BERJALAN DI JALAN YANG LURUS

                                                    
                                                        Oleh Ali Wafa Abu Sulthon

Dalam mengarungi kehidupan ini , bagi seorang muslim untuk senantiasa berjalan di jalan yang lurus sebagaimana kita memohon kepada Allah Azza wajallah dalam  sholat kita ketika kita membaca  surah Al- fatihah yaitu
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيم   

Artinya : Tunjukkan kami ke jalan yang lurus ( Al- fatihah ayat :6)

Berkata Al imam Ibnu Katsir Rahimahullah : ilhamkan kami, berikan kami taufiq, berikan kami rizki dan anugerahkan kami dan hidayah itu ada dua yaitu al irsyad dan taufiq.
Berkata As-syaikh Abdur-Rahman As-Sa’di yaitu  Tunjukkan kami, bimbinglah kami, dan berikan kami Taufiq ke jalan yang lurus. Jalan yang lurus itu adalah jalan yang terang yang menuju kepada Allah, Surga- Nya, mengetahui yang Haq dan beramal dengan jalan yang lurus, Tunjukkan kami ke jalan itu dan tunjukkan kami di dalam jalan itu maka hidayah ke jalan itu yaitu berpegang teguh pada Dienul Islam dan meninggalkan Dien – dien yang lain dan petunjuk jalan itu meliputi semua petunjuk berupa jalan Ad- dien ini dengan Ilmu dan Amal dan ini adalah do’a yang mencakup Ad- dien ini dan bermanfaat bagi seorang hamba dan wajib baginya untuk memohon kepada Allah dalam setiap raka’atnya begitu pentingnya dan shirothol Mustaqim adalah ( Jalan yang engkau berikan Nikmat ) yaitu jalan para Nabi , orang – orang yang jujur  ( Ash-shiddiq) , orang – orang yang  syahid dan orang – orang yang sholeh.
Berkata Abu Aliyah berkenaan dengan Ayat ( tunjukan kami ke jalan yang Lurus – Al – Fatihah ayat 6 ) bahwa  itu jalan Rasulullah Shollallahu alaihi wa salam dan Shohabanya setelah beliau shollallahu alaihi wasallam yaitu Abu Bakar rodhiyallahu anhu dan Umar rodhiyallahuanhu .
 Abdur.Rahman ibn Zaid Ibn Aslam  berkata: berkenaan ayat ( tunjukkan kami ke jalan yang lurus  -- Al fatihah ayat 6) yaitu  Al Islam.

Dari penafsiran  para ulama yang di atas  berkenaan dengan Ash-shiroth-ol- Mustaqim dapat disimpulkan sebagai berikut :

Ash-shirathol Mustaqim meliputi sebagai berikut :
  1. Al irsyad ( Dalil – dalil yang bersumber dari Kitabullah dan As-sunnah dalam pemahaman para shahabat )
  2. Shirothul wadhih ( jalan yang terang tampa adanya  kegegelapan dan keraguan terhadap Al Islam )
  3. Ad- Dienul Islam
  4. Jalannya Rasulullah shollallahu alaii wasallam ( baik dari perkataan, perbuatan, pernyataan dan Aqidah ( I’tiqod = Keyakinan ) tampa menambah dan mengurangi pada Sunnah dan hadist Beliau shollallahu alaihi wasallam
  5. Jalannya  Ash- shodiq ( jalan para shohabat ridwanallahu alaihim )
  6. Taufiq ( jalan yang dibimbing oleh Allah azza wa jalla kepada seorang hamba untuk menjadi hamba yang ta’at , orang – orang yang syuhada’ dan orang – orang yang sholeh)
Shirothol Mustaqim ( jalan yang lurus ) harus berusaha untuk mendapatkannya dengan jalan tholabul ilmi ( menuntut ilmu syar’i  yaitu belajar dan memahami kitabullah dan As- Sunnah ash-sohihah sesuai dengan pemahaman para shahabat ( yang dikenal di Al Qur’an yaitu Ash-shodiqin dan syuhadah baik dari kalangan muhajirin dan anshor Ridhwanallahu alaihim)  yang dijaga oleh Allah Azza wa jalla wa tabaroka wa ta’ala dalam mendampingi Rasulullah Shollallahu alaihi wa sallam dan Allah Azza wa jalla telah menjamin mereka  yaitu para shahabat sebagaimana firmanya :

       وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ                                                                                                                             
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. –( At-Taubah  ayat  100)

Telah nyata kesabaran dan perjuangan para shahabat ridhwanallahu alaihim dalam mengakui, mempersaksikan, mendampingi, membela dan mencintai Rasulullah shollallahu alaihi wasallam untuk menegakkan Kalimat Tauhid di bawah bimbingan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam di atas wahyu yang disampaikan oleh Jibril alaihissalam dari Rabb semesta alam ini maka para shahabat ridwanallahu alaihim berada di jalan yang lurus dimana kita dilarang menyimpang dari jalan para shahabat Ridhwanallahu alaihim dengan tidak menyelisihi mereka, menghina salah satunya , meragukan salah satu dari mereka Ridwanallahu alaihim dalam mengemban syareat ini.


Kita tentu sudah maklum bahwa jalan atau metode itu bermacam-macam. Namun jalan atau metode yang lurus, yang tidak ada kebengkokan inilah yang perlu kita ketahui. Dan itulah sesungguhnya yang senantiasa kita pinta di setiap sholat kita. Para ulama ahli tafsir dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan selain mereka telah berbeda pendapat tentang hal ini. Namun perbedaan tersebut tetap bertemu dalam sebuah makna yang sama.
Abdulloh Ibnu Abbas dan Jabir rodhiyallohu’anhuma mengatakan bahwa maknanya ialah Islam. Pendapat ini juga diikuti oleh Muqotil rohimahulloh. Sedangkan Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu’anhu mengatakan bahwa maknanya ialah al-Qur’an. Seperti yang diriwayatkan secara marfu’ dari Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu’anhu bahwa shirothol mustaqim adalah Kitabulloh (al-Qur’an).
Sedangkan menurut Said bin Juber rodhiyallohu’anhu ia bermakna thoriq (jalan) ke Surga. Sedangkan Sahl bin Abdulloh mengatakan bahwa ia bermakna jalan (ahli) sunnah wal jama’ah. Sedangkan Bakar bin Abdulloh al-Muzani mengatakan bahwa ia bermakna jalan Rosululloh Shollallohu’alaihi wa sallam. (Tafsir al-Baghowi: 1/54)
Dari penjelasan para ulama ahli tafsir di atas bisa kita pahami bahwa shirothol mustaqim, yang setiap sholat kita pinta itu, ialah jalan Rosululloh Sholallohu alaihi wasallam, jalan ke Surga, adalah Kitabulloh, al-Qur’an, Islam, dan jalan ahlu sunnah wal jama’ah.
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi (Aisarut Tafasir: 1/5) berkata:
Ihdina artinya tunjuki dan arahkanlah kami, serta kekalkan petunjuk kami. Ash-shiroth artinya jalan yang menyampaikan ke keridhoan dan Surga-Mu, yaitu berislam kepada-Mu.  Al-mustaqim artinya yang tidak ada penyelewengan dari kebenaran dan petunjuk padanya. Makna ayat ini, dengan pengajaran dari Alloh Azza wa Jalla, bahwa seorang hamba mewakili seluruh saudaranya kaum mukminin mengucapkan doa meminta kepada Robbnya setelah bertawassul kepada-Nya dengan memuji, menyanjung, serta mengagungkan-Nya. Lalu dengan perjanjian serta pengakuan –dia beserta seluruh saudaranya kaum muslimin– untuk tidak beribadah selain hanya kepada-Nya, dan tidak memohon pertolongan selain kepada-Nya pula. Mereka meminta kepada-Nya agar mengekalkan hidayah mereka ke Islam dan dalam Islam sehingga tidak pernah terputus darinya.”
Syaikh Abdurrohman Bin Nashir as-Sa’di rohimahulloh (Taisirul Karimir Rohman: 1/39) berkata:
”Kemudian Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: …ihdinash shirothol mustaqim… artinya tunjukilah kami, arahkanlah kami, serta berikanlah taufiq kepada kami menuju shiroth mustaqim, yaitu jalan yang jelas yang menuju kepada Alloh dan Surga-Nya, ialah mengetahui kebenaran serta mengamalkannya. Maka tunjukilah kami menuju shiroth dan tunjukilah kami (tatkala kami telah) di shiroth. Petunjuk menuju shiroth ialah memegangi (ajaran) agama Islam dan meninggalkan agama apa pun selainnya. Sedangkan petunjuk di dalam shiroth mencakup petunjuk menuju seluruh perincian ajaran Islam secara ilmu serta amal. Do’a ini termasuk do’a yang paling luas cakupannya dan paling bermanfaat bagi hamba. Oleh karenanya wajib bagi setiap manusia berdo’a kepada Alloh dengan do’a tersebut di setiap roka’at sholatnya, mengingat kebutuhan hamba yang sangat mendesak akan hal ini.”
Jalan Orang-orang Yang Diberi Nikmat
Jalan ahlu sunnah wal jama’ah yang merupakan shirothol mustaqim adalah jalan ke Surga. Ia merupakan jalan para pendahulu kaum muslimin yang sholih, sebagaimana disebutkan oleh Alloh Azza wa Jalla di dalam surat al-Fatihah, bahwa ia merupakan jalan yang dilalui oleh mereka yang telah mendapat kenikmatan dari-Nya Azza wa Jalla. Siapakah mereka itu semua? Mereka adalah yang disebutkan oleh Alloh Ta’ala di dalam firman-Nya (yang artinya):
“Dan barangsiapa yang mentaati Alloh dan Rosul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Alloh, yaitu nabi-nabi, para shiddiiqiin (orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran rosul), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 69)
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Baghowi (Tafsir al-Baghowi: 1/54):
“Tentang firman-Nya: …yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat… artinya ialah orang-orang yang telah Engkau anugerahi hidayah dan taufiq. Ikrimah mengatakan: ‘Orang-orang yang telah Engkau anugerahi keteguhan di atas iman dan istiqomah, mereka ialah para nabi ‘Alaihimussalam.Ada pula yang mengatakan bahwa mereka ialah siapa saja yang telah Alloh Ta’ala teguhkan di atas iman, dari kalangan para nabi dan orang-orang beriman yang Alloh Azza wa Jalla sebutkan di dalam firman-Nya (QS. an-Nisa’ [4]: 69 -pen).”
Itulah shirothol mustaqim yang senantiasa kita pinta kepada Alloh Ta’ala dalam setiap sholat kita, bahkan setiap kita membaca surat al-Fatihah. Kita senantiasa meminta shirothol mustaqim dan senantiasa memohon agar dijauhkan dari jalan orang-orang yang dimurkai dan jalan orang-orang yang tersesat.
“Orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi, sedangkan orang yang tersesat ialah Nashroni. Sebab Alloh Ta’ala telah menetapkan kemurkaan bagi orang Yahudi, sebagaimana di dalam QS. al-Maidah [5]: 60. Dan telah menetapkan kesesatan kepada orang Nashroni, sebagaimana di dalam QS. al-Maidah [5]: 77.” (Tafsir al-baghowi 1/55)


Allohu a’lam bish showab.



Selengkapnya...

Membangun Kesempurnaan Tauhid di Ibadah Haji

Oleh Ali Wafa Abu Sulthon




Ibadah haji memiliki satu arti penting dalam pembinaan dan pendidikan seorang muslim karena berisi tauhid dan syiar-syiarnya serta berisi pendidikan praktis kepada pribadi muslim yang dimudahkan melakukan ibadah ini. Sehingga benarlah sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barang siapa berhaqji, lalu tidak berbuat keji dan kefasikan, maka ia keluar dari dosanya seperti ketika ibunya melahirkannya (HR. Muslim no.2404)
Dengan demikian salahlah mereka yang menunaikan ibadah haji hanya untuk mendapat kehormatan dan kedudukan atau hanya sebagai wisata dan hiburan semata.
Marilah kita jadikan haji kita sarana pendidikan dan pembinaan diri untuk mencapai insan yang kamilI.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksankana haji, yaitu pada haji wada’, yang di situ beliau menyampaikan cara-cara manasik kepada umat manusia, secara ucapan maupun amalan/praktek langsung. Beliau bersabda kepada umat manusia :
« خذوا عني مناسككم فلعلي لا ألقاكم بعد عامي هذا »
Ambillah dariku cara manasik haji kalian. bisa jadi aku tidak bertemu kalian lagi setelah tahun ini. HR. An-Nasa`i 3062
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umat manusia segala yang diamalkan dan diucapkan dalam ibadah haji, serta seluruh manasik haji, dengan sabda dan perbuatan-perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sungguh beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, dan berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad sampai ajal menjemput beliau.
Kemudian para khalifah ar-rasyidin dan para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum berjalan di atas manhaj (metode dan jalan) beliau yang lurus, dan menjelaskan kepada umat manusia risalah yang agung ini dengan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan, serta mereka menukilkan segala sabda dan perbuatan-perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia dengan penuh amanah dan kejujuran. Radhiyallahu ‘anhum.
Di antara tujuan terbesar dari ibadah haji adalah menyatukan barisan kaum muslimin di atas al-haq dan membimbingnya mereka kepada al-haq, agar mereka istiqamah di atas agama Allah, beribadah hanya kepada Allah satu-satu-Nya, dan tunduk patuh terhadap syari’at-Nya.
Sesungguhnya Allah Jalla wa ‘Ala telah mensyari’atkan ibadah haji kepada hamba-hamba-Nya, dan menjadikannya sebagai rukun Islam yang kelima, karena adanya hikmah yang banyak dan rahasia yang agung, di samping manfaat yang tak terhitung.
Allah Jalla wa ‘Ala telah menunjukkan hal itu dalam kitab-Nya yang agung ketika Allah Jalla wa ‘Ala berfirman :

قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ * إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ * فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ *

Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, adalah Baitullah yang di Bakkah (Makah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Ali ‘Imran : 95-97)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa Baitullah (Ka’bah) adalah rumah pertama yang dibangun untuk umat manusia, yakni di muka bumi, untuk ibadah dan bertaqarrub kepada Allah dengan amalan-amalan yang diridhai-Nya. Sebagaimana telah sah dalam Ash-Shahihain dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu dia berkata :
Aku bertanya, wahai Rasulullah, beritakan kepadaku tentang masjid pertama yang dibangun di muka bumi.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Al-Masjidil Haram.” Aku bertanya lagi, “Kemudian masjid mana lagi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Al-Masjidil Aqsha.” Aku lalu bertanya lagi, “Berapa lama jarak antara keduanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “40 tahun,” Aku bertanya, “Kemudian mana lagi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kemudian di mana pun waktu shalat tiba, maka shalatlah di situ, karena itu adalah masjid.” (HR. Al-Bukhari 3186, Muslim 520)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa rumah pertama yang dibangun untuk umat manusia adalah Al-Masjidil Haram, yaitu rumah yang dibangun untuk ibadah dan bertaqarrub kepada Allah, sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama. Sebelumnya sudah ada rumah-rumah untuk dihuni/tempat tinggal, namun yang dimaksud di sini adalah rumah pertama yang dibangun untuk ibadah, ketaatan, dan taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan ucapan dan amalan yang diridhai-Nya.
Kemudian setelah itu adalah Al-Masjidil Aqsha yang dibangun oleh cucu Nabi Ibrahim, yaitu Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim ‘alaihimush shalatu was salam. Kemudian diperbarui lagi pada akhir zaman setelah itu dengan jarak/jeda waktu yang sangat lama oleh Nabi Sulaiman ‘alaihish shalatu was salam.
Lalu setelah itu seluruh permukaan bumi adalah masjid. Kemudian datanglah Masjid Nabawi, yang itu merupakan masjid ketiga pada akhir zaman yang dibangun oleh Nabi akhir zaman, yaitu Nabi Muhammad ‘alaihish shalatu was salam. Beliau membangunnya setelah berhijrah ke Madinah, beliau membangunnya bersama-sama para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Beliau memberitakan bahwa Masjid Nabawi tersebut merupakan masjid paling utama (afdhal) setelah Al-Masjidil Haram.
Jadi masjid yang paling utama ada tiga. Yang terbesar dan paling utama adalah Al-Masjidil Haram, kemudian Masjid Nabawi, dan Al-Masjidil Aqsha.
Shalat di ketiga masjid tersebut dilipatgandakan pahalanya. Terdapat dalam hadits yang shahih :
« أنها في المسجد الحرام بمائة ألف صلاة »
Shalat di Al-Masjidil Haram sama dengan 100.000 (seratus ribu) kali shalat. (HR. Ibnu Majah 1413)
Tentang Masjid Nabawi :
« الصلاة في مسجده خير من ألف صلاة فيما سواه , إلا المسجد الحرام »
Shalat di masjidku lebih baik daripada 1000 (seribu) kali shalat di selainnya, kecuali di al-masjidil haram.. HR. Al-Bukhari 1133, Muslim 1394
Dan tentang Al-Masjidil Aqsha :
« أنها بخمسمائة صلاة »
Sebanding dengan 500 kali shalat.
Jadi tiga masjid tersebut merupakan masjid yang agung dan utama, itu merupakan masjidnya para nabi ‘alahimush shalatu was salam.
Allah Jalla wa ‘Ala mensyari’atkan ibadah haji kepada hamba-hamba-Nya karena padanya terdapat kemashlahatan yang sangat besar. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa haji itu wajib atas para hamba yang mukallaf dan mampu menempuh perjalanan kepadanya. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Al-Qur`an dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Atas manusia terdapat kewajiban haji untuk Allah semata, barangsiapa yang mampu menempuh perjalanan ke Baitullah. (Al-‘Imran : 97)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan umat manusia : 

« أيها الناس إن الله كتب عليكم الحج فحجوا . فقيل : يا رسول الله أفي كل عام ؟ فقال : الحج مرة فمن زاد فهو تطوع »

Wahai umat manusia, sesungguhnya Allah telah menuliskan kewajiban haji atas kalian. maka berhajilah kalian! Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah apakah setiap tahun (kewajiban tersebut)?” Nabi menjawab, “(Kewajiban) haji sekali saja. Barangsiapa yang menambah (berhaji lagi) maka itu sunnah.” (HR. Muslim 1337)
Jadi kewajiban haji hanya sekali seumur hidup. Adapun selebihnya maka itu sunnah. Kewajiban ini berlaku kepada kaum pria maupun kaum wanita, yang mukallaf dan mampu melakukan perjalanan ke Baitullah.
Adapun setelah itu, maka itu merupakan ibadah sunnah dan taqarrub yang agung. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
« العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة »
Umrah ke ‘umrah berikut merupakan penebus dosa (yang terjadi) antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali al-jannah. (HR. Al-Bukhari 1683, Muslim 1349)

Kewajiban terbesar yang Allah tetapkan adalah mentauhidkan-Nya dan memurnikan ibadah hanya untuk-Nya, di semua tempat dan semua waktu, termasuk ditempat agung nan penuh barakah ini. Sesungguhnya termasuk kewajiban terbesar adalah memurnikan peribadahan untuk Allah semata di semua tempat dan di semua waktu, maka di tempat ini (di Makkah) kewajiban tersebut lebih besar dan lebih wajib lagi. Maka wajib memurnikan (ibadah) hanya untuk Allah semata dalam ucapan maupun perbuatan, baik berupa thawaf, sa’i, do’a, dan yang lainnya. Demikian juga amalan-amalan lainnya, semuanya harus murni untuk Allah Jalla wa ‘Ala semata dan harus menjauhi segala kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, menjauhi perbuatan menzhalimi dan mengganggu hamba baik dengan ucapan maupun penbuatan. Seorang mukmin itu sangat bersemangat untuk memberikan manfaat terhadap saudara-saudaranya, berbuat baik kepada mereka, dan mengarahkan mereka kepada kebaikan, serta menjelaskan hal-hal yang belum mereka ketahui dari perintah dan syari’at Allah, dengan waspada dari mengganggu mereka, menzhalimi mereka baik terkait darah/nyawa, harta, maupun kehormatan mereka. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzhaliminya, tidak menghinakannya, dan tidak menyia-nyiakannya, sebaliknya ia mencintai untuk saudaranya segala kebaikan dan membenci kejelekan untuk saudaranya, di mana pun berada, terlebih lagi di Baitullah, di tanah haram, dan di negeri Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya Allah telah menjadikan tanah haram ini sebagai tempat yang aman, Allah jadikan aman dari segala hal yang ditakuti oleh manusia. Maka seorang muslim harus benar-benar perhatian, agar dirinya menjadi orang yang terpercaya terhadap saudaranya, menasehati, dan mengarahkannya. Tidak malah menipunya, atau mengkhianati dan mengganggunya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Allah telah menjadikan tanah haram ini sebagai tempat yang aman, sebagaimana firman-Nya :
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا
Ingatlah ketika Kami menjadikan Ka’bah ini sebagai tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman.
Allah Jalla wa ‘Ala juga berfirman :
أَوَلَمْ نُمَكِّنْ لَهُمْ حَرَمًا آمِنًا يُجْبَى إِلَيْهِ ثَمَرَاتُ كُلِّ شَيْءٍ رِزْقًا مِنْ لَدُنَّا
Bukankah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam Tanah Haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh- tumbuhan) untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami? (Al-Qashash : 57)
Maka seorang mukmin harus benar-benar bersemangat untuk mewujudkan keamanan tersebut. Hendaknya dirinya berupaya serius untuk memberikan kebaikan kepada saudaranya, membimbing mereka kepada sesuatu yang bermanfaat, membantu mereka dalam urusan dunia maupun urusan agama, kepada segala yang membuat hatinya lapang, dan membantunya untuk menunaikan manasik. Sebagaimana ia juga berupaya serius untuk menjauhi dari berbagai maksiat yang Allah haramkan. Di antara kemaksiatan tersebut adalah mengganggu manusia yang lain. Sesungguhnya itu di antara perbuatan haram yang terbesar. Apabila gangguan tersebut dilakukan terhadap para jama’ah dan ‘umrah Baitullah Al-Haram, maka menjadi kezhaliman yang lebih besar lagi dosanya, lebih keras hukumannya, dan lebih parah akibatnya.
Haji dan ‘Umrah merupakan dua ibadah besar, termasuk ibadah yang terbesar, yang terdapat di belakangnya pahala yang sangat besar, manfaat yang sangat banyak, hasil-hasil yang baik, untuk segenap kaum muslimin di segala penjuru dunia.


Selengkapnya...

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>