KEUTAMAAN PUASA TASYU'A DAN ASYURA DI BULAN MUHARRAM


 Oleh Ali Wafa Abu Sulthon






Bulan Muharram ada satu hari yang dikenal dengan sebutan hari ‘Asyura. Orang-orang jahiliyah pada masa pra Islam dan bangsa Yahudi sangat memuliakan hari ini. Hal tersebut karena pada hari ini Allah Subhanahu wa Ta’ala selamatkan Nabi Musa ‘alaihissalam dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Bersyukur atas karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, Nabi Musa ‘alaihissalam akhirnya berpuasa pada hari ini. Tatkala sampai berita ini kepada Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wassalam, melalui orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah beliau bersabda, 
   أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ
“Saya lebih berhak mengikuti Musa dari kalian (kaum Yahudi)”.
Yang demikian karena pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sampai di Madinah, beliau mendapati Yahudi Madinah berpuasa pada hari ini, maka beliau sampaikan sabdanya sebagaimana di atas. Semenjak itu beliau Shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan ummatnya untuk berpuasa, sehingga jadilah puasa ‘Asyura diantara ibadah yang disukai di dalam Islam. Dan ketika itu puasa Ramadhan belum diwajibkan.
Adalah Abdullah bin Abbas radiyallahu ‘anhu yang menceritakan kisah ini kepada kita sebagaimana yang terdapat di dalam Shahih Bukhari No 1900,
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِيْنَةَ فَرَأَى اليَهُوْدَ تَصُوْمُ يَوْمَ عَاشُوْرَاء فَقَالَ:ماَ هَذَا؟ قَالُوْا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللهُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوْسَى. قَالَ: فَأَناَ أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ. فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
“Tatkala Nabi Shallallahu’alaihi wasallam datang ke Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di hari ‘Asyura. Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam bertanya, “Hari apa ini?”. Orang-orang Yahudi menjawab, “Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah selamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa ‘alaihissalam berpuasa pada hari ini. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Saya lebih berhak mengikuti Musa dari kalian (kaum Yahudi). Maka beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untukberkenaan dengan puasa sunnah pada bulan Muharram, yaitu puasa hari 'Asyura (10 Muharram) dan Tasu'a (9 Muharram).

Hadits yang Pertama

عن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم صام يوم عاشوراء وأمر بصيامه. مُتَّفّقٌ عَلَيهِ

Dari Ibnu Abbas - radhiyallahu 'anhuma -, " Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari 'Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya". (Muttafaqun 'Alaihi).

Hadits yang Kedua

عن أبي قتادة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم سئل عن صيام يوم عاشوراء فقال: ((يكفر السنة الماضية)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.


Dari Abu Qatadah - radhiyallahu 'anhu -, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari 'Asyura. Beliau menjawab, "(Puasa tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu". (HR. Muslim)

Hadits yang Ketiga

وعن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُما قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: ((لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.

Dari Ibnu Abbas - radhiyallahu 'anhuma – beliau berkata : " Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan" (HR. Muslim)

TAKHRIJ HADITS

• Hadits yang pertama telah dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Ash-Shaum no hadits 2003, Al-Imam Muslim di dalam Ash-Shiyam no hadits 128, serta Abu Dawud dalam Ash-Shaum no hadits 2444.
• Hadits yang kedua telah dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim di dalam Ash-Shiyam no hadits 197, serta Abu Dawud dalam Ash-Shaum no hadits 2425, At-Tirmidzi dalam Ash-Shaum no hadits 767, serta Imam Ahmad dalam musnadnya (4/25)
• Hadits yang ketiga dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim di dalam Ash-Shiyam hadits no 34, Ahmad dalam musnadnya (1/225) dan Ibnu Majah di dalam Ash-Shiyam (1736)
(Lihat takhrij Syarh Riyadhis Shalihin).

FAEDAH HADITS

Hadits-hadits di atas menjelaskan kepada kita tentang disyariatkannya berpuasa pada hari 'Asyura (10 Muharram). Begitu pula pada hari Tasu'a ( 9 Muharram) sebagaimana yang akan diterangkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin – rahimahullah Ta'ala -

Beliau berkata (Syarh Riyadhush Shalihin, Ibnul Utsaimin),
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari 'Asyura, beliau menjawab, "Menghapuskan dosa setahun yang lalu", ini pahalanya lebih sedikit daripada puasa Arafah (yakni menghapuskan dosa setahun sebelum serta sesudahnya –pent). Bersamaan dengan hal tersebut, selayaknya seorang berpuasa 'Asyura (10 Muharram) disertai dengan (sebelumnya.ed.) Tasu'a (9 Muharram). Hal ini karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada yang kesembilan", maksudnya berpuasa pula pada hari 'Asyura.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari sebelum maupun setelah 'Asyura (1) dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi karena hari 'Asyura –yaitu 10 Muharram- adalah hari dimana Allah selamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir'aun dan para pengikutnya. Dahulu orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut sebagai syukur mereka kepada Allah atas nikmat yang agung tersebut. Allah telah memenangkan tentara-tentaranya dan mengalahkan tentara-tentara syaithan, menyelamatkan Musa dan kaumnya serta membinasakan Fir'aun dan para pengikutnya. Ini merupakan nikmat yang besar.

Oleh karena itu, setelah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tinggal di Madinah, beliau melihat bahwa orang-orang Yahudi berpuasa pada hari 'Asyura (2). Beliau pun bertanya kepada mereka tentang hal tersebut. Maka orang-orang Yahudi tersebut menjawab, "Hari ini adalah hari dimana Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta celakanya Fir'aun serta pengikutnya. Maka dari itu kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian".

Kenapa Rasulullah mengucapkan hal tersebut? Karena Nabi dan orang–orang yang bersama beliau adalah orang-orang yang lebih berhak terhadap para nabi yang terdahulu. Allah berfirman,

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ

"Sesungguhnya orang yang paling berhak dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman, dan Allah-lah pelindung semua orang-orang yang beriman". (Ali Imran: 68)

Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah orang yang paling berhak terhadap Nabi Musa daripada orang-orang Yahudi tersebut, dikarenakan mereka kafir terhadap Nabi Musa, Nabi Isa dan Muhammad. Maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa 'Asyura dan memerintahkan manusia untuk berpuasa pula pada hari tersebut. Beliau juga memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari 'Asyura, dengan berpuasa pada hari kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan puasa pada hari kesepuluh ('Asyura), atau ketiga-tiganya. (3)

Oleh karena itu sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim dan yang selain beliau menyebutkan bahwa puasa 'Asyura terbagi menjadi tiga keadaan:
1. Berpuasa pada hari 'Asyura dan Tasu'ah (9 Muharram), ini yang paling afdhal.
2. Berpuasa pada hari 'Asyura dan tanggal 11 Muharram, ini kurang pahalanya daripada yang pertama. (4)
3. Berpuasa pada hari 'Asyura saja, sebagian ulama memakruhkannya karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya makhruh).
melakukannya”. [HR Al Bukhari]





Selengkapnya...

BERJALAN DI JALAN YANG LURUS

                                                    
                                                        Oleh Ali Wafa Abu Sulthon

Dalam mengarungi kehidupan ini , bagi seorang muslim untuk senantiasa berjalan di jalan yang lurus sebagaimana kita memohon kepada Allah Azza wajallah dalam  sholat kita ketika kita membaca  surah Al- fatihah yaitu
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيم   

Artinya : Tunjukkan kami ke jalan yang lurus ( Al- fatihah ayat :6)

Berkata Al imam Ibnu Katsir Rahimahullah : ilhamkan kami, berikan kami taufiq, berikan kami rizki dan anugerahkan kami dan hidayah itu ada dua yaitu al irsyad dan taufiq.
Berkata As-syaikh Abdur-Rahman As-Sa’di yaitu  Tunjukkan kami, bimbinglah kami, dan berikan kami Taufiq ke jalan yang lurus. Jalan yang lurus itu adalah jalan yang terang yang menuju kepada Allah, Surga- Nya, mengetahui yang Haq dan beramal dengan jalan yang lurus, Tunjukkan kami ke jalan itu dan tunjukkan kami di dalam jalan itu maka hidayah ke jalan itu yaitu berpegang teguh pada Dienul Islam dan meninggalkan Dien – dien yang lain dan petunjuk jalan itu meliputi semua petunjuk berupa jalan Ad- dien ini dengan Ilmu dan Amal dan ini adalah do’a yang mencakup Ad- dien ini dan bermanfaat bagi seorang hamba dan wajib baginya untuk memohon kepada Allah dalam setiap raka’atnya begitu pentingnya dan shirothol Mustaqim adalah ( Jalan yang engkau berikan Nikmat ) yaitu jalan para Nabi , orang – orang yang jujur  ( Ash-shiddiq) , orang – orang yang  syahid dan orang – orang yang sholeh.
Berkata Abu Aliyah berkenaan dengan Ayat ( tunjukan kami ke jalan yang Lurus – Al – Fatihah ayat 6 ) bahwa  itu jalan Rasulullah Shollallahu alaihi wa salam dan Shohabanya setelah beliau shollallahu alaihi wasallam yaitu Abu Bakar rodhiyallahu anhu dan Umar rodhiyallahuanhu .
 Abdur.Rahman ibn Zaid Ibn Aslam  berkata: berkenaan ayat ( tunjukkan kami ke jalan yang lurus  -- Al fatihah ayat 6) yaitu  Al Islam.

Dari penafsiran  para ulama yang di atas  berkenaan dengan Ash-shiroth-ol- Mustaqim dapat disimpulkan sebagai berikut :

Ash-shirathol Mustaqim meliputi sebagai berikut :
  1. Al irsyad ( Dalil – dalil yang bersumber dari Kitabullah dan As-sunnah dalam pemahaman para shahabat )
  2. Shirothul wadhih ( jalan yang terang tampa adanya  kegegelapan dan keraguan terhadap Al Islam )
  3. Ad- Dienul Islam
  4. Jalannya Rasulullah shollallahu alaii wasallam ( baik dari perkataan, perbuatan, pernyataan dan Aqidah ( I’tiqod = Keyakinan ) tampa menambah dan mengurangi pada Sunnah dan hadist Beliau shollallahu alaihi wasallam
  5. Jalannya  Ash- shodiq ( jalan para shohabat ridwanallahu alaihim )
  6. Taufiq ( jalan yang dibimbing oleh Allah azza wa jalla kepada seorang hamba untuk menjadi hamba yang ta’at , orang – orang yang syuhada’ dan orang – orang yang sholeh)
Shirothol Mustaqim ( jalan yang lurus ) harus berusaha untuk mendapatkannya dengan jalan tholabul ilmi ( menuntut ilmu syar’i  yaitu belajar dan memahami kitabullah dan As- Sunnah ash-sohihah sesuai dengan pemahaman para shahabat ( yang dikenal di Al Qur’an yaitu Ash-shodiqin dan syuhadah baik dari kalangan muhajirin dan anshor Ridhwanallahu alaihim)  yang dijaga oleh Allah Azza wa jalla wa tabaroka wa ta’ala dalam mendampingi Rasulullah Shollallahu alaihi wa sallam dan Allah Azza wa jalla telah menjamin mereka  yaitu para shahabat sebagaimana firmanya :

       وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ                                                                                                                             
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. –( At-Taubah  ayat  100)

Telah nyata kesabaran dan perjuangan para shahabat ridhwanallahu alaihim dalam mengakui, mempersaksikan, mendampingi, membela dan mencintai Rasulullah shollallahu alaihi wasallam untuk menegakkan Kalimat Tauhid di bawah bimbingan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam di atas wahyu yang disampaikan oleh Jibril alaihissalam dari Rabb semesta alam ini maka para shahabat ridwanallahu alaihim berada di jalan yang lurus dimana kita dilarang menyimpang dari jalan para shahabat Ridhwanallahu alaihim dengan tidak menyelisihi mereka, menghina salah satunya , meragukan salah satu dari mereka Ridwanallahu alaihim dalam mengemban syareat ini.


Kita tentu sudah maklum bahwa jalan atau metode itu bermacam-macam. Namun jalan atau metode yang lurus, yang tidak ada kebengkokan inilah yang perlu kita ketahui. Dan itulah sesungguhnya yang senantiasa kita pinta di setiap sholat kita. Para ulama ahli tafsir dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan selain mereka telah berbeda pendapat tentang hal ini. Namun perbedaan tersebut tetap bertemu dalam sebuah makna yang sama.
Abdulloh Ibnu Abbas dan Jabir rodhiyallohu’anhuma mengatakan bahwa maknanya ialah Islam. Pendapat ini juga diikuti oleh Muqotil rohimahulloh. Sedangkan Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu’anhu mengatakan bahwa maknanya ialah al-Qur’an. Seperti yang diriwayatkan secara marfu’ dari Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu’anhu bahwa shirothol mustaqim adalah Kitabulloh (al-Qur’an).
Sedangkan menurut Said bin Juber rodhiyallohu’anhu ia bermakna thoriq (jalan) ke Surga. Sedangkan Sahl bin Abdulloh mengatakan bahwa ia bermakna jalan (ahli) sunnah wal jama’ah. Sedangkan Bakar bin Abdulloh al-Muzani mengatakan bahwa ia bermakna jalan Rosululloh Shollallohu’alaihi wa sallam. (Tafsir al-Baghowi: 1/54)
Dari penjelasan para ulama ahli tafsir di atas bisa kita pahami bahwa shirothol mustaqim, yang setiap sholat kita pinta itu, ialah jalan Rosululloh Sholallohu alaihi wasallam, jalan ke Surga, adalah Kitabulloh, al-Qur’an, Islam, dan jalan ahlu sunnah wal jama’ah.
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi (Aisarut Tafasir: 1/5) berkata:
Ihdina artinya tunjuki dan arahkanlah kami, serta kekalkan petunjuk kami. Ash-shiroth artinya jalan yang menyampaikan ke keridhoan dan Surga-Mu, yaitu berislam kepada-Mu.  Al-mustaqim artinya yang tidak ada penyelewengan dari kebenaran dan petunjuk padanya. Makna ayat ini, dengan pengajaran dari Alloh Azza wa Jalla, bahwa seorang hamba mewakili seluruh saudaranya kaum mukminin mengucapkan doa meminta kepada Robbnya setelah bertawassul kepada-Nya dengan memuji, menyanjung, serta mengagungkan-Nya. Lalu dengan perjanjian serta pengakuan –dia beserta seluruh saudaranya kaum muslimin– untuk tidak beribadah selain hanya kepada-Nya, dan tidak memohon pertolongan selain kepada-Nya pula. Mereka meminta kepada-Nya agar mengekalkan hidayah mereka ke Islam dan dalam Islam sehingga tidak pernah terputus darinya.”
Syaikh Abdurrohman Bin Nashir as-Sa’di rohimahulloh (Taisirul Karimir Rohman: 1/39) berkata:
”Kemudian Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: …ihdinash shirothol mustaqim… artinya tunjukilah kami, arahkanlah kami, serta berikanlah taufiq kepada kami menuju shiroth mustaqim, yaitu jalan yang jelas yang menuju kepada Alloh dan Surga-Nya, ialah mengetahui kebenaran serta mengamalkannya. Maka tunjukilah kami menuju shiroth dan tunjukilah kami (tatkala kami telah) di shiroth. Petunjuk menuju shiroth ialah memegangi (ajaran) agama Islam dan meninggalkan agama apa pun selainnya. Sedangkan petunjuk di dalam shiroth mencakup petunjuk menuju seluruh perincian ajaran Islam secara ilmu serta amal. Do’a ini termasuk do’a yang paling luas cakupannya dan paling bermanfaat bagi hamba. Oleh karenanya wajib bagi setiap manusia berdo’a kepada Alloh dengan do’a tersebut di setiap roka’at sholatnya, mengingat kebutuhan hamba yang sangat mendesak akan hal ini.”
Jalan Orang-orang Yang Diberi Nikmat
Jalan ahlu sunnah wal jama’ah yang merupakan shirothol mustaqim adalah jalan ke Surga. Ia merupakan jalan para pendahulu kaum muslimin yang sholih, sebagaimana disebutkan oleh Alloh Azza wa Jalla di dalam surat al-Fatihah, bahwa ia merupakan jalan yang dilalui oleh mereka yang telah mendapat kenikmatan dari-Nya Azza wa Jalla. Siapakah mereka itu semua? Mereka adalah yang disebutkan oleh Alloh Ta’ala di dalam firman-Nya (yang artinya):
“Dan barangsiapa yang mentaati Alloh dan Rosul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Alloh, yaitu nabi-nabi, para shiddiiqiin (orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran rosul), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 69)
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Baghowi (Tafsir al-Baghowi: 1/54):
“Tentang firman-Nya: …yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat… artinya ialah orang-orang yang telah Engkau anugerahi hidayah dan taufiq. Ikrimah mengatakan: ‘Orang-orang yang telah Engkau anugerahi keteguhan di atas iman dan istiqomah, mereka ialah para nabi ‘Alaihimussalam.Ada pula yang mengatakan bahwa mereka ialah siapa saja yang telah Alloh Ta’ala teguhkan di atas iman, dari kalangan para nabi dan orang-orang beriman yang Alloh Azza wa Jalla sebutkan di dalam firman-Nya (QS. an-Nisa’ [4]: 69 -pen).”
Itulah shirothol mustaqim yang senantiasa kita pinta kepada Alloh Ta’ala dalam setiap sholat kita, bahkan setiap kita membaca surat al-Fatihah. Kita senantiasa meminta shirothol mustaqim dan senantiasa memohon agar dijauhkan dari jalan orang-orang yang dimurkai dan jalan orang-orang yang tersesat.
“Orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi, sedangkan orang yang tersesat ialah Nashroni. Sebab Alloh Ta’ala telah menetapkan kemurkaan bagi orang Yahudi, sebagaimana di dalam QS. al-Maidah [5]: 60. Dan telah menetapkan kesesatan kepada orang Nashroni, sebagaimana di dalam QS. al-Maidah [5]: 77.” (Tafsir al-baghowi 1/55)


Allohu a’lam bish showab.



Selengkapnya...

Membangun Kesempurnaan Tauhid di Ibadah Haji

Oleh Ali Wafa Abu Sulthon




Ibadah haji memiliki satu arti penting dalam pembinaan dan pendidikan seorang muslim karena berisi tauhid dan syiar-syiarnya serta berisi pendidikan praktis kepada pribadi muslim yang dimudahkan melakukan ibadah ini. Sehingga benarlah sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barang siapa berhaqji, lalu tidak berbuat keji dan kefasikan, maka ia keluar dari dosanya seperti ketika ibunya melahirkannya (HR. Muslim no.2404)
Dengan demikian salahlah mereka yang menunaikan ibadah haji hanya untuk mendapat kehormatan dan kedudukan atau hanya sebagai wisata dan hiburan semata.
Marilah kita jadikan haji kita sarana pendidikan dan pembinaan diri untuk mencapai insan yang kamilI.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksankana haji, yaitu pada haji wada’, yang di situ beliau menyampaikan cara-cara manasik kepada umat manusia, secara ucapan maupun amalan/praktek langsung. Beliau bersabda kepada umat manusia :
« خذوا عني مناسككم فلعلي لا ألقاكم بعد عامي هذا »
Ambillah dariku cara manasik haji kalian. bisa jadi aku tidak bertemu kalian lagi setelah tahun ini. HR. An-Nasa`i 3062
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umat manusia segala yang diamalkan dan diucapkan dalam ibadah haji, serta seluruh manasik haji, dengan sabda dan perbuatan-perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sungguh beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, dan berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad sampai ajal menjemput beliau.
Kemudian para khalifah ar-rasyidin dan para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum berjalan di atas manhaj (metode dan jalan) beliau yang lurus, dan menjelaskan kepada umat manusia risalah yang agung ini dengan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan, serta mereka menukilkan segala sabda dan perbuatan-perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia dengan penuh amanah dan kejujuran. Radhiyallahu ‘anhum.
Di antara tujuan terbesar dari ibadah haji adalah menyatukan barisan kaum muslimin di atas al-haq dan membimbingnya mereka kepada al-haq, agar mereka istiqamah di atas agama Allah, beribadah hanya kepada Allah satu-satu-Nya, dan tunduk patuh terhadap syari’at-Nya.
Sesungguhnya Allah Jalla wa ‘Ala telah mensyari’atkan ibadah haji kepada hamba-hamba-Nya, dan menjadikannya sebagai rukun Islam yang kelima, karena adanya hikmah yang banyak dan rahasia yang agung, di samping manfaat yang tak terhitung.
Allah Jalla wa ‘Ala telah menunjukkan hal itu dalam kitab-Nya yang agung ketika Allah Jalla wa ‘Ala berfirman :

قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ * إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ * فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ *

Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, adalah Baitullah yang di Bakkah (Makah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Ali ‘Imran : 95-97)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa Baitullah (Ka’bah) adalah rumah pertama yang dibangun untuk umat manusia, yakni di muka bumi, untuk ibadah dan bertaqarrub kepada Allah dengan amalan-amalan yang diridhai-Nya. Sebagaimana telah sah dalam Ash-Shahihain dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu dia berkata :
Aku bertanya, wahai Rasulullah, beritakan kepadaku tentang masjid pertama yang dibangun di muka bumi.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Al-Masjidil Haram.” Aku bertanya lagi, “Kemudian masjid mana lagi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Al-Masjidil Aqsha.” Aku lalu bertanya lagi, “Berapa lama jarak antara keduanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “40 tahun,” Aku bertanya, “Kemudian mana lagi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kemudian di mana pun waktu shalat tiba, maka shalatlah di situ, karena itu adalah masjid.” (HR. Al-Bukhari 3186, Muslim 520)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa rumah pertama yang dibangun untuk umat manusia adalah Al-Masjidil Haram, yaitu rumah yang dibangun untuk ibadah dan bertaqarrub kepada Allah, sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama. Sebelumnya sudah ada rumah-rumah untuk dihuni/tempat tinggal, namun yang dimaksud di sini adalah rumah pertama yang dibangun untuk ibadah, ketaatan, dan taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan ucapan dan amalan yang diridhai-Nya.
Kemudian setelah itu adalah Al-Masjidil Aqsha yang dibangun oleh cucu Nabi Ibrahim, yaitu Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim ‘alaihimush shalatu was salam. Kemudian diperbarui lagi pada akhir zaman setelah itu dengan jarak/jeda waktu yang sangat lama oleh Nabi Sulaiman ‘alaihish shalatu was salam.
Lalu setelah itu seluruh permukaan bumi adalah masjid. Kemudian datanglah Masjid Nabawi, yang itu merupakan masjid ketiga pada akhir zaman yang dibangun oleh Nabi akhir zaman, yaitu Nabi Muhammad ‘alaihish shalatu was salam. Beliau membangunnya setelah berhijrah ke Madinah, beliau membangunnya bersama-sama para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Beliau memberitakan bahwa Masjid Nabawi tersebut merupakan masjid paling utama (afdhal) setelah Al-Masjidil Haram.
Jadi masjid yang paling utama ada tiga. Yang terbesar dan paling utama adalah Al-Masjidil Haram, kemudian Masjid Nabawi, dan Al-Masjidil Aqsha.
Shalat di ketiga masjid tersebut dilipatgandakan pahalanya. Terdapat dalam hadits yang shahih :
« أنها في المسجد الحرام بمائة ألف صلاة »
Shalat di Al-Masjidil Haram sama dengan 100.000 (seratus ribu) kali shalat. (HR. Ibnu Majah 1413)
Tentang Masjid Nabawi :
« الصلاة في مسجده خير من ألف صلاة فيما سواه , إلا المسجد الحرام »
Shalat di masjidku lebih baik daripada 1000 (seribu) kali shalat di selainnya, kecuali di al-masjidil haram.. HR. Al-Bukhari 1133, Muslim 1394
Dan tentang Al-Masjidil Aqsha :
« أنها بخمسمائة صلاة »
Sebanding dengan 500 kali shalat.
Jadi tiga masjid tersebut merupakan masjid yang agung dan utama, itu merupakan masjidnya para nabi ‘alahimush shalatu was salam.
Allah Jalla wa ‘Ala mensyari’atkan ibadah haji kepada hamba-hamba-Nya karena padanya terdapat kemashlahatan yang sangat besar. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa haji itu wajib atas para hamba yang mukallaf dan mampu menempuh perjalanan kepadanya. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Al-Qur`an dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Atas manusia terdapat kewajiban haji untuk Allah semata, barangsiapa yang mampu menempuh perjalanan ke Baitullah. (Al-‘Imran : 97)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan umat manusia : 

« أيها الناس إن الله كتب عليكم الحج فحجوا . فقيل : يا رسول الله أفي كل عام ؟ فقال : الحج مرة فمن زاد فهو تطوع »

Wahai umat manusia, sesungguhnya Allah telah menuliskan kewajiban haji atas kalian. maka berhajilah kalian! Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah apakah setiap tahun (kewajiban tersebut)?” Nabi menjawab, “(Kewajiban) haji sekali saja. Barangsiapa yang menambah (berhaji lagi) maka itu sunnah.” (HR. Muslim 1337)
Jadi kewajiban haji hanya sekali seumur hidup. Adapun selebihnya maka itu sunnah. Kewajiban ini berlaku kepada kaum pria maupun kaum wanita, yang mukallaf dan mampu melakukan perjalanan ke Baitullah.
Adapun setelah itu, maka itu merupakan ibadah sunnah dan taqarrub yang agung. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
« العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة »
Umrah ke ‘umrah berikut merupakan penebus dosa (yang terjadi) antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali al-jannah. (HR. Al-Bukhari 1683, Muslim 1349)

Kewajiban terbesar yang Allah tetapkan adalah mentauhidkan-Nya dan memurnikan ibadah hanya untuk-Nya, di semua tempat dan semua waktu, termasuk ditempat agung nan penuh barakah ini. Sesungguhnya termasuk kewajiban terbesar adalah memurnikan peribadahan untuk Allah semata di semua tempat dan di semua waktu, maka di tempat ini (di Makkah) kewajiban tersebut lebih besar dan lebih wajib lagi. Maka wajib memurnikan (ibadah) hanya untuk Allah semata dalam ucapan maupun perbuatan, baik berupa thawaf, sa’i, do’a, dan yang lainnya. Demikian juga amalan-amalan lainnya, semuanya harus murni untuk Allah Jalla wa ‘Ala semata dan harus menjauhi segala kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, menjauhi perbuatan menzhalimi dan mengganggu hamba baik dengan ucapan maupun penbuatan. Seorang mukmin itu sangat bersemangat untuk memberikan manfaat terhadap saudara-saudaranya, berbuat baik kepada mereka, dan mengarahkan mereka kepada kebaikan, serta menjelaskan hal-hal yang belum mereka ketahui dari perintah dan syari’at Allah, dengan waspada dari mengganggu mereka, menzhalimi mereka baik terkait darah/nyawa, harta, maupun kehormatan mereka. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzhaliminya, tidak menghinakannya, dan tidak menyia-nyiakannya, sebaliknya ia mencintai untuk saudaranya segala kebaikan dan membenci kejelekan untuk saudaranya, di mana pun berada, terlebih lagi di Baitullah, di tanah haram, dan di negeri Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya Allah telah menjadikan tanah haram ini sebagai tempat yang aman, Allah jadikan aman dari segala hal yang ditakuti oleh manusia. Maka seorang muslim harus benar-benar perhatian, agar dirinya menjadi orang yang terpercaya terhadap saudaranya, menasehati, dan mengarahkannya. Tidak malah menipunya, atau mengkhianati dan mengganggunya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Allah telah menjadikan tanah haram ini sebagai tempat yang aman, sebagaimana firman-Nya :
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا
Ingatlah ketika Kami menjadikan Ka’bah ini sebagai tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman.
Allah Jalla wa ‘Ala juga berfirman :
أَوَلَمْ نُمَكِّنْ لَهُمْ حَرَمًا آمِنًا يُجْبَى إِلَيْهِ ثَمَرَاتُ كُلِّ شَيْءٍ رِزْقًا مِنْ لَدُنَّا
Bukankah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam Tanah Haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh- tumbuhan) untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami? (Al-Qashash : 57)
Maka seorang mukmin harus benar-benar bersemangat untuk mewujudkan keamanan tersebut. Hendaknya dirinya berupaya serius untuk memberikan kebaikan kepada saudaranya, membimbing mereka kepada sesuatu yang bermanfaat, membantu mereka dalam urusan dunia maupun urusan agama, kepada segala yang membuat hatinya lapang, dan membantunya untuk menunaikan manasik. Sebagaimana ia juga berupaya serius untuk menjauhi dari berbagai maksiat yang Allah haramkan. Di antara kemaksiatan tersebut adalah mengganggu manusia yang lain. Sesungguhnya itu di antara perbuatan haram yang terbesar. Apabila gangguan tersebut dilakukan terhadap para jama’ah dan ‘umrah Baitullah Al-Haram, maka menjadi kezhaliman yang lebih besar lagi dosanya, lebih keras hukumannya, dan lebih parah akibatnya.
Haji dan ‘Umrah merupakan dua ibadah besar, termasuk ibadah yang terbesar, yang terdapat di belakangnya pahala yang sangat besar, manfaat yang sangat banyak, hasil-hasil yang baik, untuk segenap kaum muslimin di segala penjuru dunia.


Selengkapnya...

Ghibah Yang Syar'i Dalam Islam

 oleh Ali wafa Abu Sulthon


Perkataan  Imam Nawawi رحمه الله
Dalam kitab Riyadhussholihin , beliau رحمه الله menjelaskan : “Ketahuilah bahwa ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar sesuai dengan syariat, yang hal itu tidak mungkin ditempuh kecuali dengan ghibah. Yang demikian terjadi dengan enam sebab:

Pertama : Untuk meminta fatwa Ulama dalam memberikan Tahdzir

Diperbolehkan berkata kepada seorang mufti (ulama yang berfatwa): “Ayahku berbuat dhalim kepadaku” atau “Saudaraku, suamiku atau fulan berbuat begini dan begitu kepadaku. Apakah yang demikian diperbolehkan? Dan bagaimana sikapku untuk menghindarinya dan kembali mendapatkan hak-hakku serta menghindari kedhaliman tersebut?”, atau kalimat yang semisalnya.
Jika hal ini diperlukan, maka yang demikian diperbolehkan. Namun yang lebih utama hendaknya mengucapkannya dengan samar, seperti perkataan: “Seseorang atau seorang suami berbuat demikian”. Karena dengan cara ini telah cukup untuk mencapai maksud dan tujuannya, tanpa perlu menyebutkan nama orang tertentu (ta’yin). Walaupun demikian menyebutkannya dengan ta’yin itu pun diperbolehkan sebagaimana yang akan kami sebutkan dalam hadits tentang Hindun, Insya Allah.

Kedua : Agar menjauhi kejelekan dan kejahatannya


Hal di atas ada beberapa sisi, di antaranya:
- menjauhi perawi-perawi hadits yang dlaif atau saksi-saksi yang tidak terpercaya. Yang demikian diperbolehkan menurut kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya dapat menjadi wajib ketika diperlukan.
- Musyawarah dalam masalah pernikahan seseorang atau dalam hubungan dagang, penitipan barang atau muamalah-muamalah lainnya. Wajib bagi seorang yang diajak musyawarah untuk menerangkan keadaan sebenarnya dan tidak boleh menyembunyikan keadaannya, bahkan harus disebutkan kejelekan-kejelekan dan aib-aib yang ada pada orang tersebut dengan niat menasehatinya.
- Jika seorang pencari ilmu fiqh mendatangi ahlul bid’ah (aliran sesat) atau orang yang fasiq untuk mengambil ilmu, sementara dikhawatirkan dia akan mendapatkan kejelekan, maka kita perlu menasehatinya dengan menjelaskan keadaan orang itu sebenarnya dengan syarat meniatkannya sebagai nasehat.
Namun ini yang sering disalahgunakan. Kadang-kadang seorang yang berbicara seperti itu ternyata hanya karena dorongan hasad (iri dan dengki), sedangkan setan mengkaburkan terhadapnya dan menggambarkan seakan-akan itu adalah nasehat. Maka hendaklah kita memperhatikannya dengan jeli.
- Jika ada seorang yang memiliki tanggung jawab kepemimpinan, tetapi dia tidak melaksanakannya dengan baik. Apakah karena memang ia tidak cocok untuk tugas itu atau dia adalah seorang yang fasik dan lalai, dan semisalnya. Wajib menyebutkan keadaan orang tersebut kepada orang yang berada di atasnya dalam hal kekuasaan, agar memecat dan menggantinya dengan orang yang lebih baik. Atau paling tidak diberitahu atasannya agar orang tersebut diperlakukan sebagaimana mestinya dan tidak tertipu dengan sikapnya yang seakan baik, atau agar atasannya berupaya membimbing dan menganjurkan agar orang tersebut istiqamah atau merubah perbuatannya.

Ketiga:Agar menjauhi kefasikannya dan kesesatanya
Seperti dia terang-terangan minum khamr, pemeras manusia, pencatut, merampas harta manusia dengan dhalim, melakukan perkara-perkara yang bathil. Dalam hal ini boleh disebutkan kejelekan yang ia lakukan secara terang-terangan tersebut, namun diharamkan menyebutkan aib-aib lainnya, kecuali kalau ada alasan lain yang membolehkannya seperti yang telah disebutkan di muka.

Keempat : untuk mengenalakan Seseorang
Jika seseorang dikenal dengan julukannya seperti “si juling”, “si pincang”, “si tuli”, atau “si buta” dan lain-lain, maka  boleh mengenalkan orang tersebut dengan julukan-julukannya. Namun tidak boleh menyebutkannya dengan maksud mengejek dan merendahkannya. Kalau memungkinkan untuk dikenalkan dengan selain itu, maka hal tersebut lebih baik.
Inilah enam perkara yang merupakan sebab diperbolehkannya ghibah yang disebutkan oleh para ulama, yang kebanyakannya disepakati secara ijma’.
Dalil-dalilnya sangat banyak dan shahih dan sangat dikenal, di antaranya:
Diriwayatkan dari Aisyah رضي الله عنها, beliau berkata:
اسْتَأْذَنَ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ: ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ. (متفق عليه)
Seseorang meminta izin kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, kemudian beliau صلى الله عليه وسلم berkata: “Izinkanlah baginya, sungguh dia adalah sejelek-jelek seorang di antara sukunya”. (HR. Bukhari Muslim)
Imam Bukhari رحمه الله mengambil hadits ini sebagai dalil bolehnya ghibah terhadap orang yang jelek perangainya dan memiliki penyakit keraguan.
Diriwayatkan dari Aisyah رضي الله عنه, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَا أَظُنُّ فُلاَنًا وَفُلاَنًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا. (رواه البخاري)
Aku tidak mengira kalau fulan dan fulan itu mengerti agama ini sedikit pun. (HR. Bukhari)
(Yakni meremehkan keilmuan dua orang tersebut. Pent.)
Berkata Laits ibnu Sa’ad –salah seorang perawi hadits ini–: “Dua orang tersebut adalah dari kalangan munafiq”.
Diriwayatkan dari Fathimah binti Qais رضي الله عنها, dia berkata: aku mendatangi nabi صلى الله عليه وسلم, kemudian aku katakan: “Sesungguhnya Abu Jahm dan Mu’awiyyah melamarku”. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ… (رواه مسلم)
“Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (yakni sering memukul). Adapun Mu’awiyyah, dia miskin tidak punya harta.. (HR. Bukhari Muslim)
Di dalam riwayat muslim: beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:
أَمَّا أَبْو الْجَهْمِ فَضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ.
“Adapun Abu Jahm banyak sering memukul perempuan”.
Ini merupakan tafsir dari ucapan beliau “Dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya”. Dikatakan pula bahwa maknanya adalah sering safar (bepergian).
Diriwayatkan Dari Zaid bin Arqam رضي الله عنه, ia berkata:
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ أَصَابَ النَّاسَ فِيهِ شِدَّةٌ. فَقَالَ عَبْدُاللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ِلأَصْحَابِهِ: لاَ تُنْفِقُوا عَلَى مَنْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ حَتَّى يَنْفَضُّوا مِنْ حَوْلِهِ. وَقَالَ: لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ اْلأَعَزُّ مِنْهَا اْلأَذَلَّ. فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ. فَأَرْسَلَ إِلَى عَبْدِاللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ فَسَأَلَهُ فَاجْتَهَدَ يَمِينَهُ مَا فَعَلَ. قَالُوا: كَذَبَ زَيْدٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَوَقَعَ فِي نَفْسِي مِمَّا قَالُوا شِدَّةٌ حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ تَصْدِيقِي فِي (إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ) فَدَعَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَسْتَغْفِرَ لَهُمْ فَلَوَّوْا رُءُوسَهُمْ. (متفق عليه)
Kami keluar bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam satu safar, saat itu manusia sedang tertimpa kesusahan. Maka berkatalah (seorang munafiq, pent.) Abdullah bin Ubay: “Janganlah kalian menginfakkan harta kalian kepada orang-orang yang ada di sisi Rasulullah صلى الله عليه وسلم hingga mereka meninggalkannya!” Selanjutnya ia berkata: “Sungguh jika kita pulang ke Madinah nanti, orang-orang mulia (yakni mereka) akan mengusir orang-orang yang rendah (Yakni para shahabat Rasulullah) dari Madinah”. Aku (Zaid) pun mendatangi Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan melaporkan ucapan tersebut. Maka diutuslah seseorang memanggil Abdullah bin Ubay, ternyata ia bersumpah dengan nama Allah untuk melindungi dirinya. Manusia pun mengatakan: “Zaid telah berdusta kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم”. Terjadilah dalam hatiku (Zaid) kesedihan yang sangat, hingga turun ayat Allah سبحانه وتعالى  yang membenarkanku:
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ…
Jika datang kepadamu seorang munafiq…
Akhirnya Nabi pun memanggil mereka untuk memintakan ampun bagi mereka, namun mereka memalingkan wajah-wajah mereka. (HR. Bukhari Muslim)
Diriwayatkan Dari Aisyah رضي الله عنها, beliau berkata:
دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لاَ يُعْطِينِي مِنَ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ. (متفق عليه)
Hindun bintu ‘Utbah رضي الله عنها –istri Abu Sufyan—masuk kepada Nabi صلى الله عليه وسلم seraya berkata: “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang bakhil, tidak memberiku belanja yang cukup bagiku dan anakku, kecuali kalau aku mengambilnya tanpa sepengetahuannya”. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Ambillah sekedar mencukupimu dan anakmu dengan baik!” (HR. Bukhari Muslim)

Kelima : Melaporkan Kedzoliminan

Orang yang terdhalimi diperbolehkan untuk melaporkan perbuatan pelakunya kepada penguasa, hakim atau yang lainnya yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk memperlakukannya secara adil. Seperti seorang yang berkata: “Si fulan mendhalimi aku demikian dan demikian”.

Keenam : Meminta Bantuan agar si fulan kembali ke jalan yang benar

Untuk melakukan hal di atas, diperbolehkan untuk mengatakan kepada seorang yang diperkirakan dapat membantu menghilangkan kemungkaran: “Fulan berbuat begini dan begitu, tegurlah ia”, atau kalimat-kalimat semisalnya. Tujuannya adalah menghilangkan kemungkaran dan mengembalikannya pada jalan yang benar. Jika bukan itu tujuannya, maka hal ini diharamkan.










Selengkapnya...

TERORISME ( IRHAB ) BUKANLAH JIHAD DAN SYAREAT ISLAM

 OLEH ALI WAFA ABU SULTHON


Merupakan sesuatu yang seharusnya untuk diketahui adalah orang yang pertama kali memperingatkan dan mengecam dengan keras perbuatan pengeboman dan peledakan (terorisme) adalah Imam Ahlus Sunnah negeri Yaman yaitu Guru kami Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i –semoga Allah Ta’ala merahmati beliau-. Sungguh, para pengikut organisasi Al-Qa’idah telah menyusun rencana untuk melakukan peledakan dan pengeboman di beberapa tempat di beberapa propinsi di Yaman. Namun, ketika Syaikh kami (Muqbil bin Hadi) angkat suara membongkar rencana jahat mereka tersebut, gagallah rencana tersebut dan selamatlah negeri Yaman dari rencana jahat mereka. Dan Syaikh (Muqbil bin Hadi) terus melanjutkan kecamannya dan memperingatkan masyarakat dalam khutbah, ceramah dan karya tulis beliau dari gerakan Jama’ah Jihad dan dari bergabung serta berjalan bersama mereka. Segala puji hanya milik Allah Ta’ala semata.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

يأتي في آخر الزمان قوم حدثاء الأسنان سفهاء الأحلام يقولون من خير قول البرية يمرقون من الإسلام كما يمرق السهم من الرمية لا يجاوز إيمانهم حناجرهم فأينما لقيتموهم فاقتلوهم فإن في قتلهم أجرا لمن قتلهم يوم القيامة

“Akan datang pada akhir zaman suatu kaum yang masih muda belia dan bodoh. Namun mereka menyampaikan perkataan manusia terbaik (yakni Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam). Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meleset dari sasarannya. Keimanan mereka tidak melewati tenggorokannya. Di mana saja kalian mendapati mereka, maka perangilah mereka, karena dalam memerangi mereka terdapat pahala pada hari Kiamat bagi siapa saja yang memeranginya.” (HR. Bukahari dan Muslim dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu)
Al-Qodhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Seluruh ulama telah ijma’, bahwa memerangi Khawarij dan ahlul bid’ah serta pengacau yang semisal dengan mereka, ketika mereka memberontak kepada penguasa, menyelisihi pemerintah dan mengoyak persatuan masyarakat, maka wajib memerangi mereka setelah diberi peringatan dan himbauan, Allah Ta’ala berfirman:
فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِى حَتَّى تَفِىءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ
“Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (Al—Hujurat: 9).” (Syarh Muslim, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, 7/170)

Jihad melawan orang kafir terbagi dua bentuk: Pertama, jihad difa’ (defensif, membela diri). Kedua, jihad tholab (ofensif, memulai penyerangan lebih dulu). Adapun yang dilakukan oleh para Teroris tidak diragukan lagi adalah jihad ofensif sebab jelas sekali mereka yang lebih dahulu menyerang.
Dalam jihad defensif, ketika ummat Islam diserang oleh musuh maka kewajiban mereka untuk membela diri tanpa ada syarat-syarat jihad yang harus dipenuhi (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah, hal. 532 dan Al-Fatawa Al-Kubrô, 4/608).
Akan tetapi, untuk ketegori jihad ofensif terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum melakukan jihad tersebut. Di sinilah salah satu perbedaan mendasar antara jihad dan terorisme. Bahwa jihad terikat dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah Ta’ala dalam syari’at-Nya, sedangkan terorisme justru menerjang aturan-aturan tersebut. Maka inilah syarat-syarat jihad ofensif kepada orang-orang kafir yang dijelaskan para ulama:

Syarat Pertama: Jihad tersebut dipimpin oleh seorang kepala negara

Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Siapa yang taat kepadaku maka sungguh ia telah taat kepada Allah dan siapa yang bermaksiat terhadapku maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada pemimpin maka sungguh ia telah taat kepadaku dan siapa yang bermaksiat kepada pemimpin maka sungguh ia telah bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya seorang pemimpin adalah tameng, dilakukan peperangan di belakangnya dan dijadikan sebagai pelindung.” [HR. Al-Bukhari, no. 2957 (konteks di atas milik Al-Bukhary), Muslim, no. 1835, 1841, Abu Daud, no. 2757 dan An-Nasai, 7/155]
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dan makna “dilakukan peperangan di belakangnya”, yaitu dilakukan peperangan bersamanya melawan orang-orang kafir, Al-Bughôt (para pembangkang terhadap penguasa), kaum khawarij, dan seluruh pengekor kerusakan dan kezaliman.” (Syarah Muslim, 12/230)

Syarat Kedua: Jihad tersebut harus didukung dengan kekuatan yang cukup untuk menghadapi musuh

Sehingga apabila kaum muslimin belum memiliki kekuatan yang cukup dalam menghadapi musuh, maka gugurlah kewajiban tersebut dan yang tersisa hanyalah kewajiban untuk mempersiapkan kekuatan.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menegaskan:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُون
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan (juga) musuh kalian serta orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (Al-Anfâl : 60)
Di antara dalil akan gugurnya kewajiban jihad bila tidak ada kemampuan, adalah hadits An-Nawwâs bin Sam’ân radhiyallâhu‘anhu tentang kisah Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm membunuh Dajjal…, kemudian disebutkan keluarnya Ya`jûj dan Ma`jûj,
…فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ، إِذْ أَوْحَى اللهُ إِلَى عِيْسَى: إِنِّيْ قَدْ أَخْرَجْتُ عِبَاداً لِيْ لَا يَدَانِ لِأَحَدٍ بِقِتَالِهِمْ، فَحَرِّزْ عِبَادِيْ إِلَى الطُّوْرِ وَيَبْعَثُ اللَّهُ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ …
“…Dan tatkala (Nabi ‘Isâ) dalam keadaan demikian maka Allah mewahyukan kepada (Nabi) ‘Isâ, “Sesungguhnya Aku akan mengeluarkan sekelompok hamba yang tiada tangan (baca: kekuatan) bagi seorangpun untuk memerangi mereka, maka bawalah hamba-hamba-Ku berlindung ke (bukit) Thûr.” Kemudian, Allah mengeluarkan Ya`jûj dan Ma`jûj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi….” (HR. Muslim, no. 2937 dan Ibnu Majah, no. 4075)
Perhatikan hadits ini, tatkala kekuatan Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm dan kaum muslimin yang bersama beliau waktu itu lemah untuk menghadapi Ya`jûj dan Ma`jûj, maka Allah tidak memerintah mereka untuk mengobarkan peperangan dan menegakkan jihad, bahkan mereka diperintah untuk berlindung ke bukit Thûr.
Demikian pula, ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat masih lemah di Makkah, Allah Ta’ala melarang kaum Muslimin untuk berjihad, padahal ketika itu kaum Muslimin mendapatkan berbagai macam bentuk kezhaliman dari orang-orang kafir.
Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengadukan segala fitnah dan ujian yang mendera. Akibat ulah sekolompok anak muda yang hanya bermodalkan semangat belaka dalam beragama, namun tanpa disertai kajian ilmu syar’i yang mendalam dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta bimbingan para ulama, kini ummat Islam secara umum dan Ahlus Sunnah (orang-orang yang komitmen dengan Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) secara khusus harus menanggung akibatnya berupa celaan dan citra negatif sebagai pendukung terorisme.
Aksi-aksi terorisme yang sejatinya sangat ditentang oleh syari’at Islam yang mulia ini justru dianggap sebagai bagian dari jihad di jalan Allah sehingga pelakunya digelari sebagai mujahid, apabila ia mati menjadi syahid, pengantin surga, calon suami bidadari…!?
Demi Allah, akal dan agama mana yang mengajarkan terorisme itu jihad…?! Akal dan agama mana yang mengajarkan buang bom di sembarang tempat itu amal saleh…?!
Maka berikut ini kami akan menunjukkan beberapa penyimpangan terorisme dari syari’at Islam dan menjelaskan beberapa hukum jihad syar’i yang diselisihi para Teroris. Penjelasan ini insya Allah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta keterangan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut generasi salaf (generasi sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).


Selengkapnya...

DOA & DZIKIR PAGI DAN PETANG PENANGKAL SIHIR


 OLEH   ALI WAFA ABU SULTHON AS SYAMSURI
 DOA & DZIKIR PAGI DAN PETANG PENANGKAL SIHIR


DIHARAPKAN DIBACA ROUTIN SETIAP PAGI DAN PETANG  SEBAGAI JALAN MEMOHON PERLINDUNGAN KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA SESUAI TUNTUNAN RASULULLAH SHOLLALLAHU ALAHI WASSALLAM
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم —- اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. Allah tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (Al-Baqarah: 255). [90] ( DI BACA JUGA SETELAH BA'DA SHOLAT FARDHU )
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ  وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي
يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

76. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Ilah yang bergantung kepada- Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai Subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb manusia. Raja manusia. Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia. [91]( JUGA DIBACA WAKTU SELESAI SHOLAT FARDHU )
أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ.
“Kami telah memasuki waktu pagi dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji bagi Allah. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya. Bagi-Nya kerajaan dan bagiNya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala se-suatu. Hai Tuhan, aku mohon kepada-Mu kebaikan di hari ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan hari ini dan kejahatan sesudahnya. Wahai Tuhan, aku berlindung kepadaMu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Tuhan! Aku berlindung kepadaMu dari siksaan di Neraka dan kubur.” [92]
اَللَّهُمَّ بِكَ أَصْبَحْنَا، وَبِكَ أَمْسَيْنَا، وَبِكَ نَحْيَا، وَبِكَ نَمُوْتُ وَإِلَيْكَ النُّشُوْرُ.
“Ya Allah, dengan rahmat dan pertolonganMu kami memasuki waktu pagi, dan dengan rahmat dan pertolonganMu kami memasuki waktu sore. Dengan rahmat dan pertolonganMu kami hidup dan dengan kehendakMu kami mati. Dan kepadaMu kebangkitan (bagi semua makhluk).” [93]
اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.
“Ya Allah! Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkaulah yang menciptakan aku. Aku adalah hambaMu. Aku akan setia pada perjanjianku denganMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmatMu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.” [94]
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَصْبَحْتُ أُشْهِدُ وَأُشْهِدُ حَمَلَةَ عَرْشِكَ، وَمَلاَئِكَتَكَ وَجَمِيْعَ خَلْقِكَ، أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ. (4×)
“Ya Allah! Sesungguhnya aku di waktu pagi ini mempersaksikan Engkau, malaikat yang memikul arasyMu, malaikat-malaikat dan seluruh makhlukMu, bahwa sesungguhnya Engkau adalah Allah, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiMu dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu.” (Dibaca empat kali waktu pagi dan sore). [95]
اَللَّهُمَّ مَا أَصْبَحَ بِيْ مِنْ نِعْمَةٍ أَوْ بِأَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ فَمِنْكَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، فَلَكَ الْحَمْدُ وَلَكَ الشُّكْرُ.
“Ya Allah! Nikmat yang kuterima atau diterima oleh seseorang di antara makhlukMu di pagi ini adalah dariMu. Maha Esa Engkau, tiada sekutu bagi-Mu. BagiMu segala puji dan kepadaMu panjatan syukur (dari seluruh makhluk-Mu).” [96]
اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ. اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ . (X 3
“Ya Allah! Selamatkan tubuhku (dari penyakit dan yang tidak aku inginkan). Ya Allah, selamatkan pendengaranku (dari penyakit dan maksiat atau sesuatu yang tidak aku inginkan). Ya Allah, selamatkan penglihatanku, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau. Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kekufuran dan kefakiran. Aku berlindung kepadaMu dari siksa kubur, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau.” (Dibaca tiga kali di waktu pagi dan sore). [97] 3 X DIBACA WAKTU PAGI DAN PETANG
حَسْبِيَ اللهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ. (7×)
“Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhanku), tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia, kepadaNya aku bertawakal. Dia-lah Tuhan yang menguasai ‘Arsy yang agung.” (Dibaca tujuh kali waktu pagi dan sore). [98]
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ. اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ.
“Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang) dan tenteramkanlah aku dari rasa takut. Ya Allah! Peliharalah aku dari muka, belakang, kanan, kiri dan atasku. Aku berlindung dengan kebesaranMu, agar aku tidak disambar dari bawahku (oleh ulat atau bumi pecah yang membuat aku jatuh dan lain-lain).” [99]
اَللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيْكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِيْ سُوْءًا أَوْ أَجُرُّهُ إِلَى مُسْلِمٍ.
“Ya Allah! Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, wahai Tuhan pencipta langit dan bumi, Tuhan segala sesuatu dan yang merajainya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang hak kecuali Engkau. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan diriku, setan dan balatentaranya, dan aku (berlindung kepadaMu) dari berbuat kejelekan terhadap diriku atau menyeretnya kepada seorang muslim.” [100]
بِسْمِ اللهِ لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. (3×)
“Dengan nama Allah yang bila disebut, segala sesuatu di bumi dan langit tidak akan berbahaya, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Dibaca tiga kali). [101]
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا. (3×)
“Aku rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai nabi (yang diutus oleh Allah).” (Dibaca tiga kali). [102]
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ.
“Wahai Tuhan Yang Maha Hidup, wahai Tuhan Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekalipun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dariMu).” [103]
أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذَا الْيَوْمِ: فَتْحَهُ، وَنَصْرَهُ وَنُوْرَهُ، وَبَرَكَتَهُ، وَهُدَاهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْهِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ.
”Kami masuk pagi, sedang kerajaan hanya milik Allah, Tuhan seru sekalian alam. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu agar memperoleh kebaikan, pembuka (rahmat), pertolongan, cahaya, berkah dan petunjuk di hari ini. Aku berlindung kpadaMu dari kejelekan apa yang ada di dalamnya dan kejahatan sesudahnya.” [104]
أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ اْلإِسْلاَمِ وَعَلَى كَلِمَةِ اْلإِخْلاَصِ، وَعَلَى دِيْنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى مِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْرَاهِيْمَ، حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ.
“Di waktu pagi kami memegang agama Islam, kalimat ikhlas, agama Nabi kita Muhammad, dan agama ayah kami Ibrahim, yang berdiri di atas jalan yang lurus, muslim dan tidak tergolong orang-orang musyrik.” [105]
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ. (100×)
“Maha Suci Allah, aku memujiNya.” (Dibaca seratus kali). [106]
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. (10× أو 1× عند الكسل)
“Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang berkuasa atas segala sesuatu.” (Dibaca sepuluh kali, atau cukup sekali dalam keadaan malas). [107]
لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. (100× إذا أصبح)
“Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang berkuasa atas segala sesuatu.” (Dibaca seratus kali setiap pagi hari). [108]
سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ: عَدَدَ خَلْقِهِ، وَرِضَا نَفْسِهِ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ. (3× إذا أصبح)
“Maha Suci Allah, aku memujiNya sebanyak makhlukNya, sejauh kerelaanNya, seberat timbangan arasyNya dan sebanyak tinta tulisan kalimatNya.” (Dibaca tiga kali setiap pagi hari). [109]
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً. (إذا أصبح)
Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu ilmu yang manfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima. (Dibaca pagi hari). [110]
أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ. (100× في اليوم)
Aku memohon ampun kepada Allah dan bertobat kepadaNya. (Dibaca 100 kali dalam sehari). [111]
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. (3× إذا أمسى)
Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakanNya. (Dibaca 3 kali pada sore hari). [112]
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ. (10×)
Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi kami Muhammad. (Dibaca 10 kali). [113]
———————————
[90] “Barangsiapa membaca kalimat ini ketika pagi hari, maka ia dijaga dari (ganguan) jin hingga sore hari. Dan barangsiapa mengucapkannya ketika sore hari, maka ia dijaga dari (ganguan) jin hingga pagi hari.” HR. Al-Hakim, 1/562. Al-Albani berpendapat hadits tersebut shahih dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib 1/273 dan beliau menisbatkan hadits tersebut kepada An-Nasa’i dan Ath-Thabrani, beliau berkata, isnad Ath-Thabrani jayyid’.
[91] “Barangsiapa membaca tiga surat tersebut tiga kali setiap pagi dan sore hari, maka itu (tiga surat tersebut) cukup baginya dari segala sesuatu.” HR. Abu Dawud 4/322, At-Tirmidzi 5/567 dan lihat Shahih At-Tirmidzi 3/182.
[92] HR. Muslim 4/2088.
Kalau sore hari membaca:
أَمْسَيْنَا وَأَمْسَى الْمُلْكُ لِلَّهِ (dst.)
Kalau sore hari membaca:
رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَخَيْرَ مَا بَعْدهَا وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهَا.
 
[93]. HR. At-Tirmidzi 5/466, dan lihat Shahih At-Tirmidzi 3/142.
Kalau sore hari membaca:
اَللَّهُمَّ بِكَ أَمْسَيْنَا، وَبِكَ أَصْبَحْنَا، وَبِكَ نَحْيَا، وَبِكَ نَمُوْتُ وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ.
 
[94] “Barangsiapa membacanya dengan yakin ketika sore hari, lalu ia meninggal dunia pada malam itu, maka ia masuk Surga. Dan demikian juga ketika pagi hari.” HR. Al-Bukhari 7/150.
[95] “Barangsiapa membaca doa ini ketika pagi dan sore hari sebanyak empat kali, maka Allah akan membebaskannya dari api Neraka.” HR. Abu Dawud 4/317, Al- Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1201, An-Nasai dalam kitab ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 9 halaman 138, Ibnu Sunni no. 70, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz menyatakan, bahwa sanad hadits Abu Dawud dan An-Nasai adalah hasan, lihat juga Tuhfatul Akhyar, halaman 23.
Jika sore hari membaca:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَمْسَيْتُ …
 
[96] “Barangsiapa yang membacanya di pagi hari, maka sungguh telah bersyukur pada hari itu. Barangsiapa yang membaca ini di sore hari, maka sungguh telah bersyukur pada malam itu.” HR. Abu Dawud 4/318, An-Nasai dalam kitab ‘Amalul Yaumi wal Lailah no. 7, halaman 137, Ibnu Sunni no. 41, halaman 23 Ibnu Hibban (Mawaarid) no. 2361. Abdul Aziz bin Baz menyatakan, bahwa sanad hadits tersebut hasan, lihat Tuhfatul Akhyar, halaman 24.
Jika sore hari membaca:
اَللَّهُمَّ مَا أَمْسَى بِيْ …
 
[97] HR. Abu Dawud 4/324, Ahmad 5/42, An-Nasai dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 22, halaman 146, Ibnus Sunni no. 69. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad. Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menyatakan sanad hadits tersebut hasan. Lihat juga Tuhfatul Akhyar, halaman 26.
[98] “Barangsiapa membacanya ketika pagi dan sore hari sebanyak tujuh kali, maka Allah akan mencukupkan baginya dari perkara dunia dan akhirat yang menjadi perhatiannya.” H.R. Ibnus Sunni no. 71 secara marfu’ dan Abu Dawud secara mauquf 4/321. Syu’aib dan Abdul Qadir Al-Arnauth berpendapat, isnad hadits tersebut shahih. Lihat Zaadul Ma’ad 2/376.
[99] HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shahih Ibnu Majah 2/332.
[100] HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud. Lihat kitab Shahih At-Tirmidzi 3/142.
[101] “Barangsiapa membacanya sebanyak tiga kali ketika pagi dan sore  hari, maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakan dirinya.” HR. Abu Dawud 4/323, At- Tirmidzi 5/465, Ibnu Majah dan Ahmad. Lihat Shahih Ibnu Majah 2/332, Al-Allamah Ibnu Baaz berpendapat, isnad hadits tersebut hasan dalam Tuhfatul Akhyar hal. 39.
[102] “Barangsiapa membacanya sebanyak tiga kali ketika pagi dan sore hari, maka hak Allah memberikan keridhaanNya kepadanya pada hari Kiamat.” HR. Ahmad 4/337, An-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 4 dan Ibnus Sunni no. 68. Abu Daud 4/418, At-Tirmidzi 5/465 dan Ibnu Baaz berpendapat, hadits tersebut hasan dalam Tuhfatul Akhyar, hal. 39.
[103] HR. Al-Hakim, menurut pendapatnya, hadits tersebut adalah shahih, dan Imam Adz-Dzahabi me-nyetujuinya, lihat kitabnya 1/545, dan Shahih At-Targhib wat Tarhib 1/273.
[104] Apabila sore hari, membaca:
أَمْسَيْنَا وَأَمْسَى الْمُلْكُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ؛ فَتْحَهَا، وَنَصْرَهَا وَنُوْرَهَا، وَبَرَكَتَهَا، وَهُدَاهَا، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا بَعْدَهَا.
HR. Abu Dawud 4/322 serta Syu’ab dan Abdul Qadir Al-Arnauth dalam Tahqiq Zadul Ma’ad, 2/273.
[105] HR. Ahmad 3/406-407, 5/123. Lihat juga Shahihul Jami’ 4/290. Ibnus Sunni juga meriwayatkannya di ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 34.
[106] HR. Muslim 4/2071.
[107] HR. Abu Dawud 4/319, Ibnu Majah dan Ahmad 4/60. Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib 1/270, Shahih Abu Dawud 3/957, Shahih Ibnu Majah 2/331, dan Zadul Ma’ad 2/377.
[108] “Barangsiapa membacanya sebanyak seratus kali dalam sehari, maka baginya (pahala) seperti memerdekakan sepuluh budak, ditulis seratus kebaikan, dihapus darinya seratus keburukan, baginya perlindung-an dari setan pada hari itu hingga sore hari. Tidaklah seseorang itu dapat mendatangkan yang lebih baik dari apa yang dibawanya kecuali ia melakukan lebih banyak lagi dari itu.” HR. Al-Bukhari 4/95; Muslim 4/2071.
[109] HR. Muslim 4/2090.
[110] HR. Ibnu As-Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, no. 54, dan Ibnu Majah no. 925. Isnadnya hasan menurut Abdul Qadir dan Syu’aib Al-Arna’uth dalam tahqiq Zad Al-Ma’ad 2/375.
[111] HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari 11/101, dan Muslim 4/2075.
[112] “Barangsiapa membaca doa ini pada sore hari sebanyak tiga kali, tidak berbahaya baginya sengatan (binatang berbisa) pada malam itu”. HR. Ahmad 2/290, An-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, no. 590 dan Ibnu Sunni no. 68. Lihat Shahih At-Tirmidzi 3/187, Shahih Ibnu Majah 2/266 dan Tuhfatul Akhyar, hal. 45.
[113] “Barangsiapa bershalawat untukku sepuluh kali pada pagi hari, dan sepuluh kali pada sore hari, mendapatkan syafaatku pada hari Kiamat.” HR. At-Thabrani melalui dua isnad, keduanya baik. Lihat Majma’ Az-Zawaid 10/120 dan Shahih At- Targhib wat Tarhib 1/273



DAN JANGAN LUPA BACA SURAT AL BAQORAH DAN ALI IMRON SETIAP HARI 

PETUNJUK NABI UNTUK MENANGKAL DAN MENGOBATI SIHIR

Seperti telah dijelaskan oleh para ulama, sihir termasuk jenis penyakit yang bisa menimpa manusia dengan izin Allah Azza wa Jalla . Tidaklah Allah Azza wa Jalla menurunkan satu penyakit melainkan Dia juga menurunkan obat penawarnya. Dan seorang muslim dilarang berobat dengan sesuatu yang diharamkan Allah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda :

مَا أنْزَلَ اللهُ دَاءً إلا أنْزَلَ لَهُ شِفَاءً

"Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah akan menurunkan pula obat penawarnya".[7]

Seorang muslim dilarang pergi ke dukun untuk mengobati sihir dengan sihir yang sejenis. Karena hukum mendatangi dukun dan mempercayai mereka adalah kufur. Apatah lagi sampai meminta mereka untuk melakukan sihir demi mengusir sihir yang menimpanya, ataupun untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan jodoh anak dan sanak saudaranya, atau hubungan suami istri dan keluarga, tentang barang yang hilang, percintaan, perselisihan dan sebagainya. Hal itu merupakan perkara ghaib dan hanya Allah Azza wa Jalla saja yang mengetahui. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أتَى كَاهِنًا أوْ سَاحِرًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَدٍ

"Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang sihir, kemudian ia membenarkan (mempercayai) perkataan mereka, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad".[8]

Para dukun, paranormal, tukang sihir dan peramal itu hanya mengaku-ngaku mengetahui ilmu ghaib berdasarkan kabar yang dibawa setan yang mencuri dengar dari langit. Para dukun itu, tidak akan sampai pada maksud yang diinginkan kecuali dengan cara berkhidmah, tunduk dan taat serta menyembah tentara iblis tersebut. Ini merupakan perbuatan kufur dan syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ {212} تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ { 222} يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ

"Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta". [Asy Syu’ara`: 221-223].

Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh tunduk dan percaya kepada dugaan dan asumsi bahwa cara yang dilakukan para dukun itu sebagai pengobatan, misalnya tulisan-tulisan azimat, rajah-rajah, menuangkan cairan yang telah dibaca mantra-mantra syirik dan sebagainya. Semua itu adalah praktek perdukunan dan penipuan terhadap manusia. Barangsiapa yang rela menerima praktek-praktek tersebut tanpa menunjukkan sikap penolakannya, sungguh ia telah ikut tolong-menolong dalam perbuatan bathil dan kufur.[9]

CARA PENECGAHAN DARI SIHIR YANG DIAJARKAN RASULULLAH[10]

1- Dalam setiap keadaan senantiasa mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan bertawakkal kepadaNya, serta menjauhi perbuatan syirik dengan segala bentuknya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {99} إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ

"Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya sebagai pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah". [QS. An Nahl : 99-100].

Ketika Menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata : “Sesungguhnya setan tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi (mengalahkan) orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya semata, yang tidak ada sekutu bagiNya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membela orang-orang mu’min yang bertawakkal kepadaNya dari setiap kejelekan setan, sehingga tidak ada celah sedikitpun bagi setan untuk mencelakakan mereka”[11]. Dan ayat-ayat semisal ini banyak terdapat di dalam Al Qur`an.

2- Melaksanakan setiap kewajiban-kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan, dan menjauhi setiap yang dilarang, serta bertaubat dari setiap perbuatan dosa dan kejelekan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu :

يَا غُلاَمُ ! إنِي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ ، احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ...

"Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu…"[12]

Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan menyatakan, makna sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (احْفَظِ اللهَ ) adalah jagalah perintah-perintahNya, larangan-laranganNya, hukum-hukumNya serta hak-hakNya. Caranya, dengan memenuhi apa-apa yang Allah dan RasulNya perintahkan berupa kewajiban-kewajiban, serta menjauhi segala perkara yang dilarang. Sedangkan makna (يَحْفَظْكَ ) ialah, barangsiapa yang menjaga perintah-perintahNya, mengerjakan setiap kewajiban dan menjauhi setiap laranganNya, niscaya Allah k akan menjaganya. Karena balasan suatu amalan, sejenis dengan amal itu sendiri. Penjagaan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap hamba meliputi penjagaan terhadap dirinya, anak, keluarga dan hartanya. Juga penjagaan terhadap agama dan imannya dari setiap perkara syubhat yang menyesatkan”.[13]

3. Tidak membiarkan anak-anak berkeliaran saat akan terbenamnya matahari. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Jika malam telah masuk -jika kalian berada di sore hari-, maka tahanlah anak-anak kalian. Sesungguhnya setan berkeliaran pada waktu itu. tatkala malam telah datang sejenak, maka lepaskanlah mereka". [HR Bukhari Muslim].

4- Membersihkan rumah dari salib, patung-patung dan gambar-gambar yang bernyawa serta anjing. Diriwayatkan dalam sebuah hadits, bahwa Malaikat (rahmat) tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat hal-hal di atas. Demikian juga dibersihkan dari piranti-piranti yang melalaikan, seruling dan musik.

5. Memperbanyak membaca Al Qur`an dan manjadikannya sebagai dzikir harian. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

"Janganlah menjadikan rumah-rumah kalian layaknya kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat Al Baqarah".[14]

6- Membentengi diri dengan doa-doa dan ta’awudz serta dzikir-dzikir yang disyariatkan, seperti dzikir pagi dan sore, dzikir-dzikir setelah shalat fardhu, dzikir sebelum dan sesudah bangun tidur, do’a ketika masuk dan keluar rumah, do’a ketika naik kendaraan, do’a ketika masuk dan keluar masjid, do’a ketika masuk dan keluar kamar mandi, do’a ketika melihat orang yang mandapat musibah, serta dzikir-dzikir lainnya.

Ibnul Qayyim berkata,”Sesungguhnya sihir para penyihir itu akan bekerja secara sempurna bila mengenai hati yang lemah, jiwa-jiwa yang penuh dengan syahwat yang senanantiasa bergantung kepada hal-hal rendahan. Oleh sebab itu, umumnya sihir banyak mengenai para wanita, anak-anak, orang-orang bodoh, orang-orang pedalaman, dan orang-orang yang lemah dalam berpegang teguh kepada agama, sikap tawakkal dan tauhid, serta orang-orang yang tidak memiliki bagian sama sekali dari dzikir-dzikir Ilahi, doa-doa, dan ta’awwudzaat nabawiyah.” [15]

7. Memakan tujuh butir kurma ‘ajwah setiap pagi hari. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ

"Barangsiapa yang makan tujuh butir kurma ‘ajwah pada setiap pagi, maka racun dan sihir tidak akan mampu membahayakannya pada hari itu". [16]

Dan yang lebih utama, jika kurma yang kita makan itu berasal dari kota Madinah (yakni di antara dua kampung di kota Madinah), sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim. Syaikh Abdul ’Aziz bin Baz berpendapat, seluruh jenis kurma Madinah memiliki sifat yang disebutkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini. Namun beliau juga berpendapat, bahwa perlindungan ini juga diharapkan bagi orang yang memakan tujuh butir kurma, selain kurma Madinah secara mutlak.[17]

TERAPI PENGOBATAN SETELAH TERKENA SIHIR [18]
1. Metode pertama : Mengeluarkan dan menggagalkansihir tersebut jika diketahui tempatnya dengan cara yang dibolehkan syariat. Ini merupakan metode paling ampuh untuk mengobati orang yang terkena sihir.[19]

2. Metode kedua : Dengan membaca ruqyah-ruqyah yang disyariatkan. Para ulama telah bersepakat bolehnya menggunakan ruqyah sebagai pengobatan apabila memenuhi tiga syarat [20].

Pertama :
Hendaknya ruqyah tersebut dengan menggunakan Kalamullah (ayat-ayat Al Qur`an), atau dengan Asmaul Husna atau dengan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, atau dengan doa-doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua :
Ruqyah tersebut dengan menggunakan bahasa Arab, atau dengan bahasa selain Arab yang difahami maknanya.
Ketiga : Hendaknya orang yang meruqyah dan yang diruqyah meyakini, bahwa ruqyah tersebut tidak mampu menyembuhkan dengan sendirinya, tetapi dengan kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Karena ruqyah hanyalah salah satu sebab di antara sebab-sebab diperolehnya kesembuhan. Dan Allah-lah yang menyembuhkan.

Selain itu, ada hal sangat penting yang juga harus diperhatikan, bahwa ruqyah akan bekerja secara efektif bila orang yang sakit (terkena sihir) dan orang yang mengobati sama-sama memiliki keyakinan yang kuat kepada Allah Azza wa Jalla, bertawakkal kepadaNya semata, bertakwa dan mentauhidkanNya, serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Al Qur`an adalah penyembuh bagi penyakit dan rahmat bagi orang-orang beriman. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka ruqyah tersebut tidak akan berefek kepada penyakitnya, karena ruqyah itu sendiri merupakan obat mujarab yang diajarkan oleh syari’at. Namun ibarat senjata, setajam apapun ia, jika berada di tangan orang yang tidak lihai menggunakannya, maka senjata itu tidak banyak manfaatnya.[21]

Dikatakan oleh Ibnu At Tiin: “Ruqyah dengan membaca mu’awwidzat atau dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan pengobatan rohani, (akan bekerja efektif) bila di baca oleh hambaNya yang shalih; kesembuhan pun akan diperoleh dengan izin Allah Azza wa Jalla “.

Diantara bentuk pengobatan yang termasuk metode kedua ini ialah sebagai berikut:

- Membaca surat Al Fatihah, ayat kursi, dua ayat terakhir surat Al Baqarah, surat Al Ikhlash, An Naas dan Al Falaq sebanyak tiga kali atau lebih dengan mengangkat tangan, tiupkan ke kedua tangan tersebut seusai membaca ayat-ayat tadi, kemudian usapkan ke bagian tubuh yang sakit dengan tangan kanan.[23]

- Membaca ta’awwudz (doa perlindungan diri) dan ruqyah-ruqyah untuk mengobati sihir, di antaranya sebagai berikut:[24]

a. أسْألُ اللهَ العَظِيْمَ رَبَّ العَرْشِ العَظِيْمِ أنْ يَشْفِيَكَ

"Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung Pemilik ‘Arsy yang agung agar menyembuhkanmu (dibaca sebanyak tujuh kali)".[25]

b. Orang yang terkena sihir meletakkan tangannya pada bagian tubuh yang terasa sakit, kemudian membaca: (بِسْمِ الله) sebanyak tiga kali lalu membaca :

أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أجِدُ وَ أحَاذِرُ

"Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari setiap kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti". [26]

c. Mengusap bagian tubuh yang sakit sambil membaca doa :

اللهَُّمَ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا

"Ya Allah, Rabb Pemelihara manusia, hilangkanlah penyakitku dan sembuhkanlah, Engkau-lah Yang Menyembuhkan, tiada kesembuhan melainkan kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.[27]

d. Membaca doa:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَ عِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ

"Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kemarahanNya, dari kejahatan hamba-hambaNya, dan dari bisikan-bisikan setan dan dari kedatangan mereka kepadaku.

3. Metode ketiga : Mengeluarkan sihir tersebut dengan melakukan pembekaman pada bagian tubuh yang terlihat bekas sihir, jika hal itu memang memungkinkan. Bila tidak memungkinkan, maka ruqyah-ruqyah di atas telah mencukupi untuk mengobati sihir.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan rahasia pembekaman di bagian yang terkena sihir ini. Bahwa sihir itu tersusun dari pengaruh ruh-ruh jahat dan adanya respon kekuatan alami yang lahir dari ruh jahat tersebut. Inilah jenis sihir yang paling kuat, terutama pada bagian tubuh yang menjadi pusat persemayaman sihir tadi. Maka pembekaman pada bagian tersebut merupakan metode pengobatan yang sangat efektif bila dilakukan sesuai dengan cara yang tepat.[29]

4. Metode keempat : Dengan menggunakan obat-obatan alami sebagaimana disebutkan Al Qur’an dan As Sunnah, dengan disertai keyakinan penuh terhadap kebenaran firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menerangkannya. Di antaranya dengan menggunakan madu, habbahtus sauda` (jinten hitam), air zam-zam, minyak zaitun dan obat-obatan lainnya yang dibenarkan syara’ sebagai obat. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ شَرْبَةِ عَسَلٍ وَشَرْطَةِ مِحْجَمٍ وَكَيَّةِ نَارٍ وَأَنْهَى أُمَّتِي عَنْ الْكَيِّ

"Pengobatan itu ada dalam tiga hal. (Yaitu): berbekam, minum madu dan pengobatan dengan kay (besi panas). Sedangkan aku melarang umatku menggunakan pengobatan dengan kay".[30

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ هَذِهِ الْحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا مِنْ السَّامِ قُلْتُ وَمَا السَّامُ قَالَ الْمَوْتُ

Sesungguhnya habbah sauda’ ini merupakan obat bagi segala jenis penyakit, kecuali as saam”. Aku (‘Aisyah) bertanya,”Apakah as saam itu?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Kematian." [31]

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

ماَءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ
"Air zam-zam itu tergantung niat orang yang meminumnya". [32]

Dari Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

كُلُوا الزَّيْتَ وَادَّهِنُوا بِهِ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ

"Makanlah minyak zaitun dan minyakilah rambut kalian dengannya, karena sesungguhnya ia berasal dari pohon yang diberkahi".[33]

Demikianlah sekilas pembahasan tentang sihir berikut cara mencegah dan mengobatinya. Selayaknya bagi setiap pribadi muslim, terutama para pemimpin keluarga, untuk mengetahui hal ini dan mengajarkan kepada keluarganya. Agar anggota keluarga mampu membentengi diri dari kejahatan sihir. Selayaknya pula bagi pemimpin keluarga, untuk mengkondisikan keluarganya agar senantiasa taat kepada Allah Sang Pemelihara manusia. Membersihkan rumahnya serta menyingkirkan sejauh-jauhnya dari segala sarana yang mengundang kemaksiatan, seperti musik, majalah-majalah porno, gambar makhluk hidup dan sebagainya. Agar keluarganya mendapat curahan rahmat dan perlindungan dari Allah, terjauhkan dari gangguan iblis dan bala tentaranya. Wallahu waliyyut taufiiq. (Hanin Ummu Abdillah)

Maraji :
1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Zaadul Ma’ad, tahqiq dan takhrij Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth, Mu’assasah Ar Risaalah, Cet. III, Th. 1421H/200M.
2. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani, Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah Wa Yalihi Al ‘Ilaj Bi Ar Ruqaa Min Al Kitab Wa As Sunnah.
3. Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid, tahqiq Muhammad Hamid Al Faqi, ta’liq Abdullah bin Baz, dan takhrij Ali bin Sinan, Darul Fikr, Th. 1412H/1992M.
4. Shahih Al Bukhari bersama Fathul Bari.
5. Shahih Muslim.
6. Sunan Abu Dawud.
7. Jami’ At Tirmidzi.
8. Sunan Ibnu Majah.
 




Apakah Sihir ada hakikatnya?
            Pertanyaan: Apakah sihir itu ada hakikatnya?
            Jawaban: Sihir ada hakikatnya dan tidak diragukan bahwa ia benar-benar memberikan pengaruh, akan tetapi ia bisa membalikkan sesuatu, atau menggerakkan yang diam, atau mendiamkan yang bergerak, ini hanyalah khayalan dan bukan sebenarnya. Perhatikanlah firman Allah I tentang cerita para penyihir keluarga Fir'aun, firman Allah I:
سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجَآءُوا بِسِحْرٍ عَظِيمٍ {116}
mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (mena'jubkan). (QS. al-A'raaf:116)
 Bagaimana mereka menyihir/menyulap mata manusia? Mereka menyihir mata manusia sehingga jadilah orang-orang memandang tali-tali dan tongkat mereka seolah-olah ular yang berjalan; sebagaimana firman Allah I:
يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِن سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى {66}
terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat lantaran sihir mereka. (QS. Thaha:66)
Maka sihir dalam membalik sesuatu, menggerakkan yang diam, atau mendiamkan yang bergerak tidak ada pengaruhnya. Akan tetapi ia menyihir atau memberi pengaruh terhadap orang yang kena sihir sehingga ia melihat yang diam menjadi bergerak dan yang bergerak menjadi diam, pengaruhnya sangat jelas sekali. Jadi, baginya ada hakikatnya dan berpengaruh terhadap badan yang kena sihir dan panca inderanya, dan terkadang bisa membinasakannya.
Syaikh Ibnu Utsaimin – al-Majmu' ats-Tsamin (2/131-132).




Apakah sihir itu benar-benar ada?

            Pertanyaan: Apakah sihir itu benar-benar ada?
            Jawaban: Benar,  ia benar-benar ada. Dan hakikatnya adalah bahwa para penyihir menyembar setan-setan dan tunduk kepada mereka, dan mereka (setan-setan) membantu mereka menurut keinginan mereka, dan Allah I memberikan kemampuan kepada setan-setan untuk melakukan tindakan-tindakan yang aneh.
Syaikh ibn Jibrin –Fatawa 'Ilaj bil bil Qur'an was Sunnah –Ruqyah dan yang terkait dengannya hal 56.













Hakikat Sihir dan sesungguhnya  tidak dibolehkan sedikitpun darinya
           
Pertanyaan: Kami mengharapkan penjelasan hakikat sihir, apakah ada yang dibolehkan? Dan apakah perbuatan sihir mengeluarkan dari agama Islam?
            Jawaban; Pengertian sihir secara bahasa adalah ungkapan tentang sesuatu yang halus dan samar sebabnya, dan hakikat sihir adalah seperti yang dijelaskan oleh al-Muwaffaq (Ibnu Quddamah al-Maqdisi) dalam al-Kafi[1]: ungkapan  tentang jimat, mantera, buhul-buhul yang memberi pengaruh di hati dan badan, maka menyebabkan sakit, membunuh, dan memisahkan di antara seseorang dengan istrinya. Semua sihir adalah haram, tidak dibolehkan sedikitpun darinya. firman Allah I:
وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَالَهُ فيِ اْلأَخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ
Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, (QS. al-Baqarah:102)
Maksudnya tidak keuntungan baginya. Al-Hasan rahimahullah berkata: tidak ada agama baginya.[2] Hal ini menunjukkan haramnya sihir dan kufur pelakunya, dan Nabi r menyebutkan sebagai salah satu dari tujuh perkara yang membinasakan.[3] Dan wajib membunuh penyihir. Imam Ahmad rahimahullah berkata: Membunuh penyihir diriwayatkan dari tiga orang sahabat Nabi r, maksudnya shahih riwayat membunuh penyihir dari tiga orang sahabat: mereka adalah Umar t, Hafshah t, dan Jundub t. Maka perbuatan sihir: belajar, mengajar, dan profesi adalah kufur kepada Allah I keluar dari agama. Wajib membunuh penyihir untuk melapangkan manusia dari kejahatannya, apabila terbuki bahwa ia adalah penyihir, karena ia kafir, dan karena kejahatannya menular kepada masyarakat.
Syaikh Shalih al-Fauzan – al-Muntaqa (2/59).



[1]  4/164.
[2]  Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/144).
[3]  Al-Bukhari 2766, 5764, 6857, dan Muslim 89.
Selengkapnya...

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>