ADAB - ADAB I'TIKAF

oleh Ali Wafa Abu Sulthon


1.       Hendaknya  bagi seorang mu’takif (orang yang i’tikaf) untuk banyak  menyibukkan dirinya dengan memperbanyak shalat sunnah, qiyamullail, membaca Al-Qur’anul Karim, dan bersemangat untuk mengkhatamkannya lebih dari satu kali.

2.       Memperbanyak dzikir kepada Allah ta’ala, istighfar, do’a, dan shalawat atas Nabi yang ini dilakukan bersamaan dengan dzikir-dzikir syar’i yang telah dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

3.       Seorang mu’takif hendaknya menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat baginya, baik berupa perkataan maupun perbuatan.

4.       Tidak banyak bicara (yang tidak bermanfaat), karena seorang yang benyak bicaranya, akan lebih banyak salahnya.

5.       Seorang mu’takif hendaknya menjauhi segala bentuk jidal (perdebatan) dan perselisihan. [Al-Mughni karya Ibnu Qudamah]

6.       Seorang mu’takif hendaknya mau mengulurkan tangannya guna membantu para mu’takifin yang lain.

7.       Senantiasa bersikap tenang, menjaga akhlak yang baik, dan tidak membuat keributan / mengganggu para mu’takifin yang lain dengan suara yang keras yang bisa mengganggu tidur mereka atau kekhusyu’an ketika shalat.

8.       Seorang mu’takif hendaknya tidak menjadikan i’tikaf dia sebagai tempat untuk kumpul-kumpul dan begadang bersama sebagian teman-temannya atau bersama orang yang mengunjunginya, kemudian mengobrol dalam waktu yang cukup lama. Ini semua tidak selayaknya dilakukan karena menyelisihi hikmah yang dengannya i’tikaf ini disyari’atkan.
Hal-hal Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf




Para ulama telah menyebutkan beberapa hal yang dibolehkan bagi para mu’takifin ketika itikaf, di antaranya:

1.       Membuat kemah di dalam masjid yang dia gunakan untuk menyendiri di dalam beribadah.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan aku membuatkan kemah untuk beliau, beliau shalat shubuh kemudian memasukinya.” [HR. Al-Bukhari]

2.       Keluar dari masjid ketika ada kebutuhan, seperti keluar untuk menyediakan makanan dan minuman, keluar untuk menunaikan hajatnya, berwudhu, dan juga mandi. Dengan syarat kebutuhan-kebutuhan tadi memang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.

3.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk bertemu dan duduk bersama istri di dalam kemahnya, demikian pula boleh untuk menyambut siapa saja yang dating mengunjunginya, dengan syarat tidak menimbulkan fitnah.

Dari ‘Ali bin Husain radhiyallahu ‘anhuma:

أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ أي تعود إلى بيتها وَقَامَ النَّبِيُّ ليَقْلِبهَا أي ليوصلها إلى بيتها

“Bahwasanya Shafiyyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan kepadanya, bahwa dia pernah datang mengunjungi Nabi ketika beliau sedang i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, kemudian dia (Shafiyyah) berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, dan kemudian dia berdiri untuk kembali ke rumahnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengantarkan dia sampai ke rumahnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

4.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk meminang, melakukan akad nikah, dan menjadi saksi nikah di dalam masjid. Karena i’tikaf itu adalah ibadah yang tidak mengharamkan (menghalangi dikerjakannya) kebaikan (yang lainnya), maka i’tikaf tidak mengharamkan (menghalangi) seseorang dari nikah sebagaimana puasa. Demikian pula karena nikah itu adalah bentuk ketaatan, menghadirinya adalah juga merupakan bentuk taqarrub. Dan hendaknya itu semua dilakukan dengan tidak terlalu berlama-lama yang menyebabkan tersibukkannya dari i’tikaf ……

5.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk membersihkan badannya, memakai parfum, dan memakai pakaian yang baik, boleh pula menyisir rambutnya dan juga memotong kukunya.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendongokkan kepalanya kepadaku (ketika aku berada di rumahku yang) bersebelahan dengan masjid. Aku menyisir rambut beliau dalam keadaan aku sedang haid.” [HR. Al-Bukhari]

6.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk mengadakan halaqah dalam rangka mengajarkan cara membaca Al-Qur’an atau menghadiri halaqah bacaan Al-Qur’an tersebut, demikian pula dibolehkan untuk membaca kitab-kitab ilmiah dan menghadiri majelis-majelis para ulama dan diskusi mereka, atau kegiatan lain yang bisa memberikan manfaat kepada orang lain.

7.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk naik ke atap (lantai paling atas) masjid karena itu masih termasuk bagian dari masjid.


Beberapa hal yang merusak (membatalkan) i’tikaf

Para ulama juga telah menyebutkan beberapa hal yang bisa merusak (membatalkan) i’tikaf, di antaranya:

1.       Keluar dari masjid tanpa ada keperluan yang mendesak.

Dari ‘Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لاَ يَعُودَ مَرِيضًا وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً وَلاَ يَمَسَّ امْرَأَةً وَلاَ يُبَاشِرَهَا وَلاَ يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ مِنْهُ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ بِصَوْمٍ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِي مَسْجِدٍ جَامِعٍ

“Termasuk sunnah bagi seorang mu’takif adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak menghadiri jenazah, tidak menyentuh atau bercumbu dengan istri, tidak keluar dari masjid untuk urusan apapun kecuali memang urusan yang harus diselesaikan (di luar masjid), tidak ada i’tikaf  kecuali dengan puasa, dan tidak ada i‘tikaf kecuali dilakukan di masjid jami’.” [Shahih Sunan Abi Dawud, karya Asy-Syaikh Al-Albani] [Al-Mughni]

2.       Menggauli istri.

Para ulama sepakat bahwa seorang mu’takif jika menggauli istrinya dengan sengaja, maka i’tikafnya batal dan tidak ada kewajiban menqadha’ i’tikafnya, kecuali jika i’tikafnya tersebut adalah i’tikaf wajib. Berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.” [Al-Baqarah: 187]

3.       Murtad (keluar) dari Islam.

Jika seorang mu’takif murtad -wal’iyadzubillah-, maka batallah i‘tikafnya, berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” [Az-Zumar: 65]

Dan dengan murtadnya itu dia telah keluar dari keadaan dia sebagai seorang mu’takif. [Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah]

4.       Hilang akal.

Disebabkan minum khamr, pingsan, atau gila. Karena berakal merupakan syarat i’tikaf.

5.       Junub atau nifas.

Karena dengan itu hilanglah syarat thaharah kubra yang juga menjadi salah satu syarat i’tikaf. [Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah]

Terakhir, kami memohon kepada Allah ta’ala agar Dia menjadikan amalan kita ini sebagai amalan yang ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya Yang Mulia, dan agar Dia juga menjadikan amalan ini bermanfaat bagi segenap kaum muslimin di manapun berada.

وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>