Oleh Ali Wafa Abu Sulthon
Al-Khathib
Al-Baghdadi rahimahullahu berkata:
“Semestinya seorang penuntut ilmu memulai dengan menghafal Kitabullah, di mana
itu merupakan ilmu yang paling mulia dan yang paling utama untuk didahulukan
dan dikedepankan.”
“Tidaklah seorang hamba menahan sesuatu yang lebih besar daripada menahan
al-hilm (kesantunan) di kala marah dan menahan kesabaran ketika ditimpa
musibah.”
(Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 62)
Wahai
saudaraku, hendaknya engkau memiliki pekerjaan dan penghasilan yang halal yang
kamu peroleh dengan tanganmu. Hindari memakan atau mengenakan kotoran-kotoran
manusia (maksudnya pemberian manusia -ed). Karena sesungguhnya orang yang
memakan kotoran manusia, permisalannya laksana orang yang memiliki sebuah kamar
di bagian atas, sedangkan yang di bawahnya bukan miliknya. Ia selalu dalam
ketakutan akan terjatuh ke bawah dan takut kamarnya roboh. Sehingga orang yang
memakan kotoran-kotoran manusia akan berbicara sesuai hawa nafsu. Dan dia
merendahkan dirinya di hadapan manusia karena khawatir mereka akan menghentikan
(bantuan) untuknya.
(kitab Mawa’izh Lil Imam Sufyan Ats-Tsaury, hal. 82-84)
Abu ‘Ubaidah
meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu bahwasanya beliau berkata:
“Termasuk tanda-tanda berpalingnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dari seorang hamba
adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kesibukannya dalam perkara-perkara
yang tidak berguna bagi dirinya.”
Di antara sebab
terbesar yang membantu seseorang untuk tetap giat menuntut ilmu, memahaminya
dan tidak jemu, adalah memakan sedikit dari sesuatu yang halal.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku tidak pernah kenyang semenjak
16 tahun lalu.
Abdullah bin
‘Athiyah berkata:
“Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam agama kecuali Allah akan mencabut
dari mereka satu Sunnah yang semisalnya. Dan Sunnah itu tidak akan kembali
kepada mereka sampai hari kiamat”.
Al-Hafizh
An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Yang pertama kali dimulai adalah menghafal Al-Qur’an yang mulia, di mana itu
adalah ilmu yang terpenting di antara ilmu-ilmu yang ada. Adalah para salaf
dahulu tidak mengajarkan ilmu-ilmu hadits dan fiqih kecuali kepada orang yang
telah menghafal Al-Qur’an. Apabila telah menghafalnya, hendaklah waspada dari
menyibukkan diri dengan ilmu hadits dan fiqih serta selain keduanya dengan
kesibukan yang dapat menyebabkan lupa terhadap sesuatu dari Al-Qur’an tersebut,
atau waspadalah dari hal-hal yang dapat menyeret pada kelalaian terhadapnya
(Al-Qur’an).”
(An-Nubadz fi Adabi Thalabil ‘Ilmi hal. 60-61)
Pembaca yang dirahmati Allah, telah kita ketahui bersama tentang
pentingnya “tafaqquh fid diin“. Terlebih lagi di zaman sekarang, ilmu agama
semakin sedikit orang yang mempelajarinya, sehingga yang banyak adalah
orang-orang jahil namun mengaku berilmu. Ilmulah yang akan melindungi kita dari
badai fitnah yang terus melanda.
Tidak diragukan lagi bahwa menuntut ilmu syar’i merupakan amal yang
sangat mulia, bahkan ganjaran bagi orang yang menuntut menuntut ilmu sama
halnya dengan orang yang pergi berjihad di jalan Allah sampai ia kembali.
Namun perbuatan yang mulia ini, jika tidak diiringi dengan metode
belajar yang benar, akan menjadi tidak teratur dan semrawut, serta hasil yang
didapat pun tidak akan maksimal. Maka dari itu sangat penting bagi setiap
penuntut ilmu untuk memperhatikan bagaimanakah cara belajar yang semestinya
ditempuh.
Dalam menuntut ilmu sangat dibutuhkan kesabaran. Seseorang yang
tidak sabar dalam menuntut ilmu, kerapkali berbuntut pada kebosanan dan dan
akhirnya putus di tengah jalan.
Semangatnya begitu membara di awal, tetapi setelah itu padam tanpa
bekas. Apa masalahnya? Di antara masalahnya adalah metode menuntut ilmu yang
tidak tepat, pembelajaran yang tidak berjenjang, dan tidak memprioritaskan
penguatan kaidah dasar.
Semestinya, seseorang mengambil ilmu sedikit demi sedikit sesuai
dengan kadar kemampuannya, tentu saja disertai dengan semangat juang yang
tinggi. Seseorang yang menuntut ilmu ibarat menaiki sebuah tangga.
Untuk bisa mencapai bagian puncak dari tangga tersebut, maka dia
harus memanjat dari bawah terlebih dahulu. Jika ia memaksakan untuk langsung
menuju puncak, maka niscaya dia tidak akan mampu atau akibatnya dia akan
celaka.
Ketahuilah, jika seseorang tergesa-gesa dalam menuntut ilmu,
niscaya dia justru akan kehilangan seluruhnya, karena ilmu didapat seiring
dengan berjalannya siang dan malam, setahap demi setahap dengan penuh
kesabaran, bukan sekali dua kali duduk di manjelis atau sekali dua kali baca.
ibadah
yang agung dan utama adalah menuntut ilmu syar’i. Adapun ilmu syar’i adalah
firman-firman Allah dan sabda-sabda Rasul-Nya.
Sesungguhnya
menuntut ilmu merupakan di antara amalan pendekatan diri kepada Allah yang
paling utama yang seorang hamba dapat mendekatkan diri dengan amalan tersebut
kepada Rabbnya, dan termasuk ketaatan yang paling baik yang akan mengangkat
kedudukan seorang muslim dan meninggikan derajatnya di sisi Allah Ta’ala.
Dan
sungguh Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar berilmu dan belajar,
tafakkur (memikirkan ayat-ayat-Nya yang syar’iyyah yaitu Al-Qur`an dan Sunnah
Rasulullah dan ayat-ayat-Nya yang kauniyyah yaitu alam semesta ini), tadabbur
(memikirkan akibat-akibat dari amalan-amalan yang dikerjakannya); dan
memperingatkan dari kebodohan dan mengikuti hawa nafsu; serta menerangkan
bahwasanya ilmu yang akan memberikan manfaat bagi pemiliknya pada hari kiamat
adalah ilmu yang seorang hamba mengikhlashkan padanya untuk penolongnya yaitu
Allah; dan dia mengharap untuk mendapatkan ridha-Nya di dalam menuntut ilmu
tersebut, serta beradab dengan adab Islam dan berakhlak dengan akhlaknya
pemimpin manusia yaitu Rasulullah yang akhlaknya adalah Al-Qur`an.
Oleh
karena itulah, perhatian Rasulullah dalam mengajarkan adab kepada para
shahabatnya tidaklah mengurangi perhatian beliau dalam mengajarkan ilmu kepada
mereka, demikian juga perhatian beliau dalam mendidik dan mensucikan /
membersihkan jiwa-jiwa mereka tidaklah mengurangi perhatian beliau dalam
menjelaskan dan menerangkan hukum-hukum Islam kepada mereka.
Maka
bisa disimpulkan bahwa ilmu tanpa disertai adab tidak akan bermanfaat dan ilmu
yang tidak disertai dengan jiwa yang bersih dan suci sungguh akan menghujat
pemiliknya pada hari kiamat, pada hari tidak akan bermanfaat harta maupun
anak-anak kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat / lurus.
Dan
dari sini muncullah perhatiannya Salafush shalih dengan mendidik para penuntut
ilmu dan membersihkan jiwa-jiwa mereka serta mengobati penyakit-penyakit hati
mereka, sehingga mereka (salafush shalih) memberikan adab kepada para penuntut
ilmu sebelum memberikan ilmu itu sendiri, dan mengawasi keadaan-keadaan mereka
layaknya seorang dokter yang mengobati pasien, maka dia akan mencari seluruh
obat yang bermanfaat untuk pasiennya tersebut sampai dia bangkit dari
kelemahannya dan sembuh dari sakitnya.
Dan
tidaklah mengherankan apabila kita mendapatkan berpuluh-puluh tulisan yang
telah ditulis oleh para ulama yang mulia ini yang membicarakan akhlak-akhlak
seorang penuntut ilmu dan adab-adabnya, serta metode mendidik para pelajar dan
memberikan adab kepada mereka, sehingga keluarlah melalui tangan-tangan mereka
generasi-generasi yang diberkahi yang membawa ilmu yang disertai dengan
pengamalan dan penerapan adab-adabnya, di mana mereka menerapkan ilmu tersebut
dengan sebaik-baiknya, sehingga terbentuklah masa depan Islam yang dianggap
sebagai kebanggaan ummat, dan semakin jelaslah kewibawaan para ulama dan
kedudukan mereka, melebihi kedudukan para penguasa, dan jadilah kemuliaan ilmu
dan ulama sebagai sifat yang jelas dan nampak di tengah-tengah masyarakat muslimin.
Keadaan
seperti itu terus berlangsung pada beberapa generasi sampai muncullah
kemerosotan dan melemahlah kewibawaan para ulama (atau yang dianggap ulama
-pent) ketika rasa khasy-yah (takut kepada Allah yang diserta ilmu) yang ada
pada hati-hati ulama tersebut melemah serta ketika para ulama berpaling menuju
keramaian ahli dunia dan berebutan mendapatkan perhiasannya serta
berlomba-lomba menuju kemegahan padanya.
Dan
kita bisa saksikan pada saat sekarang, banyak dari para penuntut ilmu berpaling
dari adab yang dipraktekkan Salafush shalih dalam kaitannya dengan adab mencari
ilmu, dan kita juga bisa perhatikan, bagaimana para penuntut ilmu
berlomba-lomba mendapatkan ijazah dan gelar ilmiyyah dalam rangka mencari
kedudukan sosial di tengah-tengah manusia, dan untuk mendapatkan pekerjaan yang
dengannya akan diperoleh harta.
Demikianlah,
ilmu menjadi perantara bukan tujuan, sehingga para penuntut ilmu ini
mencukupkan diri dengan ilmu yang didapatinya di universitas-universitas,
mereka hanya sekedar ingin mendapatkan ijazah, dan kebanyakan mereka berhenti
dari mencari ilmu setelah lulus.
Dan
yang lebih jelek dari itu adalah mereka menyangka bahwa gelar ilmiyyah yang
mereka dapatkan akan menjadikan mereka sebagai para ulama dan mengantarkan
mereka kepada tingkatan fuqaha, yang sebenarnya sedikitpun mereka tidak
termasuk fuqaha, dalam keadaan apa yang mereka dapatkan dari ilmu dan
pengkhususan mereka pada ilmu tidaklah menjadikan mereka menguasai satu
bagianpun dari ilmu tersebut.
Dari
kenyataan seperti inilah, maka wajib bagi para penuntut ilmu agar saling
menasehati antar sesama mereka dan agar saling mengingatkan antara satu dengan
lainnya dengan khasy-yah kepada Allah yang tidak tersembunyi sesuatupun
dari-Nya, dan beradab dengan adab-adab yang utama yang tidak boleh bagi orang
yang berilmu dan penuntut ilmu kosong darinya.
Wahai saudaraku, kebutuhan kita terhadap ilmu sangatlah besar.
Tidak ada diantara kita yang tidak butuh ilmu. Oleh karena itulah Al-Imam Ahmad
bin Hambal rahimahullah
berkata :
الناس محتاجون إلى
العلم أكثر من حاجتهم إلى الطعام و الشراب لأن الطعام والشراب يحتاج إليه في اليوم
مرة أو مرتين والعلم يحتاج إليه بعدد الأنفاس
“Manusia membutuhkan ilmu lebih banyak dari pada butuhnya pada
makanan dan minuman, dikarenakan kebutuhan seseorang terhadap makanan dan
minumam dalam sehari sekali atau dua kali. Dan kebutuhan manusia terhadap ilmu
sebanyak tarikan nafas.” Apalagi kita hidup di masa-masa menyebarnya kebodohan, kesesatan
dan penyimpangan. Oleh karena itu kebutuhan kita kepada ilmu sangatlah mendesak.
Yaitu ilmu yang dimaksud disini adalah ilmu syar’i, ilmu tentang mengenal
Allah, agama islam dan nabi-Nya Muhammad shallallahu alihi wasallam. Maka dari
itu kita harus tetap semangat menuntut ilmu dalam keadaan apapun. Karena
kebutuhan kita yang sangat kepada ilmu dan kita berharap mendapatkan berbagai
keutamaan orang yang menuntut ilmu syar’i.
Ilmu syar’i mempunyai banyak keutamaan diantaranya :
1. Allah Subhaanahu wata’aala akan mengangkat derajat orang yang
berilmu
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman :
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ
آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.“ (QS.
Al-Mujadilah : 11)
2. Ilmu adalah warisan para nabi barangsiapa yang mengambilnya maka
dia telah mendapat keuntungan yang sangat besar. Sebagaimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إن الأنبياء لم يورثوا
دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ بحظ وافر
“Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan uang dinar dan tidak
pula uang dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang
mengambilnya, dia telah mendapatkan keuntungan yang bsar.” (HR. Abu Dawud
dan At-Timidzi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
3. Jika Allah mengkhendaki kebaikkan seorang hamba maka Allah akan
memberikan pemahaman agama kepadanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ
بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“ Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikkan pada dirinya
maka Allah akan pahamkan dia dalam agama.” (HR. Bukhari dari Shahabat Mua’wiyah)
4. Allah akan memudahkan bagi orang yang menuntut ilmu jalannya
menuju surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا
يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang menumpuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan
menudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
5. Ilmu kebaikkannya akan tetap ada walaupun orangnya sudah mati.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ
انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ
عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalannya kecuali
tiga perkara, yaitu : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang
shalih yang mendoakannya (kedua orang tuanya).” (HR. Muslim)
Dan sebaliknya kebodohan dalam masalah agama mempunyai dampak jelek
yang luar biasa. Tentang hal ini Allah Subhaanahu wata’aala berfirman dalam
banyak ayat diantaranya :
قُلْ أَفَغَيْرَ
اللهِ تَأْمُرُونِي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ
“ Katakanlah: maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah,
hai orang- orang yang tidak berpengetahuan.? “ ( Qs. Az- zumar: 64)
قَالُوا يَا مُوسَى
اجْعَل لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
“ Bani Israill berkata: Wahai Musa buatlah untuk kami sebuah
sesembahan ( berhala) sebagai mana mereka mempunyai beberapa sesembahan (
berhala). Musa menjawab : “ sesungguhnya kamu itu kaum yang tidak mengetahui
(bodoh terhadap Allah)…” (Qs.
Al A’raaf : 138 )
Berkata Asy Syaikh Al Allamah Abdurahman As Sa’di Rahimahullah : “ Kebodohan
mana yang lebih besar dari seseorang yang bodoh terhadap Rabbnya, Penciptanya
dan ia ingin menyamakan Allah dengan selain Nya, dari orang yang tidak dapat
memberikan manfaat dan mudharat (bahaya), tidak mematikan, tidak menghidupkan
dan tidak memiliki hari perkumpulan (kiamat) “ (Taisirul
Karimirrahman Syaikh Al Allamah Abdurahman As Sa’di pada ayat ini)
Dan dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ
خَرَجْنَا فِى سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِى رَأْسِهِ ثُمَّ
احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِى رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ
فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ
فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أُخْبِرَ بِذَلِكَ
فَقَالَ « قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلاَّ سَأَلُوا
إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ
أَنْ يَتَيَمَّمَ
“Dari Jabir berkata: “Kami keluar pada sebuah perjalanan, lalu salah seorang diantara
kami tertimpa sebuah batu sampai melukai kepalanya kemudian ia mimpi basah lalu
bertanya kepada para shahabatnya, apakah kalian mendapatkan rukhsah
(keringanan) bagiku untuk bertayamum? Mereka menjawab : ‘kami tidak mendapatkan
rukhsah untukmu, sedangkan engkau mampu menggunakan air. Kemudian ia mandi
besar sehingga meningal dunia. Kemudian tatkala sampai kepada Rasulullah
shallallahu ‘alihi wasallam, kejadian tersebut dikhabarkan kepada beliau. Maka
beliau bersabda : “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membinasakan mereka.
Mengapa mereka tidak bertanya, bila mereka tidak mengetahui. Karena
sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya.” (HR. Abu Dawud,
di Hasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Abu Dawud : 2/159)
Lihatlah bagaimana kebodohan seseorang menjadi sebab hilangnya
nyawa orang lain.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullaah :
ولا ريب ان
الجهل اصل كل فساد وكل ضرر يلحق العبد في دنياه واخراه فهو نتيجة
“Tidaklah diragukan bahwasanya kebodohan adalah pokok dari segala
kerusakan dan dhoror (bahaya), kejelekan yang didapatkan oleh seorang hamba di
dunia dan di akhirat adalah dampak dari kebodohan.” (Miftaah Daaris
Sa’adah, 1/87)
Wahai saudaraku semoga Allah senantiasa mengaruniakan kepada kita
nikmat menuntut ilmu syar’i. -Amin-. Ada hal yang sangat penting untuk di
perhatikan dalam menuntut ilmu. Diantarannya :
1. Memohon pertolongan, taufiq dan kekokohon kepada Allah Ta’aala
dalam menuntut ilmu.
Manusia adalah makhluk yang sangat lemah, tidak ada daya dan upaya
kecuali karena pertolongan Allah Subhaanahu wata’ala. Oleh karena itu mohonlah
pertolongan kepada Allah dalam menuntut ilmu.
Allah Subhaanahu wata’ala berfirman
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang Kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah
Kami meminta pertolongan.” (Qs.
Al-Fatihah : 5).
2. Mengikhlaskan niat
Hendaknya seseorang mengikhlaskan niatnya dalam menuntut ilmu dalam
rangka mencari ridha Allah semata dan bukan karena yang lainnya. Bukan karena
mencari ketenaran atau agar dihormati orang atau mencari dunia.
Allah Subhaanahu wata’ala berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (Qs.
Al-Bayyinah : 5)
قُلْ إِنَّمَا أَنَا
بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ
يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ
رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Qs. Al-Kahfi : 110)
3. Belajar dari guru bukan dari kitab
Ilmu di ambil dari lisannya para ulama. Dari para guru bukan dari
kitab. Karena barangsiapa yang menjadikan kitab-kitabnya sebagai guru niscaya
akan banyak kekeliruannya. Begitu juga belajar dari orang yang dikenal aqidah
dan manhajnya.
Berkata Al-Imam Ibnu Siriin rahimahullah :
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ
دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Sesunguhnya ini ilmu agama maka perhatikanlah oleh kalian dari
siapa kalian mengambil agama kalian.”
4. Besungguh-sungguh dan berkesinambungan dalam menuntut ilmu
Seseorang hendaknya bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam
menuntut ilmu, dari menghadiri majelis ilmu, menghapalnya dan memuroja’ahnya
(mengulang-ngulangnya). Dan berkesinambungan dalam menuntut ilmu tidak terputus
ditengah jalan. Karena dengan bersungguh-sungguh dan tidak terputus ditengah
jalan sebab seseorang berhasil dalam menuntut ilmu.
5. Waktu Yang Panjang
Menuntut ilmu membutuhkan waktu yang panjang tidak cukup sebulan
dua bulan atau setahun dua tahun tetapi butuh waktu yang panjang.
6. Menjaga Ibadah
Perkara menjaga ibadah adalah perkara yang sangat penting yang
tidak boleh di lalaikan oleh seseorang penuntut ilmu. Dari menjaga shalat
jama’ah, shalat rawatib, shalat witr, dzikir sehabis shalat dan ibadah lainnya.
Karena dengan ibadah hati kita bisa tentram. Jangan sampai kesibukkannya muraja’ah,
menghapal dan yang lainnya menyibukkan ia dari beribadah kepada Allah Ta’aala.
7. Shabar
Maksudnya adalah agar ia bershabar dalam menuntut ilmu. Bershabar
akan kesusahan didalam menuntut ilmu, bershabar dengan rasa lelah, capek
dan rasa lapar dalam menuntut ilmu.
وَاصْبِرُوا إِنَّ
اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“ Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar.” (Qs.
Al-Anfaal : 46)
وَاصْبِرْ وَمَا
صَبْرُكَ إِلَّا بِاللهِ
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu
melainkan dengan pertolongan Allah.” (Qs An-Nahl :
127)
8. Beradab dengan gurunya
Diantara adab dan etika yang perlu diperhatikan oleh penuntut ilmu
adalah beradab dengan syaikhnya, beradab dengan gurunya. Menghormati, tawadhu
dan menghargai gurunya dan adab-adab baik yang lainnya.
Itu diantara hal yang perlu diperhatikan bagi seseorang yang
menuntut ilmu syar’i, semoga Allah senantiasa mengaruniakan kepada kita untuk
selalu menuntut ilmu syar’i.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar