Keutamaan Seorang Ibu

 Oleh  : Ali Wafa Abu Sulthon



Ibu adalah sosok manusia yang dalam pandangan Islam untuk melahirkan, merawat, mendidik , mengayomi, membimbing dan memperbudikan generasi - generasi yang sholeh dan sholehah sebagai jembatan menuju keridhaan Allah Azza Wa Jallah .Mengapa kaum ibu sedemikian diutamakan? Karena mereka adalah fihak yang sejak masih mengandung anak saja sudah merasakan beban memikul tanggung-jawab membesarkan anak-anaknya. Mereka adalah pendamping, penyayang, pengasuh dan pengajar pertama dan utama bagi seorang anak. 
Dalam pepatah Arab ada ungkapan berbunyi Al-Ummu madrasah (ibu adalah sekolah). Benar, saudaraku. Seorang ibu merupakan sekolah pertama bagi setiap anak. Ibulah yang pertama kali mengajarkan banyak pelajaran awal tentang kehidupan kepada anak. Apalagi di zaman penuh fitnah seperti sekarang dimana al-ghazwu al-fikri (perang pemikiran/ perang budaya/ perang ideologi) datang menyerbu rumah-rumah kaum muslimin. Serbuan itu datang dari berbagai penjuru. Bisa dari televisi, internet, facebook, buku bacaan, komik, majalah, nyanyian, musik, pergaulan bahkan dari sekolah formal...! Maka kehadiran seorang ibu yang memiliki wawasan pengetahuan luas menjadi laksana penjaga benteng terakhir bagi anak-anaknya. Ibulah yang bertugas membentengi, memfilter dan mengarahkan anak-anak menghadapi berbagai serbuan perang budaya tadi.
Islam mengajarkan bahwa kaum ibu merupakan fihak yang sangat istimewa dan tinggi derajatnya. Oleh karena itu kita sangat akrab dengan hadits yang menjelaskan keharusan seorang sahabat agar memprioritaskan berbuat baik kepada ibunya. Bahkan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyebutkan keharusan tersebut sebanyak tiga kali sebelum beliau akhirnya juga menganjurkan sahabat tadi agar berbuat baik kepada ayahnya. Jadi ibaratnya keharusan menghormati dan berbuat baik seorang anak kepada ibunya sepatutnya lebih banyak tiga kali lipat daripada penghormatan dan perilaku baiknya terhadap sang ayah.
أَخْبَرَنَا بَهْزُ بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي قَالَ
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَبَرُّ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ
قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ
ثُمَّ أَبَاكَ ثُمَّ الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ
Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada siapa aku berbuat kebaikan?. Beliau bersabda: "Ibumu." Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: "Ibumu." Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: "Ibumu." Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: "Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat." (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ الْكَبَائِرِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ
Dari Anas ia berkata: Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ditanya mengenai dosa-dosa besar, maka beliau bersabda: “Mempersekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang-tua, membunuh jiwa dan kesaksian palsu.” (HR Bukhary
Bahkan di dalam hadits lainnya disebutkan bahwa kedua orang-tua merupakan faktor yang sangat besar mempengaruhi apakah seseorang bakal menuju ke surga ataukah ke neraka. Artinya, perilaku baik seseorang kepada kedua orang-tuanya bakal memperbesar kemungkinannya berakhir di dalam rahmat Allah dan surga-Nya. Sedangkan kedurhakaannya kepada kedua orang-tua bakal memperbesar kemungkinan hidupnya berakhir di dalam murka Allah dan neraka-Nya.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
مَا حَقُّ الْوَالِدَيْنِ عَلَى وَلَدِهِمَا قَالَ هُمَا جَنَّتُكَ وَنَارُكَ
Dari Abi Umamah ia berkata: “Ada seorang lelaki berkata: “Ya Rasulullah, apakah hak kedua orang-tua atas anak mereka?” Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Keduanya (merupakan) surgamu dan nerakamu.” (HR Ibnu Majah)

Hal ini sejalan dengan hadits berikut ini: Dari Abdullah Ibnu Amar al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua." (HR Tirmidzi)
Namun yang menarik ialah ditemukannya hadits yang secara khusus mengungkapkan haramnya durhaka kepada sang ibu. Sedangkan hal ini tidak kita temukan dalam kaitan dengan larangan berlaku durhaka kepada sang ayah. Sudah barang tentu ini tidak berarti bahwa berlaku durhaka kepada fihak ayah dibenarkan. Yang jelas dengan adanya larangan khusus berlaku durhaka kepada fihak ibu cuma menunjukkan betapa ajaran Islam sangat menjunjung tinggi martabat kaum ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>