FATWA ULAMA : Sikap & Kewajiban Ummat Islam Atas Tragedi Palestina, Asy Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah



Berikut penjelasan yang disampaikan oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah ketika beliau menjawab pertanyaan tentang apa sikap dan kewajiban kita terkait dengan peristiwa yang menimpa saudara-saudara kita di Ghaza - Palestina. Penjelasan ini beliau sampaikan pada hari Senin 9 Muharram 1430 H dalam salah satu pelajaran yang beliau sampaikan, yaitu pelajaran syarh kitab Fadhlul Islam. Semoga bermanfaat. Berikut penjelasan yang disampaikan oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah ketika beliau menjawab pertanyaan tentang apa sikap dan kewajiban kita terkait dengan peristiwa yang menimpa saudara-saudara kita di Ghaza - Palestina. Penjelasan ini beliau sampaikan pada hari Senin 9 Muharram 1430 H dalam salah satu pelajaran yang beliau sampaikan, yaitu pelajaran syarh kitab Fadhlul Islam. Semoga bermanfaat.
*********** Kewajiban terkait dengan peristiwa yang menimpa saudara-saudara kita kaum muslimin di Jalur Ghaza Palestina baru-baru ini adalah sebagai berikut :
Pertama :
Merasakan besarnya nilai kehormatan darah (jiwa) seorang muslim. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah (no. 3932) dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : Saya melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sedang berthawaf di Ka’bah seraya beliau berkata (kepada Ka’bah) :
مَا أَطْيَبَكِ وَأَطْيَبَ رِيحَكِ مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَحُرْمَةُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ حُرْمَةً مِنْكِ مَالِهِ وَدَمِهِ
“Betapa bagusnya engkau (wahai Ka’bah), betapa wangi aromamu, betapa besar nilaimu dan besar kehormatanmu. Namun, demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin jauh lebih besar di sisi Allah dibanding engkau, baik kehormatan harta maupun darah (jiwa)nya. ” [1])
Dalam riwayat At-Tirmidzi (no. 2032) dengan lafazh :
Dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallah ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam naik ke atas mimbar kemudian beliau berseru dengan suara yang sangat keras seraya berkata :
« يَا مَعْشَرَ مَنْ قَدْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ! لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ! وَلاَ تُعَيِّرُوهُمْ! وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ! فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِى جَوْفِ رَحْلِهِ »
“Wahai segenap orang-orang yang berislam dengan ucapan lisannya namun keimanannya tidak menyentuh qalbunya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian mencela mereka, dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka. Karena barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya muslim, maka pasti Allah akan terus mengikuti aibnya. Barangsiapa yang diikuti oleh Allah segala aibnya, maka pasti Allah akan membongkarnya walaupun dia (bersembunyi) di tengah rumahnya. ”
Maka suatu ketika Ibnu ‘Umar Radhiyallah ‘anhuma melihat kepada Ka’bah dengan mengatakan (kepada Ka’bah) : “Betapa besar kedudukanmu dan betapa besar kehormatanmu, namun seorang mukmin lebih besar kehormatannya di sisi Allah dibanding kamu. ” Al-Imam At-Tirmidzi berkata tentang kedudukan hadits tersebut : “Hadits yang hasan gharib. ” Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (no. 2032).
Seorang muslim apabila melihat darah kaum muslimin ditumpahkan, atau jiwa dibunuh, atau hati kaum muslimin diteror, maka tidak diragukan lagi pasti dia akan menjadikan ini sebagai perkara besar, karena terhormatnya darah kaum muslimin dan besarnya hak mereka. Bagaimana menurutmu, kalau seandainya seorang muslim melihat ada orang yang hendak menghancurkan Ka’bah, ingin merobohkan dan mempermainkannya, maka betapa ia menjadikan hal ini sebagai perkara besar?!! Sementara Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan bahwa “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin jauh lebih besar di sisi Allah dibanding engkau (wahai Ka’bah), baik kehormatan harta maupun darah (jiwa)nya. ”
Maka perkara pertama yang wajib atas kita adalah merasakan betapa besar nilai kehormatan darah kaum mukminin yang bersih, yang baik, dan sebagai pengikut sunnah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam, yang senantiasa berjalan di atas bimbingan Islam. Kita katakan, bahwa darah (kaum mukminin) tersebut memiliki kehormatan yang besar dalam hati kita. Kita tidak ridha -demi Allah- dengan ditumpahkannya darah seorang mukmin pun (apalagi lebih), walaupun setetes darah saja, tanpa alasan yang haq (dibenarkan oleh syari’at). Maka bagaimana dengan kebengisan dan peristiwa yang dilakukan oleh para ekstrimis, orang-orang yang zhalim, para penjajah negeri yang suci, bumi yang suci dan sekitarnya??! Innalillah wa inna ilaihi raji’un!!
Maka tidak boleh bagi seorang pun untuk tidak peduli dengan darah (kaum mukminin) tersebut, terkait dengan hak dan kehormatan (darah mukminin), kehormatan negeri tersebut, dan kehormatan setiap muslim di seluruh dunia, dari kezhaliman tangan orang kafir yang penuh dosa, durhaka, dan penuh kezhaliman seperti peristiwa (yang terjadi sekarang di Palestina) walaupun kezhaliman yang lebih ringan dari itu. Kedua :
Wajib atas kita membela saudara-saudara kita. Pembelaan kita tersebut harus dilakukan dengan cara yang syar’i. Cara yang syar’i itu tersimpulkan sebagai berikut :
Kita membela mereka dengan cara do’a untuk mereka. Kita do’akan mereka pada waktu sepertiga malam terakhir, kita do’akan mereka dalam sujud-sujud (kita), bahkan kita do’akan dalam qunut (nazilah) yang dilakukan pada waktu shalat jika memang diizinkan/diperintahkan oleh waliyyul amr (pemerintah). Jangan heran dengan pernyataanku “dalam qunut nazilah yang dilakukan dalam shalat jika memang diizinkan/diperintahkan oleh waliyyul amr. ” Karena umat Islam telah melalui berbagai musibah yang dahsyat pada zaman shahabat Nabi, namun tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa para shahabat melakukan qunut nazilah selama mereka tidak diperintah oleh pimpinan (kaum muslimin).
Oleh karena itu aku katakan : Kita membantu saudara-saudara kita dengan do’a pada waktu-waktu sepertiga malam terakhir, kita bantu saudara-saudara kita dengan do’a dalam sujud, kita membantu saudara-saudara kita dengan do’a saat-saat kita berdzikir dan menghadap Allah agar Allah menolong kaum muslimin yang lemah.
………….
Semoga Allah membebaskan kaum muslimin dari cengkraman tangan-tangan zhalim, dan mengokohkan mereka (kaum muslimin) dengan ucapan (aqidah) yang haq, serta menolong mereka terhadap musuh kita, musuh mereka, musuh Allah, dan musuh kaum mukminin. Ketiga dan Keempat, terkait dengan sikap kita terhadap peristiwa Ghaza :
Kita harus waspada terhadap orang-orang yang memancing di air keruh, menyeru dengan seruan-seruan yang penuh emosional atau seruan yang ditegakkan di atas perasaan (jauh dari bimbingan ilmu dan sikap ilmiah), yang justru membuat kita terjatuh pada masalah yang makin besar. Kalian tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berada di Makkah, berada dalam periode Makkah, ketika itu beliau mengetahui bahwa orang-orang kafir terus menimpakan siksaan yang keras terhadap kaum muslimin. Sampai-sampai kaum muslimin ketika itu meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam agar menginzinkan mereka berperang. Ternyata Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hanya mengizinkan sebagian mereka untuk berhijrah (meninggalkan tanah suci Makkah menuju ke negeri Habasyah), namun sebagian lainnya (tidak beliau izinkan) sehingga mereka terus minta izin dari Rasulullah untuk berperang dan berjihad.
Dari shahabat Khabbab bin Al-Arat Radhiyallahu ‘anhu :
شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ، قُلْنَا لَهُ : أَلاَ تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلا تَدْعُو اللهَ لَنَا؟ قَالَ: كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَاللهِ لَيُتِمَّنَّ هَذَا الأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لاَ يَخَافُ إِلاَّ اللهَ أَوْ الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ”
Kami mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau sedang berbantalkan burdahnya di bawah Ka’bah –di mana saat itu kami telah mendapatkan siksaan dari kaum musyrikin–. Kami berkata kepada beliau : “Wahai Rasulullah, mintakanlah pertolongan (dari Allah) untuk kama? berdo’alah (wahai Rasulullah) kepada Allah untuk kami?”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam [2]) : “Bahwa dulu seseorang dari kalangan umat sebelum kalian, ada yang digalikan lubang untuknya kemudian ia dimasukkan ke lubang tersebut. Ada juga yang didatangkan padanya gergaji, kemudian gergaji tersebut diletakkan di atas kepalanya lalu ia digergaji sehingga badannya terbelah jadi dua, akan tetapi perlakuan itu tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Ada juga yang disisir dengan sisir besi, sehingga berpisahlah tulang dan dagingnya, akan tetapi perlakuan itu pun tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Demi Allah, Allah akan menyempurnakan urusan ini (Islam), hingga (akan ada) seorang pengendara yang berjalan menempuh perjalanan dari Shan’a ke Hadramaut, dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah atau (dia hanya khawatir terhadap) srigala (yang akan menerkam) kambingnya. Akan tetapi kalian tergesa-gesa.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 3612, 3852, 6941).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terus berada dalam kondisi ini dalam periode Makkah selama 13 tahun. Ketika beliau berada di Madinah, setelah berjalan selama 2 tahun turunlah ayat :
﴿أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ﴾ (الحج: 39 )
Telah diizinkan bagi orang-orang yang diperangi karena mereka telah dizhalimi. Sesungguhnya Allah untuk menolong mereka adalah sangat mampu. ” [Al-Haj : 39]
Maka ini merupakan izin bagi mereka untuk berperang. Kemudian setelah itu turun lagi ayat :
﴿وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ﴾ ( البقرة:190)
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. ” [Al-Baqarah : 190] Kemudian setelah itu turun ayat :
﴿فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ﴾ (التوبة: من الآية12)
Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. [At-Taubah : 12]
﴿قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ﴾ (التوبة: من الآية29)
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada Hari Akhir” [At-Taubah : 29]
Yakni bisa kita katakan, bahwa perintah langsung untuk berjihad turun setelah 16 atau 17 tahun berlalunya awal risalah. Jika masa dakwah Rasulullah adalah 23 tahun, berarti 17 tahun adalah perintah untuk bersabar. Maka kenapa kita sekarang terburu-buru??! Kalau ada yang mengatakan : Ya Akhi, mereka (Yahudi) telah mengepung kita! Ya Akhi mereka (Yahudi) telah menzhalimi kita di Ghaza!!
Maka jawabannya : Bersabarlah, janganlah kalian terburu-buru dan janganlah kalian malah memperumit masalah. Janganlah kalian mengalihkan permasalahan dari kewajiban bersabar dan menahan diri kepada sikap perlawanan ditumpahkan padanya darah (kaum muslimin). Wahai saudara-saudaraku, hingga pada jam berangkatnya aku untuk mengajar jumlah korban terbunuh sudah mencapai 537 orang, dan korban luka 2. 500 orang. Apa ini?!! Bagaimana kalian menganggap enteng perkara ini? Mana kesabaran kalian? Mana sikap menahan diri kalian? Sebagaimana jihad itu ibadah, maka sabar pun juga merupakan ibadah. Bahkan tentang sabar ini Allah berfirman :
﴿إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ﴾
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. ” [Az-Zumar : 10] Jadi sabar merupakan ibadah. Kita beribadah kepada Allah dengan amalan kesabaran. Kenapa kalian mengalihkan umat dari kondisi sabar menghadapi kepungan musuh kepada perlawanan dan penumpahan darah? Kenapa kalian menjadikan warga yang aman, yang tidak memiliki keahlian berperang, baik terkait dengan urusan-urusan maupun prinsip-prinsip perang, kalian menjadikan mereka sasaran penyerbuan tersebut, sasaran serangan tersebut, dan sasaran pukulan tersebut, sementara kalian sendiri malah keluar menuju Beirut dan Libanon??! Kalian telah menimpakan bencana terhadap umat sementara kalian sendiri malah keluar (dari Palestina)??!
Oleh karena itu saya katakan : Janganlah seorang pun menggiring kita dengan perasaan atau emosi kepada membalik realita. Kami mengatakan : bahwa wajib atas kita untuk bersabar dan menahan diri serta tidak tidak terburu-buru. Sabar adalah ibadah. Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabar dengan kesabaran yang panjang atas kezhaliman Quraisy dan atas kezhaliman orang-orang kafir. Kaum muslimin yang bersama beliau juga bersabar. Apabila dakwah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam selama 23 tahun, sementara 17 tahun di antaranya Rasulullah bersabar (terhadap kekejaman/kebengisan kaum musyrikin) maka kenapa kita melupakan sisi kesabaran?? Dua atau tiga tahu mereka dikepung/diboikot! Kita bersabar dan jangan menimpakan kepada umat musibah, pembunuhan, kesusahan, dan kesulitan tersebut. Janganlah kita terburu beralih kepada aksi militer!! Wahai saudaraku, takutlah kepada Allah! Apabila Rasulullah merasa iba kepada umatnya dalam masalah shalat, padahal itu merupakan rukun Islam yang kedua, beliau mengatakan (kepada Mu’adz) : “Apakah engkau hendak menjadi tukang fitnah wahai Mu’adz?!!” karena Mu’adz telah membaca surat terlalu panjang dalam shalat. Maka bagaimana menurutmu terhadap orang-orang yang hanya karena perasaan dan emosinya yang meluap menyeret umat kepada penumpahan darah dan aksi perlawanan yang mereka tidak memiliki kemampuan, bahkan walaupun sepersepuluh saja mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan. Bukankah tepat kalau kita katakan (pada mereka) : Apakah kalian hendak menimpakan musibah kepada umat dengan aksi perlawanan ini yang sebenarnya mereka sendiri tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan tersebut! Tidak ingatkah kita ketika kaum kuffar dari kalangan Quraisy dan Yahudi berupaya mencabik-cabik Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dalam perang Ahzab, setelah adanya pengepungan (terhadap Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya) yang berlangsung selama satu bulan, lalu sikap apa yang Rasulullah lakukan? Yaitu beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam mengutus kepada qabilah Ghathafan seraya berkata kepada mereka : “Saya akan memberikan kepada kalian separoh dari hasil perkebunan kurma di Madinah agar mereka (qabilah Ghathafan) tidak membantu orang-orang kafir dalam memerangi kami. ” Kemudian beliau mengutus kepada para pimpinan Anshar, maka mereka pun datang (kepada beliau). Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam menyampaikan kepada mereka bahwa beliau telah mengambil kebijakan begini dan begini, kemudian beliau berkata : “Kalian telah melihat apa yang telah menimpa umat berupa kegentingan dan kesulitan?”
Perhatikan, bukanlah keletihan dan kesulitan yang menimpa umat sebagai perkara yang enteng bagi beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam tidak rela memimpin mereka untuk melakukan perlawanan militer dalam keadaan mereka tidak memiliki daya dan kemampuan, sehingga dengan itu beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam menerima dari shahabat Salman Al-Farisi ide untuk membuat parit (dalam rangka menghalangi kekuatan/serangan musuh).
Demikianlah (cara perjuangan Rasulullah), padahal beliau adalah seorang Rasul Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan bersama beliau para shahabatnya. Apakah kita lebih kuat imannya dibanding Rasulullah?! Apakah kita lebih kuat agamanya dibanding Rasulullah??! Apakah kita lebih besar kecintaannya terhadap Allah dan agama-Nya dibanding Rasulullah dan para shahabatnya??! Tentu tidak wahai saudaraku.
Sekali lagi Rasulullah tidak memaksakan (kepada para shahabatnya) untuk melakukan perlawanan (terhadap orang kafir). Bukan perkara yang ringan bagi beliau ketika kesulitan yang menimpa umat sudah sedemikian parah. Sehingga terpaksa beliau mengutus kepada qabilah Ghathafan untuk memberikan kepada mereka separo dari hasil perkebunan kurma Madinah (agar mereka tidak membantu kaum kafir menyerang Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya). Namun Allah kuatkan hati dua pimpinan Anshar, keduanya berkata : ‘Wahai Rasulullah, mereka tidak memakan kurma tersebut dari kami pada masa Jahiliyyah, maka apakah mereka akan memakannya dari kami pada masa Islam? Tidak wahai Rasulullah. Kami akan tetap bersabar. ’
Mereka (Anshar) tidak mengatakan : Kami akan tetap berperang. Namun mereka berkata : Kami akan bersabar. Maka tatkala mereka benar-benar bersabar, setia mengikuti Rasulullah, dan ridha, datanglah kepada mereka pertolongan dari arah yang tidak mereka sangka. Datanglah pertolongan dari sisi Allah, datanglah hujan dan angin, dan seterusnya. Bacalah peristiwa ini dalam kitab-kitab sirah, pada (pembahasan) tentang peristiwa perang Ahzab.
Maka, permasalahan yang aku ingatkan adalah : Janganlah ada seorangpun yang menyeret kalian hanya dengan perasaan dan emosinya, maka dia akan membalik realita yang sebenarnya kepada kalian. Aku mendengar sebagai orang mengatakan, bahwa “Penyelesaian permasalahan yang terjadi adalah dengan jihad, dan seruan untuk berjihad!” Tentu saya tidak mengingkari jihad, namun apabila yang dimaksud adalah jihad yang syar’i
Sementara jihad yang syar’i memilliki syarat-syarat, dan syarat-syarat tersebut belum terpenuhi pada kita sekarang ini. Kita belum memenuhi syarat-syarat terlaksananya jihad syar’i pada hari ini. Sekarang kita tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan. Allah tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya. Apabila Sayyiduna ‘Isa u pada akhir zaman nanti akan berhukum dengan syari’at Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Isa adalah seorang nabi dan bersamanya kaum mukminin, namun Allah mewahyukan kepadanya : ‘Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke Jabal Ath-Thur karena sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak mampu melawannya. ’ Siapakah kaum tersebut? Mereka adalah Ya`juj dan Ma`juj.
Perampasan yang dilakukan oleh Ya’juj dan Ma’juj -mereka termasuk keturunan Adam (yakni manusia)- terhadap kawasan Syam dan sekitarnya seperti perampasan yang dilakukan oleh orang-orang kafir dan ahlul batil terhadap salah satu kawasan dari kawasan-kawasan (negeri-negeri) Islam. Maka jihad melawan mereka adalah termasuk jihad difa’ (defensif : membela diri). Meskipun demikian ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada ‘Isa ‘alaihissalam - beliau ketika itu berhukum dengan syari’at Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam - : “Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke Jabal Ath-Thur. Karena sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak akan mampu melawannya. ’ Allah tidak mengatakan kepada mereka : “Berangkatlah melakukan perlawanan terhadap mereka. ” Allah tidak mengatakan kepada : “Bagaimana kalian membiarkan mereka mengusai negeri dan umat?” Tidak. Tapi Allah mengatakan : “Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke Jabal Ath-Thur. Karena sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak akan mampu melawannya. ” Inilah hukum Allah. Jadi, meskipun jihad difa’ tetap kita harus melihat pada kemampuan. Kalau seandainya masalahnya adalah harus melawan dalam situasi dan kondisi apapun, maka apa gunanya Islam mensyari’atkan bolehnya perdamaian dan gencatan senjata antara kita dengan orang-orang kafir? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا [الأنفال/61]
“Jika mereka (orang-orang kafir) condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya (terimalah ajakan perdamaian tersebut). ” [Al-Anfal : 61] Apa makna itu semua?
Oleh karena itu Samahatusy Syaikh Bin Baz Rahimahullah menfatwakan bolehnya berdamai dengan Yahudi, meskipun mereka telah merampas sebagian tanah Palestina, dalam rangka menjaga darah kaum muslimin, menjaga jiwa mereka, dengan tetap diiringi mempersiapkan diri sebagai kewajiban menyiapkan kekuatan untuk berjihad. Persiapan kekuatan untuk berjihad dimulai pertama kali dengan persiapan maknawi imani (yakni mempersiapkan kekuatan iman), baru kemudian persiapan materi.
Maka kami tegaskan bahwa : Kewajiban kita terhadap tragedi besar yang menimpa kaum muslimin (di Palestina) dan negeri-negeri lainnya :
Bahwa kita membantu mereka dengan do’a untuk mereka, dengan cara yang telah aku jelaskan di atas.
Kita menjadikan masalah darah kaum muslimin sebagai perkara besar, kita tidak boleh mengentengkan perkara ini. Kita menyadari bahwa ini merupakan perkara besar yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya serta kaum muslimin.
Kita waspada agar jangan sampai ada seorangpun yang menyeret kita hanya dengan perasaan dan emosi kepada perkara-perkara yang bertentangan dengan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kita mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah dengan cara mengingatkan diri kita dan saudara-saudara kita tentang masalah sabar. Allah telah berfirman : “Bersabarlah sebagaimana kesabaran para ulul ‘azmi dari kalangan para rasul. ” [Al-Ahqaf : 35] Karena sesungguhnya sikap sabar merupakan sebuah siasat yang bijaksana dan terpuji dalam situasi dan kondisi seperti sekarang. Sabar merupakan obat. Dengan kesabaran dan ketenangan serta tidak terburu-buru insya Allah problem akan terselesaikan. Kita memohon kepada Allah pertolongan dan taufiq. Adapun mengajak umat pada perkara-perkara yang berbahaya maka ini bertentangan dengan syari’at Allah dan bertentangan dengan agama Allah. Kelima :
Memberikan bantuan materi yang disalurkan melalui lembaga-lembaga resmi, yaitu melalui jalur pemerintah. Selama pemerintah membuka pintu (penyaluran) bantuan materi dan sumbangan maka pemerintah lebih berhak didengar dan ditaati. Setiap orang yang mampu untuk menyumbang maka hendaknya dia menyumbang. Barangsiapa yang lapang jiwanya untuk membantu maka hendaknya dia membantu. Namun janganlah menyalurkan harta dan bantuan tersebut kecuali melalui jalur resmi sehingga lebih terjamin insya Allah akan sampai ke sasarannya. Jangan tertipu dengan nama besar apapun, jika itu bukan jalur yang resmi yang bisa dipertanggungjawabkan. Janganlah memberikan bantuan dan sumbanganmu kecuali pada jalur resmi.
Inilah secara ringkas kewajiban kita terhadap tragedi yang menimpa saudara-saudara di Ghaza. Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menolong dan mengokohkan mereka serta memenangkan mereka atas musuh-musuh kita dan musuh-musuh mereka (saudara-saudara kita yang di Palestina), serta menghilangkan dari mereka (malapetaka tersebut). Kita memohon agar Dia menunjukkan keajaiban-keajaiban Qudrah-Nya atas para penjajah, para penindas, dan para perampas yang zhalim dan penganiaya tersebut.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
(Dikutip dari tulisan asli berjudul “SIKAP DAN KEWAJIBAN UMAT ISLAM TERHADAP TRAGEDI PALESTINA”, diterjemahkan dari nasihat Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmul hafizhahullah. URL Sumber www. merekaadalahteroris. com/mat/?p=51)
Selengkapnya...

SERIBU LANGKAH DALAM MENUNTUT ILMU SYAR’I

 Oleh Ali Wafa Abu Sulthon


Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullahu berkata:
“Semestinya seorang penuntut ilmu memulai dengan menghafal Kitabullah, di mana itu merupakan ilmu yang paling mulia dan yang paling utama untuk didahulukan dan dikedepankan.”
“Tidaklah seorang hamba menahan sesuatu yang lebih besar daripada menahan al-hilm (kesantunan) di kala marah dan menahan kesabaran ketika ditimpa musibah.”
(Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 62)

Wahai saudaraku, hendaknya engkau memiliki pekerjaan dan penghasilan yang halal yang kamu peroleh dengan tanganmu. Hindari memakan atau mengenakan kotoran-kotoran manusia (maksudnya pemberian manusia -ed). Karena sesungguhnya orang yang memakan kotoran manusia, permisalannya laksana orang yang memiliki sebuah kamar di bagian atas, sedangkan yang di bawahnya bukan miliknya. Ia selalu dalam ketakutan akan terjatuh ke bawah dan takut kamarnya roboh. Sehingga orang yang memakan kotoran-kotoran manusia akan berbicara sesuai hawa nafsu. Dan dia merendahkan dirinya di hadapan manusia karena khawatir mereka akan menghentikan (bantuan) untuknya.
(kitab Mawa’izh Lil Imam Sufyan Ats-Tsaury, hal. 82-84)

Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu bahwasanya beliau berkata:
“Termasuk tanda-tanda berpalingnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dari seorang hamba adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kesibukannya dalam perkara-perkara yang tidak berguna bagi dirinya.”

Di antara sebab terbesar yang membantu seseorang untuk tetap giat menuntut ilmu, memahaminya dan tidak jemu, adalah memakan sedikit dari sesuatu yang halal.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku tidak pernah kenyang semenjak 16 tahun lalu.

Abdullah bin ‘Athiyah berkata:
“Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam agama kecuali Allah akan mencabut dari mereka satu Sunnah yang semisalnya. Dan Sunnah itu tidak akan kembali kepada mereka sampai hari kiamat”.

Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Yang pertama kali dimulai adalah menghafal Al-Qur’an yang mulia, di mana itu adalah ilmu yang terpenting di antara ilmu-ilmu yang ada. Adalah para salaf dahulu tidak mengajarkan ilmu-ilmu hadits dan fiqih kecuali kepada orang yang telah menghafal Al-Qur’an. Apabila telah menghafalnya, hendaklah waspada dari menyibukkan diri dengan ilmu hadits dan fiqih serta selain keduanya dengan kesibukan yang dapat menyebabkan lupa terhadap sesuatu dari Al-Qur’an tersebut, atau waspadalah dari hal-hal yang dapat menyeret pada kelalaian terhadapnya (Al-Qur’an).”
(An-Nubadz fi Adabi Thalabil ‘Ilmi hal. 60-61)

Pembaca yang dirahmati Allah, telah kita ketahui bersama tentang pentingnya “tafaqquh fid diin“. Terlebih lagi di zaman sekarang, ilmu agama semakin sedikit orang yang mempelajarinya, sehingga yang banyak adalah orang-orang jahil namun mengaku berilmu. Ilmulah yang akan melindungi kita dari badai fitnah yang terus melanda.
Tidak diragukan lagi bahwa menuntut ilmu syar’i merupakan amal yang sangat mulia, bahkan ganjaran bagi orang yang menuntut menuntut ilmu sama halnya dengan orang yang pergi berjihad di jalan Allah sampai ia kembali.
Namun perbuatan yang mulia ini, jika tidak diiringi dengan metode belajar yang benar, akan menjadi tidak teratur dan semrawut, serta hasil yang didapat pun tidak akan maksimal. Maka dari itu sangat penting bagi setiap penuntut ilmu untuk memperhatikan bagaimanakah cara belajar yang semestinya ditempuh.
Dalam menuntut ilmu sangat dibutuhkan kesabaran. Seseorang yang tidak sabar dalam menuntut ilmu, kerapkali berbuntut pada kebosanan dan dan akhirnya putus di tengah jalan.
Semangatnya begitu membara di awal, tetapi setelah itu padam tanpa bekas. Apa masalahnya? Di antara masalahnya adalah metode menuntut ilmu yang tidak tepat, pembelajaran yang tidak berjenjang, dan tidak memprioritaskan penguatan kaidah dasar.
Semestinya, seseorang mengambil ilmu sedikit demi sedikit sesuai dengan kadar kemampuannya, tentu saja disertai dengan semangat juang yang tinggi. Seseorang yang menuntut ilmu ibarat menaiki sebuah tangga.
Untuk bisa mencapai bagian puncak dari tangga tersebut, maka dia harus memanjat dari bawah terlebih dahulu. Jika ia memaksakan untuk langsung menuju puncak, maka niscaya dia tidak akan mampu atau akibatnya dia akan celaka.
Ketahuilah, jika seseorang tergesa-gesa dalam menuntut ilmu, niscaya dia justru akan kehilangan seluruhnya, karena ilmu didapat seiring dengan berjalannya siang dan malam, setahap demi setahap dengan penuh kesabaran, bukan sekali dua kali duduk di manjelis atau sekali dua kali baca.
ibadah yang agung dan utama adalah menuntut ilmu syar’i. Adapun ilmu syar’i adalah firman-firman Allah dan sabda-sabda Rasul-Nya.
Sesungguhnya menuntut ilmu merupakan di antara amalan pendekatan diri kepada Allah yang paling utama yang seorang hamba dapat mendekatkan diri dengan amalan tersebut kepada Rabbnya, dan termasuk ketaatan yang paling baik yang akan mengangkat kedudukan seorang muslim dan meninggikan derajatnya di sisi Allah Ta’ala.
Dan sungguh Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar berilmu dan belajar, tafakkur (memikirkan ayat-ayat-Nya yang syar’iyyah yaitu Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah dan ayat-ayat-Nya yang kauniyyah yaitu alam semesta ini), tadabbur (memikirkan akibat-akibat dari amalan-amalan yang dikerjakannya); dan memperingatkan dari kebodohan dan mengikuti hawa nafsu; serta menerangkan bahwasanya ilmu yang akan memberikan manfaat bagi pemiliknya pada hari kiamat adalah ilmu yang seorang hamba mengikhlashkan padanya untuk penolongnya yaitu Allah; dan dia mengharap untuk mendapatkan ridha-Nya di dalam menuntut ilmu tersebut, serta beradab dengan adab Islam dan berakhlak dengan akhlaknya pemimpin manusia yaitu Rasulullah yang akhlaknya adalah Al-Qur`an.
Oleh karena itulah, perhatian Rasulullah dalam mengajarkan adab kepada para shahabatnya tidaklah mengurangi perhatian beliau dalam mengajarkan ilmu kepada mereka, demikian juga perhatian beliau dalam mendidik dan mensucikan / membersihkan jiwa-jiwa mereka tidaklah mengurangi perhatian beliau dalam menjelaskan dan menerangkan hukum-hukum Islam kepada mereka.
Maka bisa disimpulkan bahwa ilmu tanpa disertai adab tidak akan bermanfaat dan ilmu yang tidak disertai dengan jiwa yang bersih dan suci sungguh akan menghujat pemiliknya pada hari kiamat, pada hari tidak akan bermanfaat harta maupun anak-anak kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat / lurus.
Dan dari sini muncullah perhatiannya Salafush shalih dengan mendidik para penuntut ilmu dan membersihkan jiwa-jiwa mereka serta mengobati penyakit-penyakit hati mereka, sehingga mereka (salafush shalih) memberikan adab kepada para penuntut ilmu sebelum memberikan ilmu itu sendiri, dan mengawasi keadaan-keadaan mereka layaknya seorang dokter yang mengobati pasien, maka dia akan mencari seluruh obat yang bermanfaat untuk pasiennya tersebut sampai dia bangkit dari kelemahannya dan sembuh dari sakitnya.
Dan tidaklah mengherankan apabila kita mendapatkan berpuluh-puluh tulisan yang telah ditulis oleh para ulama yang mulia ini yang membicarakan akhlak-akhlak seorang penuntut ilmu dan adab-adabnya, serta metode mendidik para pelajar dan memberikan adab kepada mereka, sehingga keluarlah melalui tangan-tangan mereka generasi-generasi yang diberkahi yang membawa ilmu yang disertai dengan pengamalan dan penerapan adab-adabnya, di mana mereka menerapkan ilmu tersebut dengan sebaik-baiknya, sehingga terbentuklah masa depan Islam yang dianggap sebagai kebanggaan ummat, dan semakin jelaslah kewibawaan para ulama dan kedudukan mereka, melebihi kedudukan para penguasa, dan jadilah kemuliaan ilmu dan ulama sebagai sifat yang jelas dan nampak di tengah-tengah masyarakat muslimin.
Keadaan seperti itu terus berlangsung pada beberapa generasi sampai muncullah kemerosotan dan melemahlah kewibawaan para ulama (atau yang dianggap ulama -pent) ketika rasa khasy-yah (takut kepada Allah yang diserta ilmu) yang ada pada hati-hati ulama tersebut melemah serta ketika para ulama berpaling menuju keramaian ahli dunia dan berebutan mendapatkan perhiasannya serta berlomba-lomba menuju kemegahan padanya.
Dan kita bisa saksikan pada saat sekarang, banyak dari para penuntut ilmu berpaling dari adab yang dipraktekkan Salafush shalih dalam kaitannya dengan adab mencari ilmu, dan kita juga bisa perhatikan, bagaimana para penuntut ilmu berlomba-lomba mendapatkan ijazah dan gelar ilmiyyah dalam rangka mencari kedudukan sosial di tengah-tengah manusia, dan untuk mendapatkan pekerjaan yang dengannya akan diperoleh harta.
Demikianlah, ilmu menjadi perantara bukan tujuan, sehingga para penuntut ilmu ini mencukupkan diri dengan ilmu yang didapatinya di universitas-universitas, mereka hanya sekedar ingin mendapatkan ijazah, dan kebanyakan mereka berhenti dari mencari ilmu setelah lulus.
Dan yang lebih jelek dari itu adalah mereka menyangka bahwa gelar ilmiyyah yang mereka dapatkan akan menjadikan mereka sebagai para ulama dan mengantarkan mereka kepada tingkatan fuqaha, yang sebenarnya sedikitpun mereka tidak termasuk fuqaha, dalam keadaan apa yang mereka dapatkan dari ilmu dan pengkhususan mereka pada ilmu tidaklah menjadikan mereka menguasai satu bagianpun dari ilmu tersebut.
Dari kenyataan seperti inilah, maka wajib bagi para penuntut ilmu agar saling menasehati antar sesama mereka dan agar saling mengingatkan antara satu dengan lainnya dengan khasy-yah kepada Allah yang tidak tersembunyi sesuatupun dari-Nya, dan beradab dengan adab-adab yang utama yang tidak boleh bagi orang yang berilmu dan penuntut ilmu kosong darinya.
Wahai saudaraku, kebutuhan kita terhadap ilmu sangatlah besar. Tidak ada diantara kita yang tidak butuh ilmu. Oleh karena itulah Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata :
الناس محتاجون إلى العلم أكثر من حاجتهم إلى الطعام و الشراب لأن الطعام والشراب يحتاج إليه في اليوم مرة أو مرتين والعلم يحتاج إليه بعدد الأنفاس
“Manusia membutuhkan ilmu lebih banyak dari pada butuhnya pada makanan dan minuman, dikarenakan kebutuhan seseorang terhadap makanan dan minumam dalam sehari sekali atau dua kali. Dan kebutuhan manusia terhadap ilmu sebanyak tarikan nafas.” Apalagi kita hidup di masa-masa menyebarnya kebodohan, kesesatan dan penyimpangan. Oleh karena itu kebutuhan kita kepada ilmu sangatlah mendesak.  Yaitu ilmu yang dimaksud disini adalah ilmu syar’i, ilmu tentang mengenal Allah, agama islam dan nabi-Nya Muhammad shallallahu alihi wasallam. Maka dari itu kita harus tetap semangat menuntut ilmu dalam keadaan apapun. Karena kebutuhan kita yang sangat kepada ilmu dan kita berharap mendapatkan berbagai keutamaan orang yang menuntut ilmu syar’i.
Ilmu syar’i mempunyai banyak keutamaan diantaranya :
1. Allah Subhaanahu wata’aala akan mengangkat derajat orang yang berilmu
Allah Subhaanahu wata’aala berfirman :
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
 “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.“  (QS. Al-Mujadilah : 11)
2. Ilmu adalah warisan para nabi barangsiapa yang mengambilnya maka dia telah mendapat keuntungan yang sangat besar. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ بحظ وافر
“Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan uang dinar dan tidak pula uang dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mendapatkan keuntungan yang bsar.” (HR. Abu Dawud dan At-Timidzi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
3. Jika Allah mengkhendaki kebaikkan seorang hamba maka Allah akan memberikan pemahaman agama kepadanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“ Barangsiapa yang  Allah kehendaki kebaikkan pada dirinya maka Allah akan pahamkan dia dalam agama.” (HR. Bukhari dari Shahabat Mua’wiyah)
4. Allah akan memudahkan bagi orang yang menuntut ilmu jalannya menuju surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang menumpuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan menudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
5. Ilmu kebaikkannya akan tetap ada walaupun orangnya sudah mati.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yaitu : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang mendoakannya (kedua orang tuanya).” (HR. Muslim)
Dan sebaliknya kebodohan dalam masalah agama mempunyai dampak jelek yang luar biasa. Tentang hal ini Allah Subhaanahu wata’aala berfirman dalam banyak ayat diantaranya :
قُلْ أَفَغَيْرَ اللهِ تَأْمُرُونِي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ
“ Katakanlah: maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang- orang yang tidak berpengetahuan.? ( Qs. Az- zumar: 64)
قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَل لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
 “ Bani Israill berkata: Wahai Musa buatlah untuk kami sebuah sesembahan ( berhala) sebagai mana mereka mempunyai beberapa sesembahan ( berhala). Musa menjawab : “ sesungguhnya kamu itu kaum yang tidak mengetahui (bodoh terhadap Allah)…” (Qs. Al A’raaf : 138 )
Berkata Asy Syaikh Al Allamah Abdurahman As Sa’di Rahimahullah : “ Kebodohan mana yang lebih besar dari seseorang yang bodoh terhadap Rabbnya, Penciptanya dan ia ingin menyamakan Allah dengan selain Nya, dari orang yang tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat (bahaya), tidak mematikan, tidak menghidupkan dan tidak memiliki hari perkumpulan (kiamat) “ (Taisirul Karimirrahman Syaikh Al Allamah Abdurahman As Sa’di pada ayat ini)
Dan dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِى سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِى رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِى رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ « قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلاَّ سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ
“Dari Jabir berkata: “Kami keluar pada sebuah perjalanan, lalu salah seorang diantara kami tertimpa sebuah batu sampai melukai kepalanya kemudian ia mimpi basah lalu bertanya kepada para shahabatnya, apakah kalian mendapatkan rukhsah (keringanan) bagiku untuk bertayamum? Mereka menjawab : ‘kami tidak mendapatkan rukhsah untukmu, sedangkan engkau mampu menggunakan air. Kemudian ia mandi besar sehingga meningal dunia. Kemudian tatkala sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam, kejadian tersebut dikhabarkan kepada beliau. Maka beliau bersabda : “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membinasakan mereka. Mengapa mereka tidak bertanya, bila mereka tidak mengetahui. Karena sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya.” (HR. Abu Dawud, di Hasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Abu Dawud : 2/159)
Lihatlah bagaimana kebodohan seseorang menjadi sebab hilangnya nyawa orang lain.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullaah :
ولا ريب ان الجهل اصل كل فساد وكل ضرر يلحق العبد في دنياه واخراه فهو نتيجة
“Tidaklah diragukan bahwasanya kebodohan adalah pokok dari segala kerusakan dan dhoror (bahaya), kejelekan yang didapatkan oleh seorang hamba di dunia dan di akhirat adalah dampak dari kebodohan.” (Miftaah Daaris Sa’adah, 1/87)
Wahai saudaraku semoga Allah senantiasa mengaruniakan kepada kita nikmat menuntut ilmu syar’i. -Amin-.  Ada hal yang sangat penting untuk di perhatikan dalam menuntut ilmu. Diantarannya :
1. Memohon pertolongan, taufiq dan kekokohon kepada Allah Ta’aala dalam menuntut ilmu.
Manusia adalah makhluk yang sangat lemah, tidak ada daya dan upaya kecuali karena pertolongan Allah Subhaanahu wata’ala. Oleh karena itu mohonlah pertolongan kepada Allah dalam menuntut ilmu.
Allah Subhaanahu wata’ala berfirman
   إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang Kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.” (Qs. Al-Fatihah : 5).
2. Mengikhlaskan niat
Hendaknya seseorang mengikhlaskan niatnya dalam menuntut ilmu dalam rangka mencari ridha Allah semata dan bukan karena yang lainnya. Bukan karena mencari ketenaran atau agar dihormati orang atau mencari dunia.
Allah Subhaanahu wata’ala berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
 “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (Qs. Al-Bayyinah : 5)
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
 “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Qs. Al-Kahfi : 110)
3. Belajar dari guru bukan dari kitab
Ilmu di ambil dari lisannya para ulama. Dari para guru bukan dari kitab. Karena barangsiapa yang menjadikan kitab-kitabnya sebagai guru niscaya akan banyak kekeliruannya. Begitu juga belajar dari orang yang dikenal aqidah dan manhajnya.
Berkata Al-Imam Ibnu Siriin rahimahullah :
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Sesunguhnya ini ilmu agama maka perhatikanlah oleh kalian dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
4. Besungguh-sungguh dan berkesinambungan dalam menuntut ilmu
Seseorang hendaknya bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, dari menghadiri majelis ilmu, menghapalnya dan memuroja’ahnya (mengulang-ngulangnya). Dan berkesinambungan dalam menuntut ilmu tidak terputus ditengah jalan. Karena dengan bersungguh-sungguh dan tidak terputus ditengah jalan sebab seseorang berhasil dalam menuntut ilmu.
5. Waktu Yang Panjang
Menuntut ilmu membutuhkan waktu yang panjang tidak cukup sebulan dua bulan atau setahun dua tahun tetapi butuh waktu yang panjang.
6. Menjaga Ibadah
Perkara menjaga ibadah adalah perkara yang sangat penting yang tidak boleh di lalaikan oleh seseorang penuntut ilmu. Dari menjaga shalat jama’ah, shalat rawatib, shalat witr, dzikir sehabis shalat dan ibadah lainnya. Karena dengan ibadah hati kita bisa tentram. Jangan sampai kesibukkannya muraja’ah, menghapal dan yang lainnya menyibukkan ia dari beribadah kepada Allah Ta’aala.
7. Shabar
Maksudnya adalah agar ia bershabar dalam menuntut ilmu. Bershabar akan kesusahan didalam menuntut ilmu, bershabar  dengan rasa lelah, capek dan rasa lapar dalam menuntut ilmu.
وَاصْبِرُوا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
 “ Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Anfaal : 46)
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللهِ
 “Bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (Qs An-Nahl : 127)
8. Beradab dengan gurunya
Diantara adab dan etika yang perlu diperhatikan oleh penuntut ilmu adalah beradab dengan syaikhnya, beradab dengan gurunya. Menghormati, tawadhu dan menghargai gurunya dan adab-adab baik yang lainnya.
Itu diantara hal yang perlu diperhatikan bagi seseorang yang menuntut ilmu syar’i, semoga Allah senantiasa mengaruniakan kepada kita untuk selalu menuntut ilmu syar’i.
Selengkapnya...

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>