KEUTAMAAN BERHARI RAYA IDUL FITRI DAN IDUL ADHA BERSAMA PEMERINTAH

Oleh Ali Wafa Abu Sulthon
 



Setiap muslim, hendaklah berpuasa bersama dengan negara tempat ia tinggal, dan berbuka dengannya, sesuai sabda Nabi.

الصوم يوم تصومون , و الفطر يوم تفطرون , و الأضحى يوم تضحون

“Artinya : Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih” 

Sebagaimana fatwa As-Syaikh Al Bany Rahimahullah berkenaan tentang permasalahan shaum   berkata :  
Saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negeri berpuasa dengan pemerintahnya, tidak berpecah belah, sebagian berpuasa dengan negaranya dan sebagian (lainnya) berpuasa dengan negara lain –baik puasanya tersebut mendahului yang lainnya atau terlambat- karena akan memperluas perselisihan di masyarakat, sebagaimana yang terjadi di disebagian negara Arab. Wallahull Musta’an.[Tamamul Minnah, hal. 398]

Beliau ketika mensyarahkan hadits:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan berkurban/ Iedul Adha di hari kalian berkurban.”

[HR. at-Tirmidzi no. 697, dishohihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shohihah no. 224]

Beliau berkata:

FIQIH HADITS

At-Tirmidzi berkata :

 “dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata : makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan mayoritas orang (Ummat Islam).”

Ash-Shon’ani berkata dalam Subulus Salam (2/27) :

“Pada hadits ini ada dalil bahwa yang teranggap dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya dengan melihat hilal tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber’iedul Fithri atau pun berkurban”.

Ibnul Qayyim menyebutkan makna hadits ini dalam Tahdzibus Sunan (3/214):

“Dikatakan bahwa pada hadits ini terdapat bantahan atas orang yang berkata:

‘Sesungguhnya barangsiapa yang melihat munculnya bulan dengan mengukur tempat-tempat terbitnya (cara hisab), boleh baginya berpuasa dan beriedul Fithri sendiri, tidak seperti orang yang tidak mengetahuinya’.

Dikatakan bahwa seorang yang melihat munculnya hilal sendirian, tetapi hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia pun belum berpuasa”.

Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata dalam kitabnya Hasyiyah ‘ala Sunan Ibni Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan at-Tirmidzi :

“Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan awal Ramadhan, Iedul Fithri dan Iedul Adha, pent) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada penguasa/ pemerintah dan mayoritas umat Islam.

Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.”

Aku (al-Albani) katakan :

“Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq yang melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu hari nahr/berkurban (yakni, sudah ‘iedul Adha, pent), lalu ‘Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah berkata :

النَحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ, وَالفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ

“Nahr adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari manusia berbuka.”2

Aku (al-Albani) katakan : Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang diantara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan.

Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah.

Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat radhiallahu ‘anhum shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?!

Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna dalam safar dan diantara mereka pula ada yang mengqasharnya. Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah.

Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada saat berkumpulnya manusia seperti di Mina.

Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina 4 rakaat. Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku dulu shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”

Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhum ajma’in.

Hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang selalu berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih bahwa keadaan para imam itu beda dengan madzhab mereka!

Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan kebanyakan kaum muslimin.

Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.”
 (As-Silsilah ash-Shohihah oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani -rahimahullah )
Perkataan salafush shålih tentang wajibnya berhari-raya bersama imam

- Hasan al-Bashri berkata tentang umaro’ :

في الأمراء هم يلون من أمورنا خمساً : الجمعة، والجماعة، والعيد، والثغور، والحدود. والله لا يستقيم الدين إلا بهم، وإن جاروا وظلموا والله لما يصلح الله بهم أكثر مما يفسدون، مع أن طاعتهم – والله – لغبطة وأن فرقتهم لكفر )) ا.هـ )

“Mereka mengatur urusan kita pada 5 perkara : sholat jum’at, sholat jama’ah, sholat ‘Ied, perang (jihad), dan hukum had. Demi Allah, tidak akan lurus agama ini kecuali dengan adanya mereka, walaupun mereka aniaya dan dzolim. Demi Allah, Allah memperbaiki melalui mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak, karena sesungguhnya ta’at kepada mereka -demi Allah- adalah kebaikan, dan menyelisihi mereka adalah kekufuran.”

[lihat "Adab al-Hasan al-Bashri" karya Ibnul Jauzi (hal. 121), dan lihat "Jami'ul 'Ulum wal Hikam" karya Ibnu Rojab (2/117)], dll]

Perkataan beliau “adalah kekufuran” (لكفر) maksudnya adalah : Kufur yang tidak sampai murtad (كفر دون كفر : kufrun duuna kufrin)

- Dan al-Lalika’i asy-Syafi’iy juga meriwayatkan (1/161) dalam I’tiqod al-Imam Ahmad bin Hambal yang diriwayatkan oleh Abdus bin Malik al-Aththor, bahwa ia (Ahmad) berkata :

وصلاة الجمعة خلفه وخلف من ولي جائزة، تامة ركعتين، من أعاداهما فهو مبدع، تارك للآثار، مخالف للسنة، وليس له من فضل الجمعة شيء إذا لم ير الصلاة خلف الأئمة من كانوا برهم وفاجرهم. فالسنة أن تصلي معهم ركعتين، من أعادهما فهو مبتدع وتدين بأنها تامة، ولا يكن في صدرك من ذلك شك )) ا هـ.

“dan sholat jum’at dibelakangnya (pemimpin) dan di belakang orang yang diwakilkan, 2 roka’at secara sempurna, barangsiapa yang mengulang sholat (yakni setelah sholat bersama imam, pent) maka ia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah), menginggalkan atsar, menyelisihi sunnah!

Dan tidak ada baginya keutamaan sholat jum’at sama sekali jika ia tidak berpendapat untuk sholat di belakang para imam walaupun mereka (imam) itu baik atau fajir. Dan yang sunnah adalah engkau sholat bersama mereka 2 roka’at, barang siapa yang mengulangi maka ia adalah mubtadi’, dan engkau meyakini bahwa sholat tersebut adalah sempurna (sah, pent) dan jangan ada keraguan pada hatimu dalam masalah itu.”

[Riwayat ini juga ada pada Ushulus Sunnah oleh al-Imam Ahmad, hal. 68. Tahqiq al-Walid bin Muhammad Nabiih, pent]

- Dan Harb meriwayatkan adanya ijma’ ‘ulama dalam masalah ini, dalam kitab al-Masa’il yang masyhur yang tertulis padanya :

هذه مذاهب أهل العلم وأصحاب الأثر، وأهل السنة المتمسكين بها، المقتدي بهم إلي يومنا هذا، وأدركت من أدركت من علماء أهلrفيها، من لدن أصحاب النبي الحجاز والشام وغيرهم عليها. فمن خالف شيئاً من هذه المذاهب، أو طعن فيها، أو عاب قائلها، فهو مخالف مبتدع، خارج عن الجماعة، زائل عن منهج السنة وسبيل الحق

“ini adalah madzhab para ‘ulama dan ash-habul atsar (pengikut atsar); dan ahlus sunnah berpegang teguh padanya (pada masalah ini, pent), mengikuti mereka dalam masalah ini, mulai dari zaman shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang.

Dan aku mendapati orang-orang yang kutemui dari para ‘ulama ahlul Hijaz, Syam, dan lain-lain berada di atas madzhab ini. Maka barang siapa yang menyelisihi sesuatu dari madzhab ini atau mencelanya atau menjelekkan orang yang mengucapkannya, maka ia adalah orang yang menyimpang, mubtadi’, keluar dari al-Jama’ah, menyimpang dari manhaj sunnah dan jalan yang haq.”

- Ia (Harb) berkata :

وهو مذهب أحمد، وإسحاق بن إبراهيم، وعبد الله بن مخلد وعبد الله بن الزبير الحميدي ،وسعد بن منصور، وغيرهم ممن جالسنا ،وأخذنا عنهم العلم، وكان من قولهم …. والجمعة والعيدان، والحج مع السلطان، وإن لم يكونوا بررة عدولاً أتقياء، ودفع الصدقات، والخراج والأعشار والفيء، والغنائم إليهم، عدلوا فيها، أو جاروا … ا هـ

“dan ini adalah madzhab (pendapat) Ahmad, Ishaq bin Ibrohim, Abdullah bin Mukhollad, Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi, Sa’ad bin Manshur, dan yang selain mereka dari para ‘ulama yang kami duduk dan mengambil ‘ilmu dari mereka.

dan diantara perkataan mereka : “….dan sholat jum’at, sholat 2 ‘ied, dan haji bersama penguasa, walaupun mereka bukan orang yang baik, adil dan bertaqwa. Dan menyerahkan shodaqoh-shodaqoh, al-A’syar, fai’, dan ghonimah kepada mereka, walaupun mereka adil atau dzolim….”

[Dinukil secara sempurna oleh Ibnul Qoyyim dalam Hadi al-Arwah hal. 399]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>