, beliau berpaling.
Ketika perlakuan keras ini kurasakan cukup lama, aku berjalan menuju kebun Abu Qatadah dan kupanjat pagarnya. Dia adalah sepupuku dan orang yang paling aku sukai. Aku mengucapkan salam kepadanya. Akan tetapi, ia sama sekali tidak menjawab salamku. Aku berkata kepadanya, “Aku bersumpah dengan nama Allah untukmu, apakah kamu mengetahui bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Dia hanya diam. Aku mengulangi pertanyaanku. Dia menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Air mataku jatuh bercucuran, lalu aku pergi dengan memanjat pagar.
Pada suatu hari, ketika aku berjalan di pasar Madinah,seorang petani dari penduduk Syam, berkata,”Siapakah yang bisa menunjukkan aku kepada Ka’ab bin Malik?” Orang – orang menunjuk kepadaku, lalu ia mendatangiku dan menyodorkan surat dari raja Ghassan. Kubaca isinya sebagai berikut: Kami telah mendengar bahwa temanmu (Muhammad) telah bersikap keras kepadamu, padahal Allah tidak menjadikanmu untuk dihina atau ditelantarkan. Oleh karena itu, bergabunglah dengan kami, kami akan menolongmu.” Selesai kubaca, aku berkata dalam hati, “Surat ini juga bagian dari cobaan.” Aku pergi ke tempat pembakaran dan kubakar surat itu.Keadaan seperti ini sudah berlangsung selama empat puluh hari, dan wahyu yang berkaitan dengan masalah ini belum juga turun.
Tak berapa lama, utusan Rasulullah mendatangiku dan berkata, “Rasulullah memerintahkan kepadamu untuk menjauhi istrimu.”
Aku berkata, “Apakah aku harus menceraikannya, atau apa yang harus aku perbuat terhadapnya?” Ia menjawab,
“Tidak, tapi jauhilah dia.” Rasulullah saw. juga mengutus seseorang kepada dua temanku, dengan perintah yang sama.
Aku berkata kepada istriku, “Pergilah kepada keluargamu. Tetaplah bersama mereka hingga Allah memberikan keputusan tentang masalah itu.”
Istri Hilal bin Umayah menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasulullah ,Hilal bin Umayah adalah orang yang sudah lanjut usia dan tidak mempunyai pelayan. Apakah engkau tidak suka bila aku membantunya?”
Rasulullah saw. menjawab, “Boleh,tapi jangan sampai dia mendekatimu.” Istri Hilal berkata, “Demi Allah, ia sudah tidak memikirkan apa-apa lagi. Sejak peristiwa itu sampai saat ini, ia tidak berhenti menangis.”
Beberapa keluargaku berkata kepadaku, “Sebaiknya kamu meminta izin kepada Rasulullah untuk istriku, karena beliau telah memberikan izin kepada istri Hilal untuk membantunya.”
Aku menjawab, “Aku tidak akan meminta izin kepada Rasulullah untuk istriku. Aku tidak mengetahui apa yang akan dikatakan oleh Rasulullah jika aku meminta izin kepada beliau untuk istriku, padahal aku masih muda.”
Keadaan seperti ini berlangsung selama sepuluh hari, sehingga genap lima puluh hari sejak sanksi tersebut diberlakukan. Pada hari kelima puluh, ketika aku melakukan shalat subuh di salah satu ruang rumah kami , aku sangat sedih, dan bumi yang luas pun terasa sempit. Kondisi hatiku telah Allah gambarkan dalam Al-Qur’an.
Saat itu, aku mendengar suara orang yang berteriak dari atas gunung Sal’in. Orang itu mengatakan, “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah.”
Setelah mendengar suara itu, aku bersujud. Aku mengetahui bahwa berita gembira akan datang.
Selesai shalat subuh, Rasulullah saw. memberi tahu kaum muslimin bahwa Allah swt. Telah menerima tobat kami, sehingga orang-orang berhamburan memberitahukannya kepada kami. Ada seorang laki-laki datang dengan mengendarai kuda, dan ada seorang laki-laki dari Bani Aslam datang dengan berjalan kaki meleawti gunung da suara mereka lebih cepat dari kuda mereka.
Ketika orang yang memberikan kabar gembira sampai ke rumahku, aku langsung melepas pakaianku, dan kupakaikan kepadanya. Padahal saat itu, aku tidak mempunyai pakaian yang lain. Lalu aku meminjam pakaian dan berangkat untuk menemui Rasulullah saw. Kaum muslimin mengucapkan selamat kepadaku secara bergantian. Mereka berkata , “Bergembiralah dengan penerimaan tobat dari Allah,” hingga aku masuk ke mesjid.
Saat itu Rasulullah saw. sedang duduk dikelilingi para sahabat. Melihat kedatanganku, Thalhah bin Ubaidillah berdiri berjalan cepat untuk menyambutku. Ia menyalami dan mengucapkan selamat kepadaku. Selain dia, tiadk ada orang Muhajirin yang berdiri untuk menyambutku. Ka’ab bin Malik akan selalu mengingatnya karena kebaikannya itu.
Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah saw., beliau menjawab dengan muka berseri – seri, “Bergembiralah dengan hari yang terbaik sejak ibumu melahirkanmu.”
Aku bertanya,”Ya Rasulullah, dari engkau atau dari Allah?”
Beliau menjawab, “Bukan dariku, tapi dari Allah yang Mahamulia da Maha Agung.”
Apabila bergembira , muka Rasulullah bersinar bagaikan belahan bulan.
Ketika aku duduk di depan beliau, aku berkata, “Ya Rasulullah, di antara tobatku (sebagai rasa syukur), aku shadaqahkan hartaku untuk Allah dan Rasul-Nya.”
Rasulullah bersabda, “Biarkan sebagian hartamu tetap menjadi milikmu.Itu akan lebih baik bagimu.”
Aku berkata,”Aku masih punya bagianku di Khaibar ya Rasulullah, sesungguhnya , Allah yang Mahatinggi menyelamatkanku karena berkata jujur. Di antara bentuk tobatku adalah aku berjanji untuk selalu berkata jujur selama aku hidup.”
Demi Allah, aku tidak mengetahui seorangpun dari kaum muslimin yang diberi nikmat berkata jujur oleh Allah swt., yang lebih baik daripada kejujuran yang Allah berikan kepadaku, sejak aku berjanji untuk selalu berkata kepada Rasulullah.
Demi Allah, aku tidak pernah berbohong sejak aku mengatakan hal itu kepada Rasulullah hingga hari ini. Semoga Allah memeliharaku pada masa – masa berikutnya.
Lalu Allah swt. Menurunkan firman-Nya.
Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (TQS 9 : 117-119)
Demi Allah tidak ada nikmat Allah yang lebih besar bagiku, setelah Allah memberikan petunjuk islam kepadaku, selain kejujuranku kepada Rasulullah, sehingga aku tidak binasa, sebagaimana yang dialami oleh mereka yang membohongi beliau. Allah berfirman tentang mereka dengan nada yang sangat menghinakan,
Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu rida kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu rida kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak rida kepada orang-orang yang fasik itu. (TQS 9 : 95-96)
Kami bertiga berbeda dengan mereka yang alasannya diterima oleh Rasulullah ketika mereka bersumpah. Rasulullah mengambil janji mereka dan memintakan ampunan kepada Allah untuk mereka. Sementara itu, urusan kami bertiga ditangguhkan, hingga Allah memberikan keputusan-Nya.
Maksud firman Allah. “…Dan kepada orang-orang yang ditangguhkan…,” bukan ditangguhkan (tertinggal) dari perang, tetapi ditangguhkannya urusan mereka, berbeda dengan orang yang bersumpah (palsu) lalu menyampaikan alasan Rasul menerima alasan mereka.
(Muttafaq ‘alaih)

Subhanallah, kisah dan  perjuangan luar biasa yang dilakukan tiga orang hamba Allah bernama Ka’ab bin Malik , Murarah bin Rabi’ah dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi. Menurut saya pribadi dengan “diabadikan”nya kisah ini pastinya banyak pelajaran dan hikmah yang Allah mau ceritakan kepada kita. Dan bukan hal yang aneh kalau kita harus men”tafakuri”nya (memikirkan lebih mendalam) agar kita mendapat pelajaran-pelajaran yang ada didalamnya.
Didalam kisah ini kita mendapat pelajaran betapa “pahitnya” menjaga nilai kejujuran pada awalnya, walaupun kita tahu ada buah yang manis menunggu kita diakhirnya. Didalam kisah ini juga kita belajar tentang ujia yang pasti datang dalam hidup kita tak lain adalah tangga untuk membuat kita menjadi manusia yang lebih baik jika kita dapat melewatinya dengan baik sesuai ketentuan Allah. Didalam kisah ini kita diingatkan lagi tentang luasnya pintu taubat dari Allah yang tidak akan tertutup selama kita masih diberikan waktu di dunia. (Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam hadits no.4066)
Berbahagialah orang-orang yang jujur. Semoga Allah dengan karunia dan rahmatNya, menjadikan kita termasuk orang-orang yang jujur. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Dermawan dan Maha Pemurah.
وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم
Wallahu A’lam bis showab.

Selengkapnya...

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>