Oleh ALI WAFA ABU SULTHON
Ambisinya seseorang terhadap jabatan menutupi akal
sehatnya bahkan meredupkan keimanannya kepada Allah Azza wa jalla dimana banyak
orang mengejar jabatan dengan cara-cara
yang diharamkan agama, seperti suap, menzhalimi kompetitornya, membohongi
rakyatnya atau yang lainnya. Sangat mungkin mereka yang melakukannya mengetahui
betul bahwa itu semua diharamkan dan dilarang oleh agama. Lalu mengapa mereka
tetap melakukannya? Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah Maha Melihat?
Apakah mereka tidak meyakini bahwa kelak mereka akan ditanya oleh Allah azza wa
jalla? Ironis dan menyedihkan .
Rasulullah Shollallahu alaihi
wasallam tidaklah memberikan jabatan
kepada orang-orang yang memintanya karena itu adalah tanda ambisiusnya, yang
kebanyakan nafsunya melebihi kemampuannya . Al Hafizh Ibnu hajar mengatakan
bahwa orang yang meminta jabatan dan
diberikan kepadanya maka dia tidak akan dibantu dikarenakan ambisinya. Arti
dari itu adalah bahwa meminta apa-apa yang berkaitan dengan hukum adalah
makruh, termasuk didalam imaroh adalah hakim, pengawas dan lainnya. Dan
bahwasanya siapa yang berambisi dengan hal itu tidaklah akan dibantu.
Selanjutnya Al Hafizh
mengutip hadits Abi Musa,”Sesungguhnya kami tidaklah mengangkat pemimpin dari
orang yang ambisi” karena itu selanjutnya beliau mengungkapkan kata
“pertolongan”. Maka sesungguhnya siapa yang tidak mendapatkan pertolongan dari
Allah didalam amalnya maka amal itu tidaklah cukup oleh karena itu tidak
sepatutnya menyambut permintaannya. Sebagaimana diketahui bahwa kepemimpinan
tidaklah kosong dari kesulitan. Maka barangsiapa yang tidak mendapatkan
pertolongan maka ia akan mendapat kesulitan dan kerugian di dunia dan akherat.
Dan barangsiapa yang memiliki akal maka ia tidaklah bersikeras untuk memintanya
akan tetapi jika ia memiliki kemampuan dan diberikan tanpa memintanya maka
sungguh Rasulullah Shollallahnalaihi wasallam menjanjikan pertolongan-Nya dan didalamnya
terdapat keutamaan.
Dari Sahabat Abu Dzar Al
Ghifari radliallahu ‘anhu. Ia berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar
permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
“Wahai Abu Dzar, engkau
seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada
hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang
mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam
kepemimpinan tersebut.” (HR. Muslim no. 1825)
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Wahai Abu Dzar, aku
memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai untukmu apa yang kusukai untuk
diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan jangan sekali-kali
engkau menguasai pengurusan harta anak yatim.” (HR. Muslim no. 1826)
Al-Imam Nawawi rahimahullah membawakan kedua hadits Abu Dzar di atas dalam
kitab beliau Riyadlus Shalihin, bab “Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan
memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk
memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan”.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin
Samurah :
يَا عَبْدَ الرَّحْمنِ بن سَمُرَةَ لاَ تَسْألِ
الإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَها عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ
عَلَيْهَا وَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأََلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْها
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena
jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah
dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena
permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).”
Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 7146 dengan
judul “Siapa yang tidak meminta jabatan, Allah akan menolongnya dalam
menjalankan tugasnya” dan no. 7147 dengan judul “Siapa yang minta jabatan, akan
diserahkan padanya (dengan tidak mendapat pertolongan dari Allah dalam
menunaikan tugasnya)”.
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 1652 yang diberi
judul oleh Al-Imam An-Nawawi “Bab Larangan meminta jabatan dan berambisi untuk
mendapatkannya”. (dalam
Penjelasan Sahih Muslim, jilid 12, halaman 210)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah: “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk
meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintahkannya dan
melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai
balasannya, ia tidak akan mendapatkan bahagiannya di akhirat. Oleh karena itu
dilarang seseorang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadlus Shalihin, 2/469)
Berkata Al Muhallab
sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135): “Ambisi untuk memperoleh
jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling
membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya
kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh
Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi.”
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan
mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan adzab. Allah subhanahu
wa ta`ala berfirman:
Al-Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: “Allah ta`ala mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu` (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/412)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Makna ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Dzar adalah beliau melarang Abu Dzar menjadi seorang pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yang kuat lagi terpercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan yang didengar/ ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan baginya di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun, sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikitpun. Akan tetapi apabila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah, tidak melampaui batasan-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang hakiki.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/472)
Memang jabatan adalah sesuatu yang sangat menggiurkan setiap manusia. Karena disitulah terdapat kamasyhuran, ketenaran, kehormatan dan kemapanan sosial ekonomi. Karena itu wajarlah ketika Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam menyebutkan bahwa tidaklah dua ekor srigala lapar yang dilepas kepada kerumunan kambing lebih merusak agama daripada ambisi seseorang terhadap harta dan jabatan.” (HR. Tirmidzi) dan Tirmidzi mengatakan,”ini adalah hadits hasan shahih)
Berbeda dengan kisah Nabi Yusuf Alaihissalam sebagaimana penjelasan Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani tentang Kisah Nabi Yusuf dimana Orang yang berdalil dengan kisah masuknya Nabi Yusuf dalam siyasah (pemerintahan) telah tenggelam dalam kesalahan. Yaitu ketika beliau mengatakan:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Berkata Yusuf “Jadikanlah aku bendaharawan negara Mesir sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan"..” (Yusuf: 55)
Padahal beliau tidak memasuki tugas ini kecuali setelah mendapatkan persaksian dari Allah Azza wa jalla. Tertulis pada persaksian tersebut:
“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi sangat berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Ahli balaghah (sastra Arab) dapat membedakan antara kata الْحَافِظُ (yang berarti menjaga) dengan kata الْحَفِيظُ (yang sangat pandai menjaga), juga antara kata الْعَالِمُ(yang berilmu) dengan kata الْعَلِيمُ (yang sangat berpengetahuan). Maka perhatikan hal ini, karena sesungguhnya ini termasuk rahasia-rahasia Al-Qur`an yang penuh hikmah.
Sebagaimana diherankan dari yang lain juga, yang membolehkan diri mereka menerima jabatan politik masa ini –bersamaan dengan apa yang ada di dalamnya berupa sistem parlemen kafir atau jahat– berdalil dengan perbuatan Nabi Yusuf alaihissalam, sembari melalaikan bahwa Nabi Yusuf alaihissalam tidak memintanya. Namun raja itulah yang menawarkannya kepada beliau. Beliau alaihissalam juga tidak menerimanya melainkan ketika raja tersebut menjamin keamanan dan kebebasan baginya. Sehingga tidak ada tekanan, atau ancaman, atau mengorbankan agama, atau tarik ulur, atau tawar menawar, atau adu argumentasi. Oleh karena itu, perhatikan urutannya dalam firman Allah Azza wa Jalla:
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan, karena jika engkau diberi karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong). Namun jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong” (Muttafaqun ‘alaih)
Kami akan menjawab bahwa Nabi Yusuf alahi ssalam telah disebutkan kesuciannya oleh Allah Tabaroka wa Ta’ala dan tidak bekerja kecuali dengan bimbingan Allah. Yakni, semua manusia berlaku padanya kaidah “jika engkau diberi kepemimpinan karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak ditolong) ….” kecuali yang diberi predikat kesucian oleh wahyu yang tidak akan salah. Adapun mereka yang sok pandai pada masa ini, mereka tunduk pada kondisi undang-undang pada hari ini ataupun besok. Bahkan sebelum melaksanakan tugas politik tersebut, mereka harus bersumpah untuk menghormati undang-undang. Dan ini telah terjadi, bahkan kami tidak tahu bahwa selainnya juga telah terjadi. Maka sungguh ajaib orang yang menyingkirkan kekafiran dengan kekafiran.
Maka tersimpulkan dari ketergesaan ini lima jawaban:
1. Nabi Yusuf alaihissalam tidak meminta kepemimpinan, namun ditwarkan kepada beliau, sebagaimana ditunjukkan oleh susunan ayat. Maksimal yang ada dalam ucapan beliau
“Jadikan aku bendaharawan negeri (Mesir)” adalah keterangan tentang spesialisasinya dan pilihannya.
2. Beliau aman dari tekanan peraturan (negara) dan dipersilakan untuk mengamalkan syariat Islam. Dua hal ini hanyalah sebuah khayalan dalam realita aturan-aturan di muka bumi masa ini.
3. Bahwa beliau mendapat persaksian kesucian di mana beliau juga seorang Rasul. Sehingga tidak dikhawatirkan pada beliau apa yang dikhawatirkan pada orang lain.
Diriwayatkan oleh Muhammad bin Sirin Rahimahullah , bahwaAmiril Mu’minin Umar radhiyallahu anhu menugaskan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu sebagai gubernur di daerah Bahrain. Lalu Abu Hurairah radhiyallahuanhu datang membawa uang 10.000. Maka Umar mengatakan kepadanya: “Apakah engkau peruntukkan harta ini untuk kepentingan pribadimu, wahai musuh Allah dan musuh kitab-Nya?!”
Maka Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menjawab: “Aku bukan musuh Allah ataupun musuh kitab-Nya, akan tetapi justru musuh yang memusuhi keduanya.”
Umar Radhiyallahu anhu menukas: “Lalu darimana hartamu ini?”
“Itu adalah kuda yang berkembang biak, dan hasil kerjaan budakku, serta pemberian yang datang beberapa kali,” jawab Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
Mereka pun memeriksanya. Ternyata mereka mendapatkannya seperti apa yang dikatakan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . Setelah hal itu berlalu, Umar radhiyallahu anhu memanggil Abu Hurairah radhiyallahuanhu untuk ditugaskan kembali akan tetapi beliau menolak. Maka Umar radhiyallahuanhu berkata: “Apakah kamu tidak suka jabatan ini, padahal telah memintanya orang yang lebih baik darimu, Yusuf Alaihisalam ?”
Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu menjawab: Yusuf adalah seorang nabi, putra seorang nabi, dan cucu seorang nabi. Sedangkan saya, Abu Hurairah, putra seorang ibu yang kecil. Dan aku khawatir tiga tambah dua (perkara -pent).”
Umar Radhiyallahuanhu berkata: “Tidakkah kamu katakan lima saja?”
Abu Hurairah radhiyallahu anhu menjawab: “Saya khawatir berkata tanpa ilmu, memutuskan tanpa kesabaran dan pikir panjang, takut punggungku dicambuk, hartaku diambil dan kehormatanku dicela.”
4. Syariat umat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita pada perkara yang menyelisihi syariat kita. Dalam hal ini, syariat kita telah menyelisihinya.
5. Nabi Yusuf alaihissalam melakukan apa yang beliau lakukan pada tugasnya tersebut dengan posisi beliau sebagai seorang rasul. Seandainya pun seseorang diperbolehkan mengikuti beliau dalam urusan itu, maka pewarisnya secara syar’i adalah seorang mujtahid. Ibnu Abdil Bar berkata: “Bila yang demikian itu (menyebut keahliannya dalam kondisi terpaksa -pent), maka boleh bagi seorang ulama saat itu untuk memuji dirinya dan mengingatkan tentang kedudukannya, maka saat itu berarti dia membicarakan nikmat Allah pada dirinya dalam rangka mensyukurinya.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlihi, 1/176).semoga kita dilindungi oleh Alloh Azza wa jalla dari perkara – perkara jeleknya meminta jabatan
Wallahu a’lam bisshowab