Oleh Ali wafa Abu Sulthon
Sebagai seorang muslim yang konsisten dalam menuntut ilmu , hendaknya kita istiqomah dalam memperlajari Ad-Dien ini di mana begitu pentingnya menumbuhkan motivasi dalam diri seseorang karena apabila motivasi telah hilang, maka ia akan enggan untuk berbuat sesuatu. Kita berada di zaman dimana banyak manusia semangatnya sudah mati, sehingga keinginan belajar ilmu syar’i semakin melemah dan kemauan untuk mengajarinya semakin menurun. Semoga Allah merahmati Ibnu Jarir ath-Thabari. Suatu saat ia pernah berkata kepada muridnya, “Apakah kalian siap menulis sejarah? “Para murid bertanya, “Berapa lembar?” Ibnu Jarir menjawab, “Tiga puluh ribu lembar.” Mereka berkata, “Ini suatu yang sulit yang menghabiskan seluruh umur.” Ibnu Jarir berkata, “La haula wala quwwata illa billah, semangat sudah mati.” Apa yang akan dikatakan Ibnu Jarir jika menjumpai masa kita ini, yang seseorang tidak dapat memaksa dirinya menulis atau menghafal tiga puluh ribu lembar. Keharusan kita untuk belajar ilmu syar’I karena ilmu ini termasuk bagian dari syari’at Allah dan juga warisan para nabi yang diberikan kepada kita. Adalah hak Beliau atas kita untuk menjaga warisannya dari kebinasaan dan kepunahan.
Cerita tentang para ulama dan para imam yang mendapat petunjuk adalah sarana terbesar untuk menanamkan keutamaan dalam jiwa demi mengobarkan semangat dan memotivasi untuk kebaikan dan ketakwaan. Ibnu Katsir bercerita tentang dirinya ketika beliau sedang menulis kitabnya “jami’ul masaanied”, “Konon aku terus menerus menulisnya dimalam hari, sedang cahaya pelita yang menerangiku terang-redup hingga akupun menjadi buta karenanya. Ja’far bin Durustuwaih berkata, “ Kami mengambil tempat duduk karena terlalu padat di sebuah majelis Ali bin Al-Madini waktu Ashar untuk kajian esoknya. Kami menempatinya sepanjang malam karena khawatir esoknya tidak mendapat tempat untuk mendengarkan kajiannya karena penuh sesaknya manusia. Saya melihat seseorang yang sudah tua di majelis tersebut kencing dijubahnya karena khawatir tempat duduknya diambil apabila ia berdiri untuk kencing.”
Ibnu Asakir ketika menyebutkan biografi seorang yang shaleh Abu manshur Muhammad bin Husain An-Naisbury berkata, “Beliau orang yang selalu giat dan semangat dalam belajar, meski dalam keadaan fakir. Sampai-sampai beliau menulis pelajarannya dan mengulangi membacanya dibawah cahaya rembulan karena tidak punya sesuatu untuk membeli minyak tanah. Walaupun beliau dalam kedaan fakir, namun beliau selalu hidup wara’ dan tidak mengambil harta yang syubhat sekalipun.
Kisah mengenai perjuangan para ulama dalam menuntut ilmu sungguh bagaikan cerita fiksi atau dongeng bagi kita saat ini karena beratnya perjalanan menuntut ilmu dan sulitnya kondisi mereka sehingga kita berpikir seolah-olah hal itu tidak mungkin terjadi pada orang-orang saat ini. Terbatasnya fasilitas baik alat komunikasi dan transportasi tidak menyurutkan motivasi mereka untuk menuntut ilmu sebagaimana perjuangan yang dilakukan oleh Sa’id bin Musayyab. Beliau berkata, “Sesungguhnya aku pernah berjalan berhari-hari dan bermalam-malam untuk mencari satu hadits.” Renungkanlah bagaimana perjuangan Imam Syafi’I yang terus bersemangat menuntut ilmu walaupun beliau hidup dalam kesulitan materi.
Imam Syafi’I menceritakan kisahnya, “Dahulu aku menyimak guru yang mengajarkan para muridnya dan aku menghafal apa yang dikatakannya. Sedangkan ibuku tidak punya apa-apa untuk membayar guru. Aku adalah seorang anak yatim. Guruku itu juga membolehkanku untuk ikut bersamanya. Para murid menulis. Sebelum guru tersebut selesai dari mendiktekan, aku telah terlebih dahulu menghafalkan apa yang aku tulis. Setelah pulang, aku mengutip tembikar, pelepah kurma dan tulang unta. Aku menulis hadits padanya dan aku pergi ke tempat belajar sambil mencari sisa-sisa kertas dan aku menyalinnya hingga penuh gentong milik ibuku dengannya.
Bayangkan! Imam syafi’I yang seorang yatim, miskin, yang hanya mampu menulis diatas sisa-sisa kertas, tulang dan pelepah kurma namun segala keterbatasan tersebut tidak membuat beliau mengeluh, putus asa dan berdiam diri dari menuntut ilmu. Perjuangan yang tak kenal lelah itu telah menjadikan beliau sebagai seorang yang memiliki ilmu yang mendalam hingga akhirnya beliau menjadi Imam kaum Muslimin, Para ulama terdahulu melakukan perjalanan jauh hingga mengelilingi negeri-negeri yang jauh untuk menuntut ilmu. Motivasi yang rendah takkan mampu menggerakkan tubuhnya walau hanya selangkah. Motivasi yang rendah hanya menjadikan dirinya santai berbaring diatas ranjang, malas melakukan aktivitas dan hanya melamun memimpikan kesenangan dialam bawah sadarnya.
Motivasi yang tinggi telah mendorong Imam Ibn Mandah untuk mengelilingi timur dan barat sebanyak dua kali. Beliau melakukan perjalanan menuntut ilmu dalam jangka waktu yang lama. Imam Ibn Mandah pergi menuntut ilmu ketika berumur 20 tahun dan kembali ketika berumur 65 tahun. Lama perjalanan menuntut ilmu beliau selama 45 tahun. Imam Ibn Mandah kembali ke negerinya setelah tua dan dia baru menikah ketika berumur 65 tahun. Kecintaan para ulama pada ilmu syar’I meyebabkan mereka rela untuk lelah berjalan, menahan lapar dan dahaga.
Imam Bukhari bercerita tentang keadaannya ketika menuntut ilmu, “Suatu ketika aku pergi mengunjungi Adam bin Abi Iyas di ‘Asqalan, namun uang belanjaku tidak kunjung datang hingga aku terpaksa memakan rerumputan dan tidak seorangpun yang tahu hal itu. Hingga memasuki hari ketiga, tiba-tiba ada seorang lelaki tidak dikenal yang mendatangiku lalu memberiku sekantung uang dinar, sambil berkata, “Pergunakanlah uang ini untuk mencukupi ke*****anmu.”
Simaklah pula kisah Abu Hatim yang mengisahkan segala ujian berat yang beliau hadapi selama menuntut ilmu, “Pada tahun 214 H aku menetap dikota Basrah selama delapan bulan dan aku telah merencanakan untuk menetap selama setahun penuh, namun aku kehabisan bekal hingga aku terpaksa menjual pakaianku satu per satu hingga tidak ada lagi yang tersisa bagiku. Akupun tetap berkeliling dengan seorang sahabatku mendatangi rumah para syaikh dan mendengarkan hadits dari mereka hingga sore. Setelah itu, temankupun beranjak dan aku pulang sendirian kesebuah rumah kosong, lalu aku cepat-cepat minum air karena begitu laparnya. Keesokan harinya, aku kembali berkeliling dengan sahabatku untuk mendengarkan hadits dalam keadaan lapar berat. Sampai ia beranjak dan aku berpisah dengannya. Keesokan harinya, sahabatku itu datang lagi kepadaku lalu mengatakan, “Ayo kita pergi mendatangi para syaikh.” Maka jawabku, “Aku sudah lemas tidak sanggup lagi..” Ia bertanya, “Kenapa?” Maka jawabku, “Aku akan berterus terang padamu; sudah dua hari berlalu dan aku belum makan sesuap pun.” Maka katanya, “Ini masih ada satu dinar, akan kuberikan setengahnya padamu atau yang setengahnya lagi kau ambil sebagai upah.” Maka kamipun meninggalkan kota Basrah setelah kuambil darinya setengah dinar.”
Begitu cintanya para ulama terdahulu pada ilmu syar’I hingga mereka rela mengorbankan jiwa dan raga karena bagi mereka ilmu syar’I merupakan harta yang sangat berharga dan permata yang mahal. Ketika para salaf memahami hal ini, mereka merasa rugi jika tidak mendapatkannya atau bersedih karena kehilangan sesuatu yang berkaitan dengan ilmu syar’i. Sebagaimana mereka merasa rugi karena kehilangan anak, istri dan hartanya. Abu Ali Al-Farisi berkata, “pernah terjadi kebakaran di Baghdad yang menghanguskan semua kitab saya, Padahal saya menuliskannya dengan tangan saya sendiri. Selama dua bulan saya tidak bisa berbicara dengan seorangpun karena diselimuti rasa sedih dan bingung. Saya terus menerus sedih dan bingung.”
Mempelajari perjuangan para ulama dalam menuntut ilmu akan menyalakan semangat yang padam kembali membara. Perjuangan mereka yang tak kenal lelah dan segala keterbatasan mereka baik moril maupun materil dalam menuntut ilmu telah menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mulia dari kalangan kaum Muslimin hingga saat ini. Para ulama salaf telah memberikan contoh yang baik dan teladan yang agung tentang bagaimana bersemangat dalam menuntut ilmu, meraihnya serta merindukannya. Mereka mengembara keluar dari negerinya dengan membawa bekal seadanya dan meninggalkan kenikmatan berkumpul bersama keluarga untuk berburu ilmu pada para ulama tanpa mengenal batas dimensi ruang dan waktu.
Kisah-kisah para ulama ketika menuntut ilmu merupakan pelajaran bagi kita sebagaimana dalam firman Allah, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf: 111)
Jika motivasi kita mulai melemah ketika menuntut ilmu, maka ada baiknya kita menengok kisah-kisah para ulama besar sehingga menumbuhkan kembali motivasi kita dalam menuntut ilmu syar’I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar