BERPUASA, BER'IDUL FITRI DAN IDUL ADHA BERSAMA PEMERINTAH, BUKAN BERSAMA ORGANISASI TERTENTU


BERPUASA, BER'IDUL FITRI DAN IDUL ADHA BERSAMA PEMERINTAH,
BUKAN BERSAMA ORGANISASI TERTENTU 1

Puasa Ramadhan maupun Sholat Idul Fithri / Idul Adha, adalah satu ibadah dalam Islam yang tidak sekedar ibadah, namun mempunyai nilai SYI’AR sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada masa beliau, para shahabat dan kurun para ulama salaf. Maka dalam hal ini, salah satu hal yang dilazimi para generasi salafush-sholeh (generasi terdahulu yang sholeh) tersebut, adalah bahwa penetapan awal Ramadhan, Syawwal, Dzulhijjah atau lainnya ditetapkan oleh Pemerintah (Pemimpin Negeri / waliyyul amr), dan bukan oleh individu maupun kelompok individu. Selain untuk menjaga Syi’ar Islam, juga sebagai bentuk ketaatan kaum muslimin kepada Pemerintah, sesuai perintah Nabi shallallahu alaihi wasalla.
Perlu diketahui oleh segenap kaum muslimin, bahwa sejak zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Khulafaur Rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu anhum serta penguasa-penguasa kaum muslimin lainnya, bahwa Idul Fitri (demikian pula Ramadhan maupun Idul Adha) selalu ditetapkan oleh para Waliyyul Amr (penguasa kaum muslimin). Mengapa demikian? karena puasa Ramadhan -- demikian pula Idul Fitri dan 'Idul Adha -- adalah ibadah yang bersifat kolektif bersama seluruh kaum muslimin.
Sabda Nabi shallallahualaihi wasallam :
"Puasa itu pada hari (ketika) kalian semua berpuasa, Idul Fitri adalah pada hari ketika kalian semua ber-Idul Fitri, dan Idul Adha adalah ketika kalian semua beridul adha" (Hadits Riwayat Tirmidzi dalam "Sunan”-nya no : 633 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam "Silsilah ash-shahihah” no : 224).
Menurut penuturan shahabat Anas bin Malik radliyallahu anhu, bahwa suatu ketika seorang a’rob (arab pedalaman) datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan menyampaikan bahwa dirinya telah melihat hilal (awal bulan Ramadhan), maka setelah Nabi shallallahu alaihi wasallam meminta persaksiannya (dengan syahadat, untuk membuktikan keislamannya), Beliau shallallahu alaihi wasallam memanggil Bilal dan berkata :
Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (orang-orang), bahwa besok mereka sudah bisa berpuasa (Ramadhan)(Hadits Riwayat al-Khomsah, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dalam “Subulussalaam” hal. 153).
Hadits pertama adalah arahan dari Nabi kita yang Mulia shallallahu alaihi wasallam, bahwa pelaksanaan ibadah Puasa Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, tidak sekedar berpuasa atau sholat Ied, namun harus dilaksanakan serentak oleh kaum Muslimin di suatu negeri, dan pengejawantahannya tidak ada lain adalah diwakili oleh Pemerintah negeri tersebut (Kecuali jika pemerintah suatu negeri tidak mengatur masalah ini, maka pelaksanaan syi’ar bisa saja oleh jamaah / organisasi / forum kaun muslimin di negeri tsb).
Mengapa para shahabat tidak secara individual atau berkelompok masing-masing berusaha melihat (membuktikan) adanya hilal? Mengapa penyaksi hilal tidak menetapkan untuk dirinya sendiri, akan tetapi melaporkannya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam? Mengapa Nabi shallallahu alaihi wasallam harus mengumumkannya (melalui Bilal)? Hal tersebut Semata-mata membuktikan bahwa penetapan awal Ramadhan / Syawwal / Dzulhijjah adalah kewenangan pemimpin (pemerintah suatu negeri), demi tegaknya Syi’ar Islam.
Hal ini telah dijelaskan pula oleh para Shahabat (yang notabene manusia yang paling faham terhadap Islam dari siapapun di dunia ini selain Nabi shallallahu alaihi wasallam hingga akhir dunia) maupun para ulama salaf yang sholeh dan tsiqoh (terpercaya) sebagai berikut :

Aisyah radhiyallahu anha berkata :
"Hari Raya Qurban adalah ketika manusia (orang banyak) berkorban dan hari Idul Fitri adalah ketika manusia (orang banyak) ber-Idul Fitri"
Setelah membawakan hadits di atas, Imam At-Tirmidzi berkata :
"Sebagian ulama mentafsirkan hadits ini dengan mengatakan, makna hadits ini bahwasanya puasa dan Idul Fitri dilaksanakan bersama jama'ah dan mayoritas umat Islam".
Ash-Shan'ani berkata :
"(Dalam) hadits ini terdapat dalil bahwasanya ketetapan Ied akan dianggap sah, jika sesuai dengan seluruh kaum muslimin dan bahwasanya seorang yang secara sendirian mengetahui hari Id dengan melihat (hilal), wajib baginya menyesuaikan dengan yang lainnya, dan merupakan kelaziman baginya hukum mereka dalam shalat, berbuka dan berqurban” (Subulussalam 2462).
Dalam "Hasyiyah Ibnu Majah" Abu Hasan as-Sindi berkata, setelah menyebut hadits di atas : "Yang tampak dari makna hadits ini bahwasanya hal-hal seperti ini (penentuan awal puasa, Idul Fitri dan Idul Adha) bukan urusan perorangan dan mereka tidak bisa berbuat secara sendirian, akan tetapi urusannya diserahkan kepada penguasa pemerintah (jama'ah kaum muslimin), dan wajib bagi perorangan mengikuti pemerintah dan jama'ah kaum muslimin"
Nyatalah bahwa tidak ada dalil baik dari al-Qur'an, hadits Nabi shallallahualaihi wasallam, contoh, pendapat maupun ijma' ulama salaf yang shaleh dari kalangan Sahabat, Tabi'in dan Tabi' Tabi'in bahwa penentuan awal puasa Ramadhan, Idul Fitri / Idul Adha di tangan organisasi.
Kenyataan itu (penetapan oleh Organisasi) di Indonesia, menjadikan terpecahnya Syi’ar Islam, dan tidak sedikit membuat ummat yang awam menjadi ragu (waswas), bahkan sampai ada yang terpaksa berpuasa mendahului Ramadhan utk berjaga2 jika ternyata ‘ijtihad’ mereka salah (padahal puasa mendahului Ramadhan ini adalah diharamkan oleh Nabi).
Bukankah organisasi kami juga ada pemimpinnya atau bahkan dewan syariah / fatwa yg dapat menentukan awal puasa? Ketahuilah bahwa pemimpin organisasi adalah pemimpin (baca: waliyyul amri) SEMU bagi kaum muslimin, karena disamping kalangan mereka adalah hanya sekelompok (bukan seluruhnya) kaum muslimin, namun juga urusan mereka bukanlah urusan haqiqi kenegaraan yag mengurus segala urusan kaum muslimin, sehingga penentuan awal Ramadhan / Iedul Fithri oleh mereka yang berbeda dengan penentuan oleh Pemerintah yang haqiqi, adalah bentuk pemecah-belahan dan pemadaman syiar Islam. Dan tidak seorangpun shahabat Nabi Saw maupun Ulama Salaf mencontohkannya di masa sepeninggal Nabi.
Lalu bagaimana sebaiknya? Alhamdulillah, di negeri kita (Indonesia) Pemerintah berkenan mengatur permasalahan ini (penetapan Ramadhan/Syawwal), dan kita sebagai kaum Muslimin dan rakyat yang berpegang pada Sunnah Rasulullah SAW, hanya tinggal menunggu dan mengikuti Penetapan (itsbat) Pemerintah kita, dan kita dapat beribadah dengan tenang. Syiar Islam pun tegak kokoh sebagaimana dikehendaki oleh Nabi shallallahu alihin wa sallam.
Semoga Allah meberikan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita, sehingga kita bisa melaksanakan Puasa / Ied dengan Syi’ar sebagaimana dikehendaki Rasulullah SAW.

1)       Foot Note :
Sumber utama : artikel al-Ustadz Mubarak Bamuallim, LC (Dosen ST-AI Ali bin Abi Thalib, Surabaya)
Ditulis / diedit kembali oleh Abu Muhammad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>