BOLEH KITA MINTA JABATAN ?


Oleh Ali Wafa Abu Sulthon

Tidak terlepas dari Fitnah jabatan, banyak di kalangan kaum muslimin di negara kita tergoda dengan jabatan yang menjanjikan keberhasilan, kejayaan dan ketenaran padahal jabatan itu akan memusnakan ketawaddu'an dan kemulyaan seseorang di sisi Allah selama seseorang tersebut tidak berpegang kepada Al Qur'an Dan Sunnah dan Tidak Selayaknya meminta jabatan karena hal tersebut dilarang oleh Rasulullah Shollallahu wa Sallam dimana
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah radliallahu 'anhu:
(( يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بن سَمُرَة , لاَ تَسْأَلُ الإِمَارَةَ. فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا))
"Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta Jabatan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)."
Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Bukhari dalam Shahih-nya no. 7146 dengan judul “Siapa yang tidak meminta jabatan, Allah akan menolongnya dalam menjalankan tugasnya” dan no. 7147 dengan judul “Siapa yang minta jabatan akan diserahkan kepadanya (dengan tidak mendapat pertolongan dari Allah dalam menunaikan tugasnya)”. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 1652 yang diberi judul oleh Al-Imam Nawawi “Bab larangan meminta jabatan dan berambisi untuk mendapatkannya”.

Juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar Al Ghifari radliallahu 'anhu. Ia berkata: "Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?" Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:

(( يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ , وَ إِنَّهَا أَمَانَةٌ , وَ إِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَ نَدَامَةٌ, إلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا , وَ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا ))

"Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut." (HR. Muslim no. 1825)



Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


((يَا أَبَا ذَرٍّ, إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيْفًا, وَ إِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي, لا تَأَمَّرَنَّ اثنَينِ و لا تَوَلَّيْنَ مَالَ يَتِيْمٍ ))


"Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim." (HR. Muslim no. 1826)


Al-Imam Nawawi rahimahullah membawakan kedua hadits Abu Dzar di atas dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin, bab “Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan”.

Berkata Al Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135): "Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi."

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintahkannya dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bahagiannya di akhirat. Oleh karena itu dilarang seseorang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadlus Shalihin, 2/469)

Rasullah shallallahu alaihi wasallam menggambarkan kerakusan terhadap jabatan lebih dari dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda:



(( مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَ الشَّرَفِ لِدِيْنِهِ ))



Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:



إِذَا ضُيِّئَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةُ. قال : كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَال : إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهَا َانْتَظِرِ السَّاعَةُ



“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya: 'Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?' Beliau menjawab: 'Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat".” (HR. Bukhari no. 59)



Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radliallahu 'anhu berkata: "Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka salah seorang dari keduanya berkata: "Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah". Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:



(( إِنّا لا نُوَلّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَ لا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ ))



"Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya." (HR. Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)



Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan karena permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Abdurrahman bin Samurah di atas : "Bila engkau diberikan dengan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)." Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Dan tidak mungkin jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap. (Syarah Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari, 13/133, Nailul Authar, 8/294)



Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: "Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apa pun. Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta jabatan tersebut dalam rangka wara' dan kehati-hatiannya dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh Riyadlus Shalihin, 2/470)



Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits Abu Dzar: "Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan terlebih lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya. Maka Allah menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan menyesal atas kesia-siaan yang dilakukannya. Adapun orang yang pantas menjadi pemimpin dan dapat berlaku adil, maka akan mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih seperti hadits: "Ada tujuh golongan yang Allah lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya Al-Imam (pemimpin) yang adil". Dan juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat) berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadits lainnya. Kaum muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu karena banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memperingatkan darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang yang shalih dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut." (Syarah Shahih Muslim, 12/210-211)



“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya disebabkan ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. Tirmidzi no. 2482, dishahihkan Syaikh Muqbil dalam Ash Shahihul Musnad, 2/178).

Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil permintaan Nabi Yusuf alaihis salam kepada penguasa Mesir:



اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ اْلأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ



"Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan." (Yusuf: 55)



Maka dijawab, bahwa permintaan beliau alaihis salam ini bukan karena ambisi beliau untuk memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena keinginan beliau untuk memberikan kemanfaatan kepada manusia secara umum sementara beliau melihat dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah dan menjaga terhadap apa yang tidak mereka ketahui. (Taisir Al-Karimur Rahman, hal. 401)



Al-Imam Syaukani berkata: "Nabi Yusuf alahis salam meminta demikian karena kepercayaan para Nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya penjagaan dari Allah terhadap dosa-dosa mereka (ma`shum). Sementara syariat kita yang sudah kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang oleh syariat umat yang terdahulu sebelum kita, karena mungkin meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf alaihis salam pada waktu itu dibolehkan." (Nailul Authar, 8/ 294)



Ketahuilah wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan, sementara dia bukan orang yang pantas untuk mendudukinya, kelak pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan menjadi penyesalan karena ketidakmampuannya dalam menunaikan amanah sebagaimana mestinya. Berkata Al-Qadli Al-Baidlawi: “Karena itu tidak sepantasnya orang yang berakal, bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)



Meminta jabatan, mencalonkan diri, dicalonkan dan diminta mencalonkan diri adalah 4 hal yang berbeda.

1. Meminta jabatan

Benar-benar meminta jabatan. Misal meminta langsung pada pemimpin agar diberi jatah untuk memimpin atau menjabat satu daerah.

2. Mencalonkan diri

Satu bentuk lain dari “meminta jabatan”, biasanya didasari pada “merasa mampu menjadi pemimpin”.

3. Dicalonkan

Ada orang lain yang mencalonkan. Lalu orang yang mencalonkan itu mengurusi semua proses pencalonan si calon.

4. Diminta mencalonkan diri

Ada orang lain yang mencalonkan dirinya. Lalu orang yang dicalonkan itu diminta untuk mengurusi semua proses pencalonan dirinya.

—–

Dari 4 hal di atas, nomor 1 dan nomor 2 adalah dua hal yang tidak disukai di dalam Islam.

Nomor 3 adalah yang hal yang diperbolehkan.

Nomor 4 juga diperbolehkan, karena karena pada masa sekarang ini setiap hal pasti melalui prosedur, baik itu prosedur yang sederhana (misal, hanya menandatangani satu surat) sampai pada prosedur yang rumit (misal, harus melalui proses seleksi berkali-kali). Selama ada pendukung yang meminta kepada ybs untuk mencalonkan diri, maka berarti ybs berstatus “diminta mencalonkan diri”.

yang penting kita tidak meminta jabatan dalam penitian karier di pemerintahan untuk menuju negara yang makmur nan jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>