Dakwah tauhid yaitu menyeru kepada Alloh, mengesakannya, meniadakan sesembahan yang
lain, menetapakan Alloh Azza wa jalla yang berhak disembah dengan sesuai
syareat- Nya baik yang telah diperintahkan oleh Alloh dalam Al Qur’an dan As
sunnah sesuai pemahaman para shahabat radhiyallohu anhum karena mereka adalah
Para Pengikut Tauhid yang murni dimana langsung diajarkan rasululloh
Shallallohu alaihi wasallam , mentauhidkan Alloh dengan apa yang Alloh telah
syareatkan dengan ikhlash kepada Alloh mengharap pahala dan berlindung kepada
Alloh dari Adzab-Nya .
Tidaklah benci dakwah tauhid kecuali orang- orang yang menolak keesaan
Alloh Azza wajalla, baik secara individu maupun kelompok, sungguh jaman NOW,
kini orang – orang sibuk mencari dalih – dalih ketika dakwah tauhid
dikumandangkan oleh seorang Da’i atau ustadz, dongkol hatinya, gerah jiwanya
karena Gersang dengan Siraman Tauhid.
Allah -Subhanahu
wa Ta’ala- berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِيْ أَدْعُوْا إِلَى اللهِ عَلَى
بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآ أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِيْنَ. - يوسف: 108
"Katakanlah
(Muhammad): “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah dan aku bukanlah
termasuk orang-orang yang musyrik." (Yusuf: 108)
Imam Abu
Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa
Allah Ta’ala telah memerintahkan nabi-Nya untuk menyatakan inilah dakwah dan
jalan yang aku menyeru dan berpijak di atas-nya, yaitu menyeru manusia untuk
berTauhdi, dan beribadah hanya kepada-Nya semata, yang berujung pada ketaatan
kepadaNya dan tidak bermaksiat kepadaNya. Aku dan orang-orang yag mengikutiku
menyeru hanya kepada Allah dengan hujjah yang dibimbing di atas ilmu dan
keyakinan.
Sesungguhnya berdakwah kepada tauhid dan manhaj salaf ash-shalih itulah
yang mampu menyatukan kalimat, dan menyatukan barisan (kaum muslimin)
sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا
وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang teguhlah dengan tali Allah secara keseluruhan, dan jangan
kalian berpecah-belah.” [ali-Imran/3: 103]
Dan firman-Nya:
إِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً
وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
“Sesungguhnya ini adadalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah
Rabbmu, maka beribadahlah kepadaKu.” [al-Anbiya/21: 92]
Maka tidak mungkin kaum muslimin bisa bersatu kecuali di atas kalimat
tauhid dan manhaj salaf, karena apabila mereka dibolehkan memilih manhaj-manhaj
yang menyelisihi manhaj salaf maka bercerai berai dan berselisihlah mereka,
sebagaimana kenyataannya demikian.
Siapa yang menyeru kepada tauhid dan manhaj salaf, itulah orang yang
menyeru kepada persatuan, sedangkan orang yang menyeru (umat) untuk menyelisihi
manhaj salaf maka dialah yang menyeru kepada perpecahan dan perselisihan.
Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutus para Rasul dengan tujuan yang sama, yaitu
membumikan Tauhid. Menjadikan Allah Ta’ala satu-satunya yang berhak di ibadahi.
Allah Ta’ala berfirman :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ
اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan) : Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut”. (An-Nahl: 36).
Para Rasul yang diutus Allah Ta’ala untuk menegakkan Tauhid, mendapatkan
penolakan dan pengingkaran dari orang-orang sesat yang buta mata hatinya.
Penolakan mereka kepada dakwah Tauhid dari semenjak dahulu hingga hari ini
ternyata dalih (argumen) mereka sama. Yakni tidak relanya mereka meninggalkan
adat istiadat, tradisi yang sudah turun temurun mereka dapatkan dari nenek
moyang mereka yang dengan setianya sudah mereka amalkan. Dan mereka enggan
untuk meninggalkannya.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan risalah kepada
kaumnya, orang-orang Quraisy. Mereka yang menolak seruan Rasulullah berkata
sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qur’an,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ
كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ
Dan apabila dikatakan kepada mereka : “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”
Mereka menjawab : “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati
bapak-bapak kami mengerjakannya”. (Q.S Luqman: 21).
Perkata’an orang-orang kafir Quraisy yang menolak dakwah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sama persis dengan perkata’an kaum-kaum terdahulu
yang menolak dakwah Tauhid yang diserukan para Rasul yang di utus kepada mereka.
Mereka berkata sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an,
إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا
عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ
”Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu tradisi, dan
sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak
mereka (nenek moyang)”. (Az-Zukhruf: 22).
Wajib bagi orang beriman untuk mencintai tauhid dan membenci syirik.
Mencintai ahli tauhid dan membenci ahli syirik. Inilah ajaran para nabi dan
rasul kepada umatnya. Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh
telah ada teladan yang baik untuk kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami
berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami
mengingkari kalian, dan
telah jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan
kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian mau beriman kepada Allah
saja…”(QS. al-Mumtahanah: 4).
Konsekuensi dari hal itu juga adalah dengan mencintai
Nabi karena beliaulah orang yang menjadi pemimpin umat yang bertauhid. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Anas Radhiallahu’anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
"لا
يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده ووالده والناس أجمعين".
“Tidak sempurna iman seseorang di
antara kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya,
dan manusia seluruhnya”.
Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhori
dan Muslim dari Anas Radhiallahu’anhu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda :
"ثلاث
من كن فيه وجد بهن حلاوة الإيمان : أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما، وأن
يحب المرء لا يحبه إلا لله، وأن يكره أن يعود في الكفر بعد أن أنقذه الله منه كما
يكره أن يقذف في النار". وفي رواية : " لا يجد أحد حلاوة الإيمان حتى
... إلى آخره.
“Ada tiga perkara, barang siapa terdapat
di dalam dirinya ketiga perkara itu, maka ia pasti mendapatkan manisnya iman,
yaitu : Allah dan RasulNya lebih ia cintai dari pada yang lain, mencintai
seseorang tiada lain hanya karena Allah, benci (tidak mau kembali) kepada
kekafiran setelah ia diselamatkan oleh Allah darinya, sebagaimana ia benci
kalau dicampakkan kedalam api”.
Dan disebutkan dalam riwayat lain :
“Seseorang tidak akan merasakan manisnya iman, sebelum …”dst.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, bahwa ia berkata :
"من
أحب في الله، وأبغض في الله، ووالى في الله، وعادى في الله، فإنما تنال ولاية الله
بذلك، ولن يجد عبد طعم الإيمان وإن كثرت صلاته وصومه حتى يكون كذلك، وقد صار عامة
مؤاخاة الناس على أمر الدنيا، وذلك لا يجدي على أهله شيئا" رواه ابن جرير.
“Barangsiapa yang mencintai seseorang
karena Allah, membenci karena Allah, membela Karena Allah, memusuhi karena
Allah, maka sesungguhnya kecintaan dan pertolongan Allah itu diperolehnya
dengan hal-hal tersebut, dan seorang hamba tidak akan bisa menemukan lezatnya
iman, meskipun banyak melakukan sholat dan puasa, sehingga ia bersikap
demikian. Pada umumnya persahabatan yang dijalin di antara manusia dibangun
atas dasar kepentingan dunia, dan itu tidak berguna sedikitpun baginya”.
Ibnu Abbas menafsirkan firman Allah
Subhanahu wata’ala :
]وتقطعت بهم الأسباب[ قال : المودة.
“ … dan putuslah hubungan di antara
mereka” (QS. Al baqarah, 166)
Suatu ketika, Abdullah putra Abdullah
bin Ubay bin Salul -gembong munafikin- duduk di hadapan Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ketika itu beliau sedang minum. Abdullah berkata kepada
beliau, “Wahai Rasulullah, tidakkah anda sisakan air minum anda untuk kuberikan
kepada ayahku? Mudah-mudahan Allah membersihkan hatinya dengan air itu.” Nabi
pun menyisakan air minum beliau untuknya. Lalu Abdullah datang menemui ayahnya.
Ayahnya pun bertanya kepada sang anak, “Apa ini?”. Abdullah menjawab, “Itu
adalah sisa minuman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku
membawakannya untukmu agar engkau meminumnya. Mudah-mudahan Allah membersihkan
hatimu dengannya.” Sang ayah berkata kepada, “Mengapa kamu tidak bawakan saja
kepadaku air kencing ibumu, itu lebih suci bagiku daripada bekas air minum
itu.” Maka dia -Abdullah- pun marah dan melapor kepada Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Apakah anda mengizinkan aku untuk
membunuh ayahku?”. Nabi menjawab, “Jangan, hendaknya kamu bersikap lembut dan
berbuat baik kepadanya.” (lihat
Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah
al-Ushul, hal. 54)
Wallohu a’lam bisshowwab
Semoga kita semua istiqomah dalam mentauhidkan Alloh dan berada dalam jalan
yang telah ditunjukkan oleh Nabi kita Muhammad shallallohu alaihi wa sallam
Oleh Ali wafa Abu Sulthon As Syamsuri
Selengkapnya...