Oleh Ali Wafa Abu Sulthon
Diriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Didatangkan kepadaku Buraq (dia adalah seekor binatang yang berwarna putih, panjang, ukurannya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada baghl (peranakan kuda dengan keledai), hewan ini mampu melangkahkan kakinya sejauh mata memandang). Akupun menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, kemudian aku tambatkan hewan tersebut di sebuah tali (yang terdapat di pintu masjid Baitul Maqdis). Lalu aku memasuki masjid dan mengerjakan shalat dua raka’at. Setelah itu, aku keluar dan Jibril ‘alaihissalam mendatangiku dengan membawa sebuah bejana yang berisi khamr dan sebuah bejana yang berisi susu. Akupun memilih susu. Kata Jibril ‘alaihissalam: ‘Engkau telah memilih fithrah.’
Kemudian kami naik menuju langit, lalu Jibril meminta (kepada malaikat penjaga pintu langit) untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa
yang bersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit, dan akupun berjumpa dengan Adam, diapun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik menuju langit kedua, lalu Jibril
‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa
yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan dua anak dari bibi
[1], yaitu ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariyya
shalawatullahi ‘alaihima, mereka berduapun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik menuju langit ketiga, lalu Jibril
‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa
yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Yusuf
shallallahu ‘alaihi wasallam, dia adalah seorang
yang dikaruniai setengah dari ketampanan, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik menuju langit keempat, lalu Jibril
‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa
yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Idris, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku. Allah
‘azza wajalla berfirman tentangnya:
وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا
“Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (
Maryam: 57)
Kemudian kami naik menuju langit kelima, lalu Jibril
‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa
yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Harun
shallallahu ‘alaihi wasallam, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik menuju langit keenam, lalu Jibril
‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa
yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Musa
shallallahu ‘alaihi wasallam, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik menuju langit ketujuh, lalu Jibril
‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa
yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Ibrahim
shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyandarkan punggungnya di Al-Baitul Ma’mur, sebuah tempat
yang setiap harinya ada 70.000 malaikat
yangmemasukinya, dan para malaikat
yang sudah memasukinya tadi tidak akan kembali lagi.
Kemudian aku dibawa menuju Sidratul Muntaha
[2],
yang daunnya seperti telinga gajah dan buah-buahannya seperti guci
yang besar. Tatkala ketetapan Allah datang menyelimutinya, berubahlah Sidratul Muntaha itu. Tidak ada seorangpun dari makhluk Allah
yang mampu untuk menggambarkan keadaannya disebabkan sangat indahnya.
Allah pun mewahyukan kepadaku dengan memerintahkan kepadaku shalat 50 waktu sehari semalam. Aku pun turun dan berjumpa dengan Musa
shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia pun bertanya: ‘Apa
yang diwajibkan Rabbmu kepada umatmu?’ Aku pun menjawab: ‘Shalat 50 waktu.’ Musa berkata: ‘Kembalilah kepada Rabbmu, mohonlah keringanan kepada-Nya karena umatmu tidak akan sanggup memenuhi kewajiban ini, sungguh aku telah menguji Bani Israil (ternyata mereka tidak sanggup).
Aku pun kembali kepada Rabbku dan aku memohon: ‘Wahai Rabbku, berikan keringanan kepada umatku.’ Maka Allah pun menguranginya sebanyak lima waktu. Kemudian aku kembali menjumpai Musa dan aku katakana kepadanya: ‘Allah telah mengurangi sebanyak lima waktu.’ Namun Musa tetap mengatakan: ‘Sesungguhnya umatmu belum mampu memenuhi kewajiban ini, kembalilah kepada Rabbmu dan mohonlah keringanan kepada-Nya.
Terus menerus aku bolak-balik antara Rabbku
tabaraka wata’ala dengan Musa
‘alaihissalam sampai Allah menyatakan: ‘Wahai Muhammad, kewajiban shalat itu sebanyak lima waktu sehari semalam, setiap shalat bernilai sepuluh (kebaikan), sehingga nilai keseluruhan dari lima waktu shalat adalah sebanyak 50 waktu shalat. Barangsiapa
yang berniat untuk melakukan satu kebaikan namun dia belum mengamalkannya, maka akan dicatat untuknya satu kebaikan. Dan jika dia mengamalkannya, maka akan dicatat untuknya sepuluh kebaikan. Barangsiapa
yang berniat melakukan kejelekan namun belum mengerjakannya, maka tidak akan dicatat kejelekan untuknya sedikitpun, dan jika mengerjakan kejelekan itu, maka akan dicatat baginya satu kejelekan.
Akupun turun dan berjumpa dengan Musa
shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku kabarkan tentang apa
yang telah aku alami. Maka Musa mengatakan: ‘Kembalilah kepada Rabbmu, mohonlah kepada-Nya keringanan. Aku katakan kepadanya: ‘Sungguh aku telah kembali kepada Rabbku sampai aku merasa malu kepada-Nya.”
(Riwayat Hadist
Al-Imam Muslim
rahimahullah dalam kitab Shahihnya)
(hadits no. 162).
Sebagian orang beranggapan bahwa
peristiwa Isra’ dan
Mi’raj terjadi pada waktu
yang berbeda,
Isra’ pada satu malam tertentu, dan
Mi’raj pada malam
yang lain. Namun
yang benar adalah
peristiwa Isra’ dan
Mi’raj ini terjadi pada satu malam
yang sama. Demikian
yang diungkapkan oleh Al-Imam Al-Baihaqi
rahimahullah. Keterangan beliau ini dikuatkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir
rahimahullah dengan mengatakan: “Apa
yang diungkapkan oleh beliau (Al-Baihaqi) ini adalah
yang benar, tidak ada sedikitpun keraguan padanya.” (
Tafsir Ibnu Katsir).
Banyak riwayat dari hadits yang menyebutkan tentang kisah perjalanan yang merupakan salah satu mu’jizat dan tanda kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini. Masing-masing riwayat tersebut saling melengkapi satu dengan yang lain.
Sebagian kalangan
yang lebih mengedepankan akal dan logikanya dalam memahami agama ini -daripada nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah- berupaya untuk mengingkari terjadinya
peristiwa Isra’
Mi’raj. Kalaupun benar
peristiwa tersebut terjadi, maka itu hanya mimpi atau hanya ruh beliau saja, tidak mungkin dengan jasad fisik beliau. Menurut mereka, tidak masuk akal perjalanan sejauh itu hanya ditempuh selama satu malam. Sangat jauhnya jarak antara Masjidil Haram dengan Masjidil Aqsha, kemudian ditambah jarak antara bumi dan langit, tentunya membutuhkan perjalanan dengan kecepatan
yang sangat tinggi. Sehingga tidak mungkin Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bisa menempuhnya dengan jasad beliau. Sebuah benda
yang paling keras sekalipun, kalau bergerak dengan kecepatan
yang sangat tinggi, maka benda tersebut bisa meleleh, apalagi jasad seorang manusia. Ini tidak masuk akal, kata mereka.
Maka kita katakan:
Benar bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj itu tidak masuk akal, yakni akal yang berpenyakit, akalnya orang-orang yang di hatinya terdapat bibit penyimpangan dan kesesatan dari agama yang lurus ini.
Sungguh akal
yang sehat itu justru menerima dengan penuh ketundukan dan keyakinan setiap berita dalam Al-Qur’an maupun hadits. Akal
yang sehat menyatakan bahwa Allah
ta’ala Maha Mampu atas segalanya. Kalau Allah berkehendak, Allah pun mampu untuk menciptakan kejadian luar biasa
yang lebih menakjubkan daripada
peristiwa Isra’
Mi’raj pada diri Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut.
Ayat Al-Qur’an
yang mengabadikan
peristiwa besar ini, yaitu firman Allah
ta’ala:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (
Al-Isra’: 1)
menunjukkan bahwa
peristiwa tersebut adalah benar adanya dan dialami oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ruh dan jasad beliau, bukan ruh saja atau mimpi saja. Berikut argumentasinya:
1. Kalimat tasbih (سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى …). Sebagaimana
yang sudah dikenal di kalangan umat Islam, bahwa kalimat tasbih ini juga sering digunakan ketika melihat atau mendengar
peristiwa besar dan menakjubkan. Kalau
Isra’ dan juga
Mi’raj ini dilakukan dalam mimpi beliau saja, maka ini bukanlah suatu
peristiwa besar. Dalam mimpi, seorang manusia bisa saja mengalami kejadian aneh maupun
peristiwa mustahil
yang tidak akan mungkin terjadi di alam nyata ini.
2. Kalimat (بِعَبْدِهِ),
yang berarti hamba-Nya. Kalimat عبد / hamba, bermakna sebuah ungkapan
yang menunjukkan berkumpulnya antara ruh dan jasad, sebagaimana
yang sudah dikenal dalam bahasa Arab.
Adapun
peristiwa Mi’raj, Allah
subhanahu wata’ala telah abadikan dalam Al-Qur’an di awal-awal surat An-Najm. Pada ayat ke-17:
مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى
“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.” (
An-Najm: 17)
juga merupakan argumentasi
yang kuat
yang menunjukkan bahwa
peristiwa tersebut terjadi dan dialami oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ruh dan jasad beliau. Hal ini ditunjukkan pada kata الْبَصَرُ (
yang berarti penglihatan, maksudnya penglihatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam), karena kata الْبَصَرُ adalah sebuah ungkapan
yang bermakna alat penglihatan dari dzat (jasad), bukan dari ruh.
Argumen lain
yang menunjukkan bahwa
peristiwa Isra’ dan
Mi’raj dialami oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ruh dan jasad beliau adalah dalam ayat-Nya:
وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْآَنِ
“Dan Kami tidak menjadikan ru’ya[3] yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al-Qur’an.” (
Al-Isra’: 60)
Abdullah bin Abbas
radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan makna
ru’ya pada ayat di atas adalah pemandangan
yang diperlihatkan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pada
peristiwa Isra’ ke Baitul Maqdis, adapun pohon kayu
yang terkutuk adalah pohon Zaqqum sebagaimana dalam surat Ash-Shaffat ayat 62 sampai 65. (
HR. Al-Bukhari, no. 3599).
Sebagiamana ayat di atas,
peristiwa yang dilihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan fitnah (ujian) bagi manusia, siapa
yang membenarkannya dan siapa saja
yang mendustakannya. Seandainya
peristiwa seperti itu dialami dalam mimpi, maka tidak akan menjadi ujian bagi mereka. Bisa jadi semua orang -termasuk musyrikin Quraisy- akan percaya dan membenarkannya, karena -sebagaimana
yang sudah disebutkan di atas- bahwa siapapun bisa saja bermimpi mengalami kejadian aneh atau
peristiwa mustahil
yang tidak akan mungkin terjadi di alam nyata ini.
(Lihat
Tafsir Ibnu Katsir dan
Adhwa-ul Bayan).
Sebagian pihak
yang tidak
mengimani bahwa
peristiwa Isra Mi’raj dengan ruh dan jasad Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berdalil dengan adanya salah satu riwayat dalam Shahih Muslim
yangmenyebutkan tentang
peristiwa Isra Mi’raj beliau, dan disebutkan di dalamnya:
وَهُوَ نَائِمٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Dan beliau sedang tidur di Masjidil Haram.”
Kata mereka, riwayat ini menunjukkan bahwa beliau mengalami
peristiwa ini dalam mimpi saja karena ketika itu beliau sedang tidur.
Kalau kita mengkaji dengan seksama kitab Syarh (penjelasan) Shahih Muslim
yang ditulis oleh Al-Hafizh An-Nawawi
rahimahullah, maka kita akan jumpai keterangan beliau dengan menukil perkataan ulama sebelumnya tentang riwayat tersebut. Dan setelah dipelajari, maka kesimpulan dari
yang disebutkan oleh beliau adalah di antaranya:
1. Riwayat tersebut telah diingkari oleh para ulama
[4].
2. Para rawi hadits ini dari kalangan
huffazh mutqinin dan para imam
yang terkenal tidak ada satu pun
yang menyebutkan riwayat dengan lafazh di atas.
3. Bisa jadi tidurnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam ketika itu adalah saat datangnya malaikat kepada beliau. Adapun setelah itu, beliau bangun dan kemudian mengalami
peristiwa yangsangat menakjubkan tersebut. Konteks hadits
yang menyebutkan kisah ini tidak menunjukkan bahwa beliau ketika itu sedang tidur.
4.
Yang benar adalah bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam mengalami
peristiwa Isra’ dengan jasad beliau. Wallahu a’lam.
[1] Maksudnya adalah ibu salah seorang di antara keduanya adalah bibi
yang lain, demikian sebaliknya, yakni ibu ‘Isa merupakan bibi Yahya, dan ibu Yahya adalah bibi ‘Isa
‘alaihimush shalatu wassalam.
[2] Secara bahasa Sidratul Muntaha artinya pohon penghabisan. Ibnu Abbas dan para mufassirin menerangkan bahwa dinamakan pohon tersebut dengan Sidratul Muntaha karena pengetahuan malaikat berhenti sampai di tempat ini, tidak ada seorangpun
yang sanggup mencapainya kecuali Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan dari Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu bahwa dinamakannya Sidratul Muntaha karena dia adalah tempat berhentinya segala sesuatu
yang turun dari atasnya maupun
yang naik dari arah bawahnya, berupa urusan Allah ta’ala (wahyu dan ketetapan-Nya). Wallahu a’lam. (
Syarh Shahih Muslim).
[3] Kata
ru’ya sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan mimpi. Namun dalam ayat ini,
ru’ya bermakna pemandangan di alam nyata, bukan di alam mimpi sebagaimana
yang disebutkan dalam riwayat dari Abdullah bin Abbas setelah ini.
[4] Hal ini disebabkan karena kesalahan salah satu rawi dalam meriwayatkan hadits atau mungkin ada sebab lain wallahu a’lam.
Selengkapnya...