MARAH YANG SYAR'I

 Oleh Ali Wafa Abu Sulthon



Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu yang meriwayatkan hadits ini mengatakan, bahwa dia tidak pernah melihat Nabi sangat marah seperti hari itu. Nabi bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya di antara kalian ada yang senang membuat orang lari dari agama. Oleh karena itu, siapa pun di antara kalian yang menjadi imam shalat, maka hendaknya ia memperingan shalatnya. Sebab di belakangnya ada orang tua, anak kecil, dan orang yang mempunyai keperluan!”
( Lu'lu' wa Al Marjan I/97 No. hadist 267 )

Aisyah Radhiyallahu ‘Anha meriwayatkan, bahwasanya kaum Quraisy sedang dipusingkan oleh masalah seorang perempuan Bani Makhzum yang mencuri. Mereka berkata, “Siapa yang akan berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?”    (Maksudnya, siapa yang berani berbicara kepada Nabi agar memberikan dispensasi hukuman kepada perempuan Bani Makhzum ini?    ) Sebagian dari mereka berkata, “Siapa lagi yang berani melakukannya kalau bukan Usamah bin Zaid anak kesayangan beliau?”[ Usamah adalah anak Zaid bin Haritsah, dan Zaid adalah anak angkat Rasul ketika di Makkah, dan sebelum turun ayat yang melarang penisbatan seseorang kepada selain bapaknya.   ] Maka Usamah pun menyampaikan masalah ini kepada Rasulullah.
Tetapi apa reaksi beliau? Beliau sangat marah kepada Usamah. Beliau berkata, “Apakah engkau akan memberikan perlindungan dalam masalah hukum (had) Allah?!” Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah, “Sesungguhnya umat sebelum kalian hancur dikarenakan apabila ada orang terhormat yang mencuri, mereka membiarkannya. Namun jika yang mencuri adalah orang lemah, maka mereka menjatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah, sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya!”  (Al-Lu‘lu‘ wa Al-Marjan 2/185, hadits nomor 1100. )
Demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau tidak pernah marah jika dirinya disakiti. Akan tetapi, tidak demikian halnya apabila yang disakiti adalah Allah. Dalam arti kata, apabila hukum Allah yang dilanggar, maka beliau akan sangat marah.
 Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim disebutkan, ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia berkata, “Sesungguhnya aku ini sering –sengaja– terlambat shalat jamaah subuh dikarenakan si fulan yang senang memperpanjang shalatnya bersama kami.”

Dibolehkan marah untuk dua hal yaitu:
  1. Marah mempertahankan kehormatan. Jika anggota keluarga kita dicemarkan, dihina, dilecehkan dan direndahkan orang, Kita marah dan membalas dengan marah, mengambil pembalasan menegakkan harkat martabat keluarga dengan cara yang haq. Marah yang seperti ini diberi nama ghirah lissyaraf (cemburu menjaga kehormatan).
  2. Marah mempertahankan agama, ghirah alad-Dhin (cemburu atas agama), marah karena Allah (agama), menegakkan keadilan dan kebenaran. Kemarahan dalam agama membolehkan menyerang negeri musuh yang hendak mengusir kita dari negeri sendiri, dan membunuh lawan, tetapi tidak membolehkan membakar rumah, menebang pohon yang berbuah dan menganiaya musuh yang sudah mati.
Kebiasaan beliau yang agung ini, hendaknya dapat kita jadikan pelajaran. Karena sering kita saksikan, dimana seseorang akan marah jika dirinya merasa tersinggung atau disakiti. Namun manakala hukum Allah dilanggar seperti melakukan perzinahan , percurian, kejahatan , minum khamr , korupsi  , Riba dan  dia cuek saja atas keluarganya melakukan hal tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>