SUBHAT - SUBHAT DAN FITNAH PERAYAAN TAHUN BARU
Disusun Oleh
Ali Wafa Abu Sulthon
Tinggal menghitung jam ke depan, tahun 2010 akan segera berganti 2011, dan tahun 2010 akan menjelang. Ini tahun baru Masehi, tentu saja, karena tahun baru Hijriyah telah terjadi dua pekan yang lalu. Bagi kita orang Islam, ada apa dengan tahun baru Masehi?
Entah direncanakan atau sekadar latah, pada malam itu orang-orang seakan secara serempak melonggarkan moralitas dan kesusilaan. Bunyi terompet diselingi gelak tawa (bahkan dengan minuman keras) bersahut-sahutan di setiap tempat. Sepeda motor mengepulkan asap hingga mirip ‘dapur berjalan’ meraung-raung. Mobil-mobil membunyikan klakson sepanjang jalan. Cafe, diskotik dan tempat-tempat hiburan malam sesak padat. Orang-orang ‘tumpah’ di jalanan dengan satu tujuan: merayakan Tahun Baru.
Sebenarnya tahun Masehi adalah tahun yang baru bagi bangsa Indonesia, karena ia tidak memiliki akar kultur dan tradisi dalam sejarah bangsa ini. Ada beberapa faktor yang dapat mendukung anggapan ini.
Pertama, latarbelakang sosio-historis. Berlakunya tahun Masehi tidak bisa dipisahkan dari pengaruh teologi (keagamaan) Kristen, yang dianut oleh masyarakat Eropa. Kalender ini baru diberlakukan di Indonesia pada tahun 1910 ketika berlakunya Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap atas seluruh rakyat Hindia Belanda.
Kedua, karena latarbelakang teologis. Sebagaimana diketahui, kalender Gregorian diciptakan sebagai ganti kalender Julian yang dinilai kurang akurat, karena awal musim semi semakin maju, akibatnya, perayaan Paskah yang sudah disepakati sejak Konsili Nicea I pada tahun 325, tidak tepat lagi.
Kalender Hijriyah, disebut sebagai kalender Islam (at-taqwim al-hijri), karena ditetapkan sejak hijrahnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Ia ditetapkan sebagai tahun Islam setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam wafat atas inisiatif Khalifah kedua, Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhu pada tahun 638 M (17 H). Hijrah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ditetapkan sebagai awal kalender Islam, menyisihkan dua pendapat lainnya, yaitu hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan hari wafat beliau.
Sejak kedatangan Islam hingga awal abad ke-20, kalender Hijriyah berlaku di nusantara. Bahkan raja Karangasem, Ratu Agung Ngurah yang beragama Hindu, dalam surat-suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Otto van Rees yang beragama Nasrani, masih menggunakan tarikh 1313 Hijriyah (1894 M).
Jadi secara historis dan kultural bangsa kita pun, tahun baru Masehi tidak perlu dirayakan. Terlebih lagi jika ditinjau dari sisi akidah al wala' wal bara' (loyalitas dan pelepasan diri) dalam agama Islam.
Meski demikian, hal ini tidak bisa secara otomatis dijadikan sebagai justifikasi pentingnya merayakan tahun baru Hijriyah yang juga tinggal menghitung hari. Mengingat sejauh ini tidak ditemukan teks agama yang menganjurkan perayaan tahun baru Hijriyah.
ULAMA MENYIKAPI HARI RAYA NON-MUSLIM (NATAL/TAHUN BARU)
Fatwa Syaikh Muhammad Ibn Shalih al Utsaimin—rahimahullah
Pertanyaan:
Apa hukumnya mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan hari besar keagamaan mereka? (Misal: Merry Christmas, Selamat hari Natal dan Tahun Baru dst, red.). Dan bagaimana kita menyikapi mereka jika mereka mengucapkan selamat Natal kepada kita. Dan apakah dibolehkan pergi ke tempat-tempat di mana mereka merayakannya? Dan apakah seorang Muslim berdosa jika ia melakukan perbuatan tersebut tanpa maksud apapun, akan tetapi ia melakukannya hanya karena menampakkan sikap tenggang rasa, atau karena malu atau karena terjepit dalam situasi yang canggung, atau pun karena alasan lainnya. Dan apakah dibolehkan menyerupai mereka dalam hal ini?
Jawaban:
Mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan Natal atau hari besar keagamaan lainnya dilarang menurut ijma’ (kesepakatan ulama). Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim—rahimahullah—dalam bukunya Ahkamu Ahlidz-dzimmah, beliau berkata, “Mengucapkan selamat terhadap syiar-syiar kafir yang menjadi ciri khasnya adalah haram, menurut kesepakatan. Seperti memberi ucapan selamat kepada mereka pada hari-hari rayanya atau puasanya, sehingga seseorang berkata, “Selamat hari raya”, atau ia mengharapkan agar mereka merayakan hari rayanya atau hal lainnya. Maka dalam hal ini, bisa jadi orang yang mengatakannya terlepas dari jatuh ke dalam kekafiran, namun (sikap yang seperti itu) termasuk ke dalam hal-hal yang diharamkan. Ibarat dia mengucapkan selamat atas sujudnya mereka pada salib. Bahkan ucapan selamat terhadap hari raya mereka dosanya lebih besar di sisi Allah dan jauh lebih dibenci dari pada memberi selamat kepada mereka karena meminum alkohol dan membunuh seseorang, berzina dan perkara-perkara yang sejenisnya. Dan banyak orang yang tidak paham agama terjatuh ke dalam perkara ini. Dan ia tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Maka siapa yang memberi selamat kepada seseorang yang melakukan perbuatan dosa, atau bid’ah, atau kekafiran, berarti ia telah membuka dirinya kepada kemurkaan Allah.” Akhir dari perkataan Syaikh (Ibnul Qoyyim—rahimahullah).
Haramnya memberi selamat kepada orang kafir pada hari raya keagamaan mereka sebagaimana perkataan Ibnul Qoyyim adalah karena di dalamnya terdapat persetujuan atas kekafiran mereka, dan menunjukkan ridha dengannya. Meskipun pada kenyataannya seseorang tidak ridha dengan kekafiran, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk meridhai syiar atau perayaan mereka, atau mengajak yang lain untuk memberi selamat kepada mereka. Karena Allah tidak meridhai hal tersebut, sebagaimana Allah Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman, artinya,
“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” [QS. Az Zumar 39: 7].
Dan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala juga berfirman, artinya,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan bagimu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [QS. Al Maaidah: 3]
Maka memberi selamat kepada mereka dengan ini hukumnya haram, sama saja apakah terhadap mereka (orang-orang kafir) yang terlibat bisnis dengan seseorang (Muslim) atau tidak. Jadi, jika mereka memberi selamat kepada kita dengan ucapan selamat hari raya mereka, kita dilarang menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita, dan hari raya mereka tidaklah diridhai Allah, karena hal itu merupakan salah satu yang diada-adakan (bid’ah) di dalam agama mereka, atau hal itu ada syariatnya tapi telah dihapuskan oleh agama Islam yang Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, telah diutus dengannya untuk semua makhluk. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman tentang Islam, artinya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [QS. Ali ‘Imran: 85].
Dan bagi seorang Muslim, memenuhi undangan mereka untuk menghadiri hari rayanya hukumnya haram. Karena hal ini lebih buruk dari pada hanya sekadar memberi selamat kepada mereka, di mana di dalamnya akan menyebabkannya turut berpartisipasi dengan mereka. Juga diharamkan bagi seorang Muslim untuk menyerupai atau meniru-niru orang kafir dalam perayaan mereka dengan mengadakan pesta, atau bertukar hadiah, atau membagi-bagikan permen atau makanan, atau libur kerja, atau yang semisalnya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka”.
Dalih toleransi sering dijadikan alasan sebagian kaum Muslimin untuk turut berpartisipasi dalam perayaan hari-hari besar agama lain. Padahal, hari raya adalah masalah agama dan akidah, bukan masalah keduniaan, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam sabda beliau kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu pada hari Idul Fitri,
إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَهَذَا عِيْدُنَا
”Setiap kaum memiliki hari raya, dan ini (Idul Fitri) adalah hari raya kita.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, turut merayakannya berarti ikut serta dalam ritual ibadah mereka. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, dan dinyatakan hasan shahih oleh Al-Albani).
Imam Al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhuma beliau pernah berkata,
“Barangsiapa lewat di negeri non Arab, lalu mereka sedang merayakan Hari Nairuz dan festival keagamaan mereka, lalu ia meniru mereka hingga mati, maka demikianlah ia dibangkitkan bersama mereka di Hari Kiamat nanti.” (Lihat Ahkaamu Ahlidz Dzimmah I/723-724).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah—rahimahullah—berkata, “Adapun apabila seorang Muslim menjual kepada mereka pada hari-hari raya mereka segala yang mereka gunakan pada hari raya tersebut, berupa makanan, pakaian, minyak wangi dan lain-lain, atau menghadiahkannya kepada mereka, maka itu termasuk menolong mereka mengadakan hari raya mereka yang diharamkan. Dasarnya adalah kaidah yang mengatakan tidak boleh menjual anggur kepada orang kafir yang jelas digunakan untuk membuat minuman keras. Juga tidak boleh menjual senjata kepada mereka bila digunakan untuk memerangi kaum Muslimin.” Kemudian beliau menukil dari Abdul Malik bin Habib dari kalangan ulama Malikiyyah, “Sudah jelas bahwa kaum Muslimin tidak boleh menjual kepada orang-orang Nashrani sesuatu yang menjadi kebutuhan hari raya mereka, baik itu daging, lauk-pauk atau pakaian. Juga tidak boleh memberikan kendaraan kepada mereka, atau memberikan pertolongan untuk hari raya, karena yang demikian itu termasuk memuliakan kemusyrikan mereka dan menolong mereka dalam kekufuran mereka.” (Al-Iqtidhaa 229-231).
Maka jelas kita bertasyabbuh, meridhai dan berpartisipasi dalam kegiatan mereka, apabila kita bersukaria, berpesta, memakan makanannya, berpartisipasi dalam acara non Muslim, memberi hadiah, memberi ucapan selamat, menjual kartu selamat, menjual segala keperluan hari raya mereka, baik itu lilin, pohon natal, makanan, kalkun, kue dan lain-lainnya.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Perayaan Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Perayaan Tahun Baru
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.
Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.
Perayaan Tahun Baru Zaman Dulu
Seperti kita ketahu, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).
Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year's Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan "Selamat Tahun Baru" dan menyanyikan Auld Lang Syne.Di negara-negara lain, termasuk Indonesia? Sama saja!
Bagi kita, orang Islam, merayakan tahun baru Masehi bukanlah bersumber dari ajaran Islam , di mana bertentangan dengan Ajaran Islam itu tentu saja akan semakin ikut andil dalam menghapus jejak-jejak sejarah Islam yang hebat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar