KEUTAMAAN BERHARI RAYA IDUL FITRI DAN IDUL ADHA BERSAMA PEMERINTAH

Oleh Ali Wafa Abu Sulthon
 



Setiap muslim, hendaklah berpuasa bersama dengan negara tempat ia tinggal, dan berbuka dengannya, sesuai sabda Nabi.

الصوم يوم تصومون , و الفطر يوم تفطرون , و الأضحى يوم تضحون

“Artinya : Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih” 

Sebagaimana fatwa As-Syaikh Al Bany Rahimahullah berkenaan tentang permasalahan shaum   berkata :  
Saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negeri berpuasa dengan pemerintahnya, tidak berpecah belah, sebagian berpuasa dengan negaranya dan sebagian (lainnya) berpuasa dengan negara lain –baik puasanya tersebut mendahului yang lainnya atau terlambat- karena akan memperluas perselisihan di masyarakat, sebagaimana yang terjadi di disebagian negara Arab. Wallahull Musta’an.[Tamamul Minnah, hal. 398]

Beliau ketika mensyarahkan hadits:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan berkurban/ Iedul Adha di hari kalian berkurban.”

[HR. at-Tirmidzi no. 697, dishohihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shohihah no. 224]

Beliau berkata:

FIQIH HADITS

At-Tirmidzi berkata :

 “dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata : makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan mayoritas orang (Ummat Islam).”

Ash-Shon’ani berkata dalam Subulus Salam (2/27) :

“Pada hadits ini ada dalil bahwa yang teranggap dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya dengan melihat hilal tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber’iedul Fithri atau pun berkurban”.

Ibnul Qayyim menyebutkan makna hadits ini dalam Tahdzibus Sunan (3/214):

“Dikatakan bahwa pada hadits ini terdapat bantahan atas orang yang berkata:

‘Sesungguhnya barangsiapa yang melihat munculnya bulan dengan mengukur tempat-tempat terbitnya (cara hisab), boleh baginya berpuasa dan beriedul Fithri sendiri, tidak seperti orang yang tidak mengetahuinya’.

Dikatakan bahwa seorang yang melihat munculnya hilal sendirian, tetapi hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia pun belum berpuasa”.

Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata dalam kitabnya Hasyiyah ‘ala Sunan Ibni Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan at-Tirmidzi :

“Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan awal Ramadhan, Iedul Fithri dan Iedul Adha, pent) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada penguasa/ pemerintah dan mayoritas umat Islam.

Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.”

Aku (al-Albani) katakan :

“Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq yang melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu hari nahr/berkurban (yakni, sudah ‘iedul Adha, pent), lalu ‘Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah berkata :

النَحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ, وَالفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ

“Nahr adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari manusia berbuka.”2

Aku (al-Albani) katakan : Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang diantara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan.

Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah.

Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat radhiallahu ‘anhum shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?!

Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna dalam safar dan diantara mereka pula ada yang mengqasharnya. Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah.

Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada saat berkumpulnya manusia seperti di Mina.

Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina 4 rakaat. Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku dulu shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”

Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhum ajma’in.

Hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang selalu berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih bahwa keadaan para imam itu beda dengan madzhab mereka!

Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan kebanyakan kaum muslimin.

Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.”
 (As-Silsilah ash-Shohihah oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani -rahimahullah )
Perkataan salafush shålih tentang wajibnya berhari-raya bersama imam

- Hasan al-Bashri berkata tentang umaro’ :

في الأمراء هم يلون من أمورنا خمساً : الجمعة، والجماعة، والعيد، والثغور، والحدود. والله لا يستقيم الدين إلا بهم، وإن جاروا وظلموا والله لما يصلح الله بهم أكثر مما يفسدون، مع أن طاعتهم – والله – لغبطة وأن فرقتهم لكفر )) ا.هـ )

“Mereka mengatur urusan kita pada 5 perkara : sholat jum’at, sholat jama’ah, sholat ‘Ied, perang (jihad), dan hukum had. Demi Allah, tidak akan lurus agama ini kecuali dengan adanya mereka, walaupun mereka aniaya dan dzolim. Demi Allah, Allah memperbaiki melalui mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak, karena sesungguhnya ta’at kepada mereka -demi Allah- adalah kebaikan, dan menyelisihi mereka adalah kekufuran.”

[lihat "Adab al-Hasan al-Bashri" karya Ibnul Jauzi (hal. 121), dan lihat "Jami'ul 'Ulum wal Hikam" karya Ibnu Rojab (2/117)], dll]

Perkataan beliau “adalah kekufuran” (لكفر) maksudnya adalah : Kufur yang tidak sampai murtad (كفر دون كفر : kufrun duuna kufrin)

- Dan al-Lalika’i asy-Syafi’iy juga meriwayatkan (1/161) dalam I’tiqod al-Imam Ahmad bin Hambal yang diriwayatkan oleh Abdus bin Malik al-Aththor, bahwa ia (Ahmad) berkata :

وصلاة الجمعة خلفه وخلف من ولي جائزة، تامة ركعتين، من أعاداهما فهو مبدع، تارك للآثار، مخالف للسنة، وليس له من فضل الجمعة شيء إذا لم ير الصلاة خلف الأئمة من كانوا برهم وفاجرهم. فالسنة أن تصلي معهم ركعتين، من أعادهما فهو مبتدع وتدين بأنها تامة، ولا يكن في صدرك من ذلك شك )) ا هـ.

“dan sholat jum’at dibelakangnya (pemimpin) dan di belakang orang yang diwakilkan, 2 roka’at secara sempurna, barangsiapa yang mengulang sholat (yakni setelah sholat bersama imam, pent) maka ia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah), menginggalkan atsar, menyelisihi sunnah!

Dan tidak ada baginya keutamaan sholat jum’at sama sekali jika ia tidak berpendapat untuk sholat di belakang para imam walaupun mereka (imam) itu baik atau fajir. Dan yang sunnah adalah engkau sholat bersama mereka 2 roka’at, barang siapa yang mengulangi maka ia adalah mubtadi’, dan engkau meyakini bahwa sholat tersebut adalah sempurna (sah, pent) dan jangan ada keraguan pada hatimu dalam masalah itu.”

[Riwayat ini juga ada pada Ushulus Sunnah oleh al-Imam Ahmad, hal. 68. Tahqiq al-Walid bin Muhammad Nabiih, pent]

- Dan Harb meriwayatkan adanya ijma’ ‘ulama dalam masalah ini, dalam kitab al-Masa’il yang masyhur yang tertulis padanya :

هذه مذاهب أهل العلم وأصحاب الأثر، وأهل السنة المتمسكين بها، المقتدي بهم إلي يومنا هذا، وأدركت من أدركت من علماء أهلrفيها، من لدن أصحاب النبي الحجاز والشام وغيرهم عليها. فمن خالف شيئاً من هذه المذاهب، أو طعن فيها، أو عاب قائلها، فهو مخالف مبتدع، خارج عن الجماعة، زائل عن منهج السنة وسبيل الحق

“ini adalah madzhab para ‘ulama dan ash-habul atsar (pengikut atsar); dan ahlus sunnah berpegang teguh padanya (pada masalah ini, pent), mengikuti mereka dalam masalah ini, mulai dari zaman shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang.

Dan aku mendapati orang-orang yang kutemui dari para ‘ulama ahlul Hijaz, Syam, dan lain-lain berada di atas madzhab ini. Maka barang siapa yang menyelisihi sesuatu dari madzhab ini atau mencelanya atau menjelekkan orang yang mengucapkannya, maka ia adalah orang yang menyimpang, mubtadi’, keluar dari al-Jama’ah, menyimpang dari manhaj sunnah dan jalan yang haq.”

- Ia (Harb) berkata :

وهو مذهب أحمد، وإسحاق بن إبراهيم، وعبد الله بن مخلد وعبد الله بن الزبير الحميدي ،وسعد بن منصور، وغيرهم ممن جالسنا ،وأخذنا عنهم العلم، وكان من قولهم …. والجمعة والعيدان، والحج مع السلطان، وإن لم يكونوا بررة عدولاً أتقياء، ودفع الصدقات، والخراج والأعشار والفيء، والغنائم إليهم، عدلوا فيها، أو جاروا … ا هـ

“dan ini adalah madzhab (pendapat) Ahmad, Ishaq bin Ibrohim, Abdullah bin Mukhollad, Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi, Sa’ad bin Manshur, dan yang selain mereka dari para ‘ulama yang kami duduk dan mengambil ‘ilmu dari mereka.

dan diantara perkataan mereka : “….dan sholat jum’at, sholat 2 ‘ied, dan haji bersama penguasa, walaupun mereka bukan orang yang baik, adil dan bertaqwa. Dan menyerahkan shodaqoh-shodaqoh, al-A’syar, fai’, dan ghonimah kepada mereka, walaupun mereka adil atau dzolim….”

[Dinukil secara sempurna oleh Ibnul Qoyyim dalam Hadi al-Arwah hal. 399]




Selengkapnya...

JAUHILAH DIRI DARI FITNAH





Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Takutlah kalian kepada fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim diantara kalian secara khusus. Dan ketahuilah Sesungguhnya Allah adzab-Nya sangat pedih ( Al – Anfal -25 )

Al – Imam  Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini,
يحذر تعالى عباده المؤمنين { فِتْنَةً } أي: اختبارًا ومحنة، يعم بها المسيء وغيره، لا يخص بها أهل المعاصي ولا من باشر الذنب، بل يعمهما، حيث لم تدفع وترفع
“Ayat ini, walaupun merupakan pembicaraan yang ditujukan kepada para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, akan tetapi ayat ini berlaku umum pada setiap muslim karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam men-tahdzir (memperingatkan) dari fitnah.

Kata fitnah dalam konteks ayat datang dalam bentuk nakirah (umum), sehingga mempunyai makna yang umum, menyangkut segala sesuatu yang merupakan fitnah bagi manusia.

Dan dikatakan di dalam ayat, “takutlah kalian …,” menunjukkan bahwa fitnah itu buta dan tuli, tidak pandang bulu, serta dapat menimpa siapa saja. Berkata Imam Asy-Syaukany dalam Tafsir -nya, “Yaitu takutlah kalian kepada fitnah yang melampaui orang-orang yang zhalim sehingga menimpa orang shalih dan orang thalih ‘tidak shalih’ dan timpahan fitnah itu tidak khusus bagi orang yang langsung berbuat kezhaliman tersebut di antara kalian.”


Imam Al-Alusy, dalam menafsirkan kata fitnah dalam ayat ini, berkata,
أي لا تختص إصابتها لمن يباشر الظلم منكم بل تعمه وغيره والمراد بالفتنة الذنب وفسر بنحو إقرار المنكر والمداهنة في الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وافتراق الكلمة وظهور البدع والتكاسل في الجهاد حسبما يقتضيه المعنى
 “Fitnah ditafsirkan (oleh para ulama salaf) dengan beberapa perkara, di antaranya Mudahanah dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan diantaranya perselisihan dan perpecahan, dan diantaranya meninggalkan pengingkaran terhadap bid’ah-bid’ah yang muncul dan lain-lainnya.” Kemudian beliau berkata, “Setiap makna tergantung dari konsekuensi keadaannya.”




Definisi Fitnah

Fitnah dalam syariat Islam mempunyai beberapa makna:

Pertama, Bermakna syirik, seperti dalam firman Allah Ta’ala,

“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah dan sampai agama semuanya untuk Allah.” [ Al-Baqarah: 193 ]

Yaitu hingga tidak ada lagi kesyirikan.

Juga Allah berfirman,

“Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” [ Al-Baqarah: 217 ]

Kedua, Bermakna siksaan dan adzab, seperti dalam firman Allah Ta’ala,

“ (Dikatakan kepada mereka), ‘ Rasakanlah fitnahmu itu. Inilah fitnah yang dahulu kamu minta supaya disegerakan. ’.” [ Adz-Dzariyat: 14 ]

Dan Allah Jalla Jalaluhu berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan fitnah kepada orang-orang yang mu k min laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka adzab Jahannam dan bagi mereka adzab (neraka) yang membakar.” [ Al-Buruj: 10 ]

Makna fitnah dalam dua ayat ini adalah siksaan dan adzab.

Ketiga , Bermakna ujian dan cobaan, seperti dalam firman Allah Ta’ala,

“Dan kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah (yang sebenar-benarnya).” [ Al-Anbiya`: 35 ]

Allah Jalla Wa ’ Ala menyatakan pula dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu hanyalah merupakan fitnah.” [ Al-Anfal: 28 ]

Keempat , Bermakna musibah dan balasan, sebagaimana tafsiran para ulama dalam surah Al-Anfal ayat 25 di atas,

“Takutlah kalian kepada fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim diantara kalian secara khusus.”

(Lihat Mauqiful Mu’min Minal Fitan Karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Mufradat Al-Qur`an karya Ar-Raghib Al-Ashbahany)

Demikianlah def i nisi fitnah, tetapi harus diketahui oleh setiap muslim bahwa fitnah yang ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala itu mempunyai hikmah di belakangnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“ Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” [ Al-‘Ankabut: 1-3 ]

Berikut ini kami akan menyebutkan beberapa kaidah-kaidah pokok yang harus dipegang oleh setiap muslim dalam menghadapi fitnah.

Kaidah Pertama, Pada setiap perselisihan merujuk pada Al-Qur`an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama salaf.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [ An-Nisa`: 59 ]

Dan Allah Jalla Tsana`uhu berfirman,

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” [ Al-A’raf: 3 ]

Kemudian di dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا كِتَابُ اللهِ وَسُنَّتِيْ

“Saya tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan sesat di belakang keduanya, (yaitu) kitab Allah dan Sunnahku.” (HR. Malik dan Al-Hakim dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Misykah )

Kemudian Allah Ta’ala menyatakan,

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. [ An-Nisa`: 65 ]

Ingatlah bahwa menentang Allah dan Rasul-Nya adalah sebab kehinaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina.” [ Al-Mujadilah: 20 ]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam juga mengingatkan dalam hadits Ibnu ‘Umar,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara `inah ‘menjual barang dengan cara kredit kepada seseorang kemudian ia kembali membelinya dari orang itu dengan harga kontan lebih murah dari harga kredit tadi-pent’ dan kalian telah ridha dengan perkebunan dan kalian telah mengambil ekor-ekor (sibuk beternak?) sapi dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang tidak akan diangkat sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawuddan lain-lainnya dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 11)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam juga mengingatkan dalam hadits beliau,

وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِيْ

“Dan telah dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi orang yang menyelisihi perintahku.” (Hadits hasan dari seluruh jalan-jalannya. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1269)

Ketahuilah bahwa menyelisihi Allah dan Rasul-Nya adalah sebab turunnya musibah dan siksaan dan sebab kehancuran dan kesesatan. Allah Al-Wahid Al-Qahhar menegaskan dalam firman-Nya,

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” [ An-Nur: 63 ]

Juga dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

“Apapun yang saya melarang kalian darinya maka jauhilah hal tersebut dan apapun yang saya perintahkan kepada kalian maka laksanakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian hanyalah banyaknya pertanyaan mereka dan penyelisihan mereka terhadap para Nabinya.”

Kemudian Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلاَّ عَمِلْتُ بِهِ إِنِّيْ أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ

“Tidaklah saya meninggalkan sesuatu apapun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wa sallam mengerjakannya kecuali saya kerjakan karena saya takut kalau saya meninggalkan sesuatu dari perintah beliau saya akan menyimpang.” (HSR. Bukhary-Muslim)

Memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah harus dengan pemahaman para ulama Salaf. Allah Jalla Fi ‘Ulahu berfirman,

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [ An-Nisa`: 115 ]

Juga dalam hadits yang mutawatir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah zamanku, kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya.”

Beliau menyatakan pula,

افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqah ‘ golongan ’ dan telah terpecah orang-orang Nashara menjadi tujuh puluh dua firqah dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqah. Semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah.” (Hadits shahih, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Zhilalul Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain -rahimahumallahu-)

Karena itulah, Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang teguh di atas apa yang para shahabat berada di atasnya dan mengikuti mereka.” Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/176.

Allahu Akbar …! Betapa kuatnya pijakan seorang muslim bila ia berpegang teguh dengan Al Qur`an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama salaf. Ini merupakan senjata yang paling ampuh dan tameng yang paling kuat dalam menghadapi dan menangkis setiap fitnah yang datang. Sejarah telah membuktikan bagaimana orang-orang yang berpegang teguh kepada Al Qur`an dan Sunnah selamat dari fitnah dan mereka tetap kokoh di atas jalan yang lurus.

Lihatlah kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu , ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengirim Usamah bin Zaid untuk memimpin 700 orang dalam menggempur kerajaan Rum. Ketika pasukan tersebut tiba di suatu tempat yang bernama Dzu Khasyab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam meninggal. Maka mulailah orang-orang Arab di sekitar Madinah murtad dari agama sehingga para shahabat mengkhawatirkan keadaan kota Madinah. Lalu para shahabat berkata kepada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, kembalikan pasukan yang dikirim ke kerajaan Rum itu, apakah mereka diarahkan ke Rum sedang orang-orang Arab di sekitar Madinah telah murtad?” Maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi yang tidak ada sesembahan yang berhak selain-Nya, andaikata anjing-anjing telah berlari di kaki-kaki para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam , saya tidak akan menarik suatu pasukan pun yang dikirim oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan saya tidak akan melepaskan bendera yang diikat oleh Rasulullah.”

Lihat bagaimana gigihnya Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berpegang dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam kondisi yang sangat genting seperti ini dan betapa kuatnya keyakinan beliau akan kemenangan orang yang menjalankan perintah-Nya.

Maka yang terjadi setelah itu, setiap kali pasukan Usamah bin Zaid melewati suatu suku yang murtad, suku yang murtad itu berkata, “Andaikata mereka itu tidak mempunyai kekuatan, tentu tidak akan keluar pasukan sekuat ini dari mereka. Tetapi kita tunggu sampai mereka bertempur melawan kerajaan Rum.” Lalu bertempurlah pasukan Usamah bin Zaid menghadapi kerajaan Rum dan pasukan Usamah berhasil mengalahkan dan membunuh mereka. Kemudian kembalilah pasukan Usamah dengan selamat dan orang-orang yang akan murtad itu tadi tetap di atas Islam.

(Baca kisah ini dalam Madarik An-Nazhar hal. 51-52 cet. kedua)

Maka lihatlah, wahai orang-orang yang menghendaki keselamatan! Peganglah kaidah pertama ini dengan baik, niscaya engkau akan selamat dari fitnah di dunia dan di akhirat.

Kaidah Kedua, merujuk kepada para ulama.

Allah Al-Hakim Al-‘Alim mengisahkan tentang Qarun dalam firman-Nya,

“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.’ Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, ‘Celakalah kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar.’ Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap adzab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” [ Al-Qashash: 79-81 ]

Karena itulah Imam Hasan Al-Bashry berkata, “Sesungguhnya bila fitnah itu datang, diketahui oleh setiap ‘alim (ulama), dan apabila telah terjadi (lewat), maka baru diketahui oleh orang-orang yang jahil.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda pula dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit riwayat Imam Ahmad dan lain-lain,

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِيْ مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفُ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

“Bukan dari ummatku siapa yang tidak menghormati orang yang besar dari kami dan tidak merahmati orang yang kecil dari kami dan tidak mengetahui hak orang yang alim dari kami.” (Dihasankan oleh Syaikh Al Albany dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir )

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim, Ibnu Hibban dan lain-lain,

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

“Berkah itu bersama orang-orang besarnya kalian.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah no. 1778)

Fitnah akan bermunculan apabila para ulama sudah tidak lagi dijadikan sebagai rujukan, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الْأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِيْ أَمْرِ الْعَامَّةِ

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, akan dipercaya/dibenarkan padanya orang yang berdusta dan dianggap berdusta orang yang jujur, orang yang berkhianat dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap berkhianat dan akan berbicara Ar-Ruwaibidhah. Ditanyakan, ‘ Siapakah Ar-Ruwaibidhah itu? ’ Beliau berkata, ‘ Orang yang bodoh berbicara dalam perkara umum.” (Dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain )

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam juga bersabda dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash riwayat Bukhary-Muslim,

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari para hamba akan tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut (mewafatkan) para ulama sampai bila tidak tersisa lagi seorang alim maka manusia pun mengambil para pemimpin yang bodoh maka mereka pun ditanya lalu mereka memberi fatwa tanpa ilmu maka sesatlah mereka lagi menyesatkan.”

Berkata pula ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ صَالِحِيْنَ مُتَمَاسِكِيْنَ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَمِنْ أَكَابِرِهِمْ فَإِذَا أَتَاهُمْ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ هَلَكُوْا

“Manusia masih akan senantiasa sebagai orang yang shalih lagi berpegang teguh sepanjang ilmu datang kepada mereka dari para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan orang-orang besar mereka. Maka apabila (ilmu) datang kepada mereka dari orang-orang kecil, binasalah mereka.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Madarik An-Nazhar hal. 161)

Kaidah Ketiga , tidak boleh berkomentar dalam perkara-perkara nawazil kecuali para ulama besar ahli ijtihad.

Nawazil adalah kata jamak dari nazilah, maksudnya yaitu kejadian-kejadian atau masalah-masalah kontemporer yang terjadi pada kaum muslimin. Nawazil ini dikenal juga dengan istilah hawadits.

Ukuran Ulama Besar Ahli Ijtihad

Berkata Ibnul Qayyim dalam I’lam Al-Muwaqqi’in 4/212, “Orang yang alim terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan perkataan para shahabat, maka dialah mujtahid (ahli ijtihad) pada perkara-perkara nawazil.”

Berkata imam Asy-Syatiby dalam Al I’tisham , “Bahkan apabila dihadapkan kepadanya perkara-perkara nawazil kemudian dia mengembalikan pada ushul-nya, ia mendapatkan (penyelesaiannya) di dalamnya, dan hal tersebut tidak didapatkan oleh orang yang bukan mujtahid, tetapi hanyalah didapatkan oleh para mujtahid yang disifatkan dalam ilmu ushul fiqih.”

Ibnu Rajab mencontohkannya seperti Imam Ahmad, kemudian beliau menjelaskan sisi kepantasan Imam Ahmad untuk berfatwa dalam nawazil. Di antara kriteria Imam Ahmad yang disebutkan oleh Ibnu Rajab yaitu beliau telah mencapai puncak pengetahuan tentang Al-Qur`an, As-Sunnah dan Al-Atsar. Ilmu Al-Qur`an di antaranya tentang An-Nasikh Wal Mansukh, Al-Mutaqaddim Wal Muta`akhkhir serta tafsir para shahabat dan tabi’in. Ilmu As-Sunnah di antaranya hafalan beliau terhadap hadits, pengetahuan tentang shahih dan dhaif suatu hadits, pengetahuan tentang rawi-rawi yang tsiqah dan majruh, serta pengetahuan tentang jalan-jalan hadits dan cacat-cacatnya. Kemudian Ibnu Rajab berkata, “Telah dimaklumi, siapa pun yang memahami semua ilmu ini dan sangat menguasainya, adalah suatu hal yang sangat mudah baginya untuk mengetahui Hawadits dan memberikan jawabannya.”

Dalil kaidah ketiga ini adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah akan diketahui hal tersebut oleh orang-orang yang ber- istinbath di antara mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalaulah bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antara kalian).” [ An-Nisa`: 83 ]

Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy menafsirkan ayat ini, “Ini adalah pelajaran adab dari Allah kepada para hamba-Nya tentang perbuatan mereka ini yang tidak layak. Dan yang pantas bagi mereka apabila datang kepada mereka suatu perkara dari perkara-perkara yang penting dan maslahat-maslahat umum yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum mukminin atau (berkaitan) dengan ketakutan yang di dalamnya terdapat musibah, maka wajib atas mereka untuk ber-tatsabbut (mencari kejelasan) dan jangan tergesa-gesa menyebarkan berita tersebut bahkan hendaknya mereka mengembalikannya kepada Rasul dan kepada Ulil Amri di antara mereka, yaitu Ahli ra’yi wal ilmi wan nushhi wal aqli war razanah (para ahli dalam menilai/menimbang, mengilmui, menasihati, berfikir, dan mereka memiliki ketenangan) yang mengetahui berbagai perkara dan apapun yang merupakan maslahat dan kebalikannya. Kalau mereka melihat penyebaran berita tersebut sebagai maslahat, menambah semangat kaum mukminin, kegembiraan bagi mereka dan benteng dari musuh-musuh mereka maka mereka mengerjakannya (menyebarkannya). Dan kalau mereka melihat tidak ada maslahat padanya atau ada maslahat tapi bahayanya melebihi maslahatnya maka tidaklah mereka sebarkan, karena itulah (Allah Subhanahu Wa Ta ’ala) berfirman, ‘ Maka akan diketahui hal tersebut oleh orang-orang yang ber- istinbath dari mereka, ’ yaitu mereka akan mengeluarkan hal tersebut dengan pemikiran mereka dan pendapat-pendapat mereka yang lurus dan ilmu mereka yang berada di atas petunjuk.”

Allahu Akbar! Betapa sempurnanya tuntunan Islam. Andaikata kaum muslimin beramal dengan kaidah ini, niscaya mereka akan terjaga dari fitnah. Sungguh berbagai macam fitnah yang melanda kaum muslimin disebabkan oleh kekurangajaran sebagian orang yang tidak tahu kadar dirinya dan merasa bangga dengan kemampuannya, atau dengan segala titel yang mereka sandang, sehingga dengan sangat lancangnya berani berkomentar dalam perkara-perkara nawazil yang terjadi pada kaum muslimin. Maka wajarlah jika muncul berbagai macam kerusakan dan fitnah yang lebih besar karena ulah segelintir orang yang tidak tahu diri ini. Cukuplah hal tersebut sebagai dosa yang sangat besar bagi orang yang menyelisihi perintah dalam surah An-Nisa` di atas dan juga dia tergolong orang-orang yang tidak menempatkan amanah pada tempatnya, yang amanah itu harusnya diserahkan kepada ahlinya, yaitu para ulul amri: para ulama besar dan penguasa. Tidak menempatkan amanah pada tempatnya adalah pelanggaran terhadap perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan merupakan salah satu tanda hari kiamat.

Allah Subhanahu Wa Ta ’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [ An-Nisa`: 58 ]

Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, ketika ditanya tentang kapan terjadinya hari kiamat, bersabda,

فَإِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

“Apabila amanah telah ditelantarkan maka tunggulah hari kiamat.” Maka orang itu kembali bertanya, “Kapan ditelantarkannya?” Beliau menjawab, “Apabila perkara telah diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah hari kiamat.” (HSR. Bukhary dari shahabat Abu Hurairah)

Menyerahkan perkara nawazil kepada ulil amri merupakan ushul ‘ pokok ’ syariat Islam yang dipegang oleh para imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah dari zaman ke zaman.

Berkata Abu Hatim Ar-Razy, “Madzhab dan pilihan kami adalah mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam dan para shahabat beliau, para tabi’in dan orang-orang setelah mereka (yang mengikuti mereka) dengan baik … . Dan komitmen terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan membela para imam yang mengikuti jejak para ulama salaf. Dan pilihan kami (adalah) apa yang dipilih oleh Ahlus Sunnah dari para imam di berbagai negeri, seperti Malik bin Anas di Madinah dan Al-Auza’iy di Syam dan Al-Laits bin Sa’ad di Mesir dan Sufyan Ats-Tsaury serta Hammad bin Zaid di Iraq pada hawadits yang tidak diketemukan tentangnya riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, para shahabat dan tabi’in. Dan meninggalkan pendapat-pendapat Al-Mulabbisin ‘ orang-orang yang menyamar-nyamarkan perkara ’ , Al-Mumawwihin ‘ orang-orang yang mengaburkan perkara ’ , Al-Muzakhrifin ‘ orang-orang yang menghias-hiasi/memperindah perkara dari yang sebenarnya ’ , Al-Mumakhriqin ‘ para pembohong ’ lagi Al-Kadzdzabin ‘ para pendusta ’ .” Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 1 hal. 202 karya Al-Lalika`i.

Berkata pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Minhajus Sunnah jilid 4 hal. 404, di tengah pembicaraan beliau terhadap masalah jihad, “Secara global, pembahasan tentang perkara-perkara sedetil ini merupakan pekerjaan orang khusus dari para ulama.”

(Lihat rincian kaidah ketiga secara lengkap dalam kitab Madarik An-Nazhar Baina At-Tathbiqat Asy-Syar’iyah wa Al-Infi’alat Al-Hamasiyah. Kitab ini telah direkomendasikan oleh dua ulama besar di zaman ini yaitu Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albany rahimahullah dan Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah)

Kaidah Keempat, dalam setiap sesuatu hendaknya bersikap lemah lembut, berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam menarik kesimpulan atau memberikan hukum.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pada Nabi-Nya,

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” [ Ali ‘ Imran: 159 ]

Juga dalam hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya tidaklah lemah lembut itu berada pada sesuatu apapun kecuali akan menghiasinya dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek.” (HSR. Muslim)

Dalam hadits Jarir bin ‘Abdillah, beliau juga menegaskan,

مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقُ يُحْرَمُ الْخَيْرُ

“Siapa yang diharamkan dari sifat lemah lembut maka diharamkan (untuknya) kebaikan.” (HSR. Muslim)

Kemudian dalam hadits ‘Aisyah riwayat Bukhary-Muslim, beliau menyatakan,

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ

“Sesungguhnya Allah mencintai kelemahlembutan dalam segala perkara.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda pula kepada Al-Asyajj ‘Abdul Qais,

إِنَّ فِيْكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ

“Sesungguhnya pada engkau ada dua sifat yang dicintai oleh Allah, (yaitu) Al-Hilm (kebijaksanaan) dan Al Anah (tidak tergesa-gesa).” (HSR. Muslim dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Sa ’id Al Khudry)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam juga bersabda,

التَّأَنِّيْ مِنَ اللهِ وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

“(Sikap) pelan-pelan (tidak tergesa-gesa) itu dari Allah dan (sikap) tergesa-gesa itu dari syaithan.” (Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 1795).

Kaidah Kelima, bersikap adil dalam setiap sesuatu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.” [ An-Nahl: 90 ]

Allah Subhanahu wa Ta ’ala juga memerintahkan hamba-Nya dalam firman-Nya,

“Dan apabila kalian berkata, maka hendaklah kalian berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (kalian) .” [ Al An’am: 152 ]

Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan pula dalam firman-Nya,

“Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” [ Al-Maidah: 8 ]

Ayat-ayat di atas sangat jelas menunjukkan keharusan berlaku adil pada segala sesuatu, dan tentunya hal tersebut lebih ditekankan pada kondisi fitnah. Hendaknya setiap orang berlaku adil dalam berucap, berbuat, bersikap dan memberikan hukum. Ukuran suatu keadilan tentunya ditimbang menurut tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah.

Kaidah Keenam, tidak boleh menghukumi suatu permasalahan kecuali setelah mengetahui gambaran yang jelas tentang permasalahan tersebut.

Lafazh arab kaidah ini berbunyi,

الْحُكْمُ عَلَى الشَّيْئِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ

“Hukum atas sesuatu cabang dari penggambarannya.”

Kaidah ini mempunyai dasar yang sangat banyak dari Al Qur`an dan Sunnah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” [ Al-Isra`: 36 ]

Allah Jalla wa ’ Ala juga berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu.” [ Al-Hujurat: 6 ]

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يُهْوَى بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغُرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang ia tidak mencari kepastian apa yang ada di dalamnya, maka disebabkan hal itu ia dilemparkan ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (Diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim dari Abu Hurairah)

Ini adalah kaidah yang sangat bermanfaat dan membantu dalam segala bentuk fitnah yang terjadi. Camkanlah baik-baik kaidah ini dan warnailah gerak-gerikmu dengannya, niscaya engkau akan selamat. Wallahul Muwaffiq.

Kaidah Ketujuh, pada kondisi fitnah, segala sesuatu yang diketahui tidak harus diucapkan.

Perkataan dan perbuatan, dalam kondisi fitnah, mempunyai ketentuan dan aturan. Tidak semua perkara yang dipandang baik harus dinampakkan dan dikerjakan, karena perkataan dan perbuatan dalam kondisi fitnah akan melahirkan suatu akibat di belakangnya.

Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيْثٌ عَهْدُهُمْ بِكُفْرٍ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنَ بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُوْنَ

“Wahai ‘Aisyah, andaikata kaummu (penduduk Makkah) bukan orang yang baru (meninggalkan) kekufuran, niscaya saya merobohkan Ka’bah kemudian saya akan menjadikannya dua pintu: pintu tempat manusia masuk dan pintu mereka keluar .” (Diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)

Lihatlah, wahai orang-orang yang berfikir! Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan apa yang beliau kehendaki? Bukankah itu sunnahnya dan syariat yang beliau bawa? Jawabannya jelas, karena orang-orang Makkah baru masuk islam dan mereka sangat mengagungkan Ka’bah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam takut, kalau merubah bangunan Ka’bah, beliau dianggap orang sombong terhadap mereka, sehingga hal tersebut bisa menyebabkan mereka lari dari Islam dan kembali kepada kekufuran. Karena itulah, ketika menyebutkan hadits ini, Imam Bukhary menyebutkannya dengan judul bab “Orang yang meninggalkan sebagian pilihan karena takut sebagian orang kurang memahaminya lalu terjatuhlah mereka ke dalam perkara yang lebih besar.”

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu juga berkata,

حَدِّثُوْا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ أَتُحِبُّوْنَ أَنْ يُكَذَّبَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ

“Berceritalah kepada manusia dengan apa yang mereka ketahui. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (Diriwayatkan oleh Bukhary)

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata pula,

مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيْثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُوْلُهُمْ إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةٌ

“Tidaklah engkau berbicara kepada suatu kaum dengan suatu pembicaraan yang tidak bisa dicerna oleh akal mereka kecuali akan menjadikan fitnah pada sebagian dari mereka.” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah Shahih -nya dengan sanad yang terputus)

Kemudian dalam hadits riwayat Bukhary, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,

حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وِعَاءَيْنِ فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَبَثَثْتُهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَلَوْ بَثَثْتُهُ قُطِعَ هَذَا الْبُلْعُوْمُ

“Saya menghafal (hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam (sebanyak) dua kantong. Adapun salah satu (kantong)nya telah saya sebarkan, dan adapun (kantong) yang lainnya, kalau saya sebarkan, maka akan diputus leher ini.”

Berkata Imam Adz-Dzahaby, dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 2 hal. 597-598, “Ini menunjukkan bolehnya menyembunyikan sebagian hadits-hadits yang bisa menggerakkan fitnah, (baik hadits-hadits) dalam Al-Ushul (masalah-masalah pokok) maupun Al-Furu’ (masalah-masalah cabang), atau dalam (hadits-hadits tentang) pujian dan celaan. Adapun hadits yang berkaitan dengan halal dan haram, maka tidak halal untuk disembunyikan dalam bentuk bagaimanapun, karena itu dari kejelasan dan petunjuk.” Kemudian beliau menyebutkan perkataan ‘Ali bin Abi Thalib di atas lalu berkata, “Dan demikian pula Abu Hurairah. Andaikata beliau menyebarkan kantong itu, niscaya dia akan disakiti, bahkan akan dibunuh. Akan tetapi, ijtihad seorang alim kadang-kadang mendorongnya untuk menyebarkan suatu hadits dalam rangka menghidupkan sunnah, maka baginya apa yang ia niatkan, dan ia mendapatkan pahala walaupun ia salah dalam ijtihadnya.”

Selain itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar, di dalam Fathul Bary jilid 1 hal. 225, ketika menjelaskan perkataan ‘Ali bin Abi Thalib, berkata, “Didalamnya ada dalil bahwa perkara yang mutasyabih ‘yang mengandung beberapa pengertian’ tidak pantas disebutkan pada khalayak umum.” Kemudian beliau menyebutkan perkataan Ibnu Mas’ud lalu berkata, “Di antara orang-orang yang tidak senang memberikan hadits pada sebagian orang adalah Imam Ahmad dalam hadits-hadits yang zhahirnya membolehkan khuruj ‘kudeta’ terhadap pemerintah, dan Imam Malik dalam hadits-hadits tentang sifat-sifat (Allah), dan Abu Yusuf tentang hadits-hadits yang gharib (aneh dari sisi makna maupun lafazh-pen.) … . Dan Dari Al-Hasan (Al-Bashry-pen.), ia mengingkari Anas (radhiyallahu ‘anhu) yang bercerita kepada Hajjaj tentang kisah Al-Uraniyyin karena Hajjaj akan menjadikannya sebagai wasilah, yang selama ini dipegang oleh Hajjaj dalam menumpahkan darah secara berlebihan, dengan ta`wil yang lemah.

Dan ukuran hal tersebut (tentang bolehnya menyembunyikan sebagian hadits) yaitu hendaknya zhahir suatu hadits menguatkan suatu bid’ah dan yang zhahir tersebut pada asalnya bukan zhahir yang diinginkan. Maka menahannya (menyembunyikannya), dari orang yang ditakutkan ia akan mengambil zhahirnya, adalah perkara yang mathlub (dicari dan diinginkan).”

 Oleh Ali Wafa Abu Sulthon




Selengkapnya...

DASAR - DASAR AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH





1. Beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aala dengan mentauhidkan-Nya, tidak beribadah kepada sesuatupun selain-Nya. Tidak berlindung kepada sesuatupun untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudharat selain kepada-Nya. Beribadah dengan membenci dan memusuhi kaum musyrikin, namun wajib untuk mendakwahkan tauhid kepada mereka terlebih dahulu. Wajib menjelaskan kepada meraka bahwa Tidak Ada Islam Tanpa Tauhid. Dan siapa saja yang beribadah kepada sesembahan selain Allah, maka ia telah kafir. Dan siapapun yang terus menerus (dalam kesyirikan) setelah dijelaskan, maka wajib bagi kita untuk menjauhinya, dan membencinya karena Allah Subhanahu Wa Ta’aala.
2. Menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’aala yang telah disebutkan dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tanpa tahriftamtsil (memisalkan), tasybih (menyerupakan), ta’thil (menyimpangkan), (menolaknya), dan menta’wilnya.
3. Menetapkan nama-nama Allah Subhanahu Wa Ta’aala yang indah yang telah ditetapkan dan dipuji oleh Allah Subhanahu Wa Ta’aala sendiri dalam Al Qur’an dan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam As-Sunnah yang shahih.
4. Mengimani bahwa tidak ada jalan untuk menggapai keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta’aala dan surga kecuali dengan jalan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Barangsiapa yang mencari jalan lain untuk menggapai keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta’aala maka ia telah sesat, tidak mengetahui al haq (kebenaran) dan merugi di dunia dan akhiratnya.
5. Mengimani bahwa syariat Allah Subhanahu Wa Ta’aala adalah yang berasal dari dua jalan wahyu, Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Hal ini telah Allah Subhanahu Wa Ta’aala isyaratkan dalam firman-Nya,
{ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ}
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (Qs. Al-Jatsiyah : 18).
6. Meyakini bahwa Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan, bukan makhluk dan As-Sunnah sebagai penjelas baginya. Al Qur’an ditafsirkan oleh As-Sunnah, para sahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik Radhiyallahu ‘anhum. Penafsiran Al Qur’an dengan Al Atsar, yaitu dengan penafsiran sahabat, tabi’in, dan hadits-hadits yang menerangkannya, serta kitab-kitab yang memuat penafsirannya. Inilah yang wajib untuk diperhatikan dan dibaca, seperti kitab Tafsir Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Al-Baghawi, Ad-Durul Al-Mantsur karya Imam As-Suyuthi dan yang semisalnya.
7. Mengambil As-Sunnah melalui melalui cara ahli hadits dalam penshahihannya, dan pendhaifannya. Mengambil yang shahih dan meninggalkan yang dhaif (lemah).
8. Beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aala dengan mentaati pemerintah dalam perkara yang ma’ruf (baik). Karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dengan bermaksiat kepada Al Khaliq (Allah Subhanahu Wa Ta’aala) selama mereka masih muslim, berhukum dengan syariat Allah Subhanahu Wa Ta’aala, menegakkan hukum-hukum-Nya, dan mengerjakan shalat. Mentaati mereka merupakan perkara yang wajib, walaupun mereka pelaku maksiat. Siapapun yang mengucapkan sesuatu yang menyelisihi hal ini, membolehkan memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin walaupun jahat (pelaku maksiat), maka dia adalah ahli bid’ah yang sesat. Wajib bagi para ulama untuk membantah ucapannya dan menjelaskan kesesatannya.
9. Tidak boleh meyebarkan kejelekan pemerintah, karena hal ini dapat menimbulkan fitnah-fitnah dan merupakan sebab terjadinya dan tersebarnya fitnah-fitnah tersebut.
10. Beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aala dengan landasan As-Sunnah, mengikutinya, dan meninggalkan bid’ah serta ahli bid’ah. Berdasarkan sabda nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak pernah kami contohkan maka ia tertolak”. Dalam riwayat yang lain, “Barangsipa membuat perkara baru dalam agama ini yang sebelumnya tidak ada maka ia tertolak”. (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Inilah ulasan singkat Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang wajib bagi kita untuk berpegang dengannya dan berjalan diatasnya, jika kita memang mendambakan keselamatan dan kebenaran. Dan wajib bagi kita untuk membuang ucapan-ucapan yang tidak berdasar pada dalil. Maka seseorang diketahui dengan kebenaran, dan kebenaran tidak diketahui dengan seseorang.
Akhir kata, wajib bagi kita memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aala dengan penuh ketundukan kepada-Nya agar menunjukkan kepada kebenaran dengan sebenar-benarnya dan menganugerahkan kita untuk mengikutinya, dan menunjukkan kebatilan sebenar-benarnya dan menganugerahi kita untuk meninggalkannya. Sesungguhnya Dia lah Penolong dalam perkara ini, dan Maha Kuasa atasnya. Shalawat dan salam semoga Allah Subhanahu Wa Ta’aala limpahkan kepada nabi kita Muhammad, khalifah terbaik, dan yang paling bertakwa, budiman dan suci jiwanya, dan keluarga serta para shahabat seluruhnya.
At-Ta’liqat Al-Bahiyyah ‘Ala Ar-Rasail Al-’Aqadiyyah (hal:133-134)
Karya Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi Hafidzahullah.

Selengkapnya...

FADHILAH LAILATUL QODAR

Oleh Ali Wafa Abu Sulthon






Wahai saudaraku kaum muslimin seyogyanya kita menjaga dari sepertiga terakhir dari bulan Ramadhan yang penuh berkah ini terdapat malam Lailatul Qadar, suatu malam yang dimuliakan oleh Allah melebihi malam-malam lainnya. Di antara kemuliaan malam tersebut adalah Allah Azza wa Jalla mensifatinya dengan malam yang penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4)
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44] : 3-4). Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1)
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar [97] : 1)
Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar [97] : 3-5)

Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi?

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Terjadinya lailatul qadar di tujuh malam terakhir bulan ramadhan itu lebih memungkinkan sebagaimana hadits dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ - يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ - فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, namun jika ia ditimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang tersisa. (HR. Muslim)
Dan yang memilih pendapat bahwa lailatul qadar adalah malam kedua puluh tujuh sebagaimana ditegaskan oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى
Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.”  (HR. Bukhari)

Ummul Mu`minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada 10 terakhir Ramadhan :

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر - أي العشر الأخير من رمضان - شد مئزره، وأحيا ليله، وأيقظ أهله . متفق عليه

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki 10 terakhir Ramadhan, beliau mengencangkan tali sarungnya (yakni meningkat amaliah ibadah beliau), menghidupkan malam-malamnya, dan membangunkan istri-istrinya.” Muttafaqun ‘alaihi

Keutamaan 10 Terakhir bulan Ramadhan :

Pertama : Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serius dalam melakukan amaliah ibadah lebih banyak dibanding hari-hari lainnya. Keseriusan dan peningkatan ibadah di sini tidak terbatas pada satu jenis ibadah tertentu saja, namun meliputi semua jenis ibadah baik shalat, tilawatul qur`an, dzikir, shadaqah, dll.

Kedua : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan istri-istri beliau agar mereka juga berjaga untuk melakukan shalat, dzikir, dan lainnya. Hal ini karena semangat besar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar keluarganya juga dapat meraih keuntungan besar pada waktu-waktu utama tersebut. Sesungguhnya itu merupakan ghanimah yang tidak sepantasnya bagi seorang mukmin berakal untuk melewatkannya begitu saja.

Ketiga : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada 10 Terakhir ini, demi beliau memutuskan diri dari berbagai aktivitas keduniaan, untuk beliau konstrasi ibadah dan merasakan lezatnya ibadah tersebut.

Keempat : Pada malam-malam 10 Terakhir inilah sangat besar kemungkinan salah satu di antaranya adalah malam Lailatur Qadar. Suatu malam penuh barakah yang lebih baik daripada seribu bulan.

Keutamaan Lailatul Qadr

Di antara nikmat dan karunia Allah subhanahu wa ta’ala terhadap umat Islam, dianugerahkannya kepada mereka satu malam yang mulia dan mempunyai banyak keutamaan. Suatu keutamaan yang tidak pernah didapati pada malam-malam selainnya. Tahukah anda, malam apakah itu? Dia adalah malam “Lailatul Qadr”. Suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, sebagaimana firman Allah I:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ * لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ * تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ * سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ *

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadr). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan (Lailatul Qadr) itu? Malam kemuliaan itu (Lailatul Qadr) lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar”. (Al-Qadr: 1-5)

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Bahwasanya (pahala) amalan pada malam yang barakah itu setara dengan pahala amalan yang dikerjakan selama 1000 bulan yang tidak ada padanya Lailatul Qadr. 1000 bulan itu sama dengan 83 tahun lebih. Itulah di antara keutamaan malam yang mulia tersebut. Maka dari itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha untuk meraihnya, dan beliau bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِإِيْمَاناًوَاحْتِسَاباً،غُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمُ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr atas dorongan iman dan mengharap balasan (dari Allah), diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. (H.R Al Bukhari no.1768, An Nasa’i no. 2164, Ahmad no. 8222)

Demikian pula Allah subhanahu wa ta’ala beritakan bahwa pada malam tersebut para malaikat dan malaikat Jibril turun. Hal ini menunjukkan betapa mulia dan pentingnya malam tersebut, karena tidaklah para malaikat itu turun kecuali karena perkara yang besar. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mensifati malam tersebut dengan firman-Nya:

سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar

Allah subhanahu wa ta’ala mensifati bahwa di malam itu penuh kesejahteraan, dan ini merupakan bukti tentang kemuliaan, kebaikan, dan barakahnya. Barangsiapa terhalangi dari kebaikan yang ada padanya, maka ia telah terhalangi dari kebaikan yang besar”. (Fatawa Ramadhan, hal. 848)

Wahai hamba-hamba Allah, adakah hati yang tergugah untuk menghidupkan malam tersebut dengan ibadah …?!, adakah hati yang terketuk untuk meraih malam yang lebih baik dari 1000 bulan ini …?! Betapa meruginya orang-orang yang menghabiskan malamnya dengan perbuatan yang sia-sia, apalagi dengan kemaksiatan kepada Allah.

Mengapa Disebut Malam “Lailatul Qadr”?

Para ulama menyebutkan beberapa sebab penamaan Lailatul Qadr, di antaranya:

1. Pada malam tersebut Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan secara rinci takdir segala sesuatu selama 1 tahun (dari Lailatul Qadr tahun tersebut hingga Lailatul Qadr tahun yang akan datang), sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ * فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ * [الدخان/3، 4]

“Sesungguhnya Kami telah menurukan Al-Qur`an pada malam penuh barakah (yakni Lailatul Qadr). Pada malam itu dirinci segala urusan (takdir) yang penuh hikmah”. (Ad Dukhan: 4)

2. Karena besarnya kedudukan dan kemuliaan malam tersebut di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

3. Ketaatan pada malam tersebut mempunyai kedudukan yang besar dan pahala yang banyak lagi mengalir. (Tafsir Ath-Thabari IV/200)

Kapan Terjadinya Lailatul Qadr?

Malam “Lailatul Qadr” terjadi pada bulan Ramadhan.

Pada tanggal berapakah? Dia terjadi pada salah satu dari malam-malam ganjil 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِفِي الْوِتْرِمِنَ الْعَشْرِالْأَوَاخِرِمِنْ رَمَضَانَ

“Carilah Lailatul Qadr itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan)”. (H.R Al Bukhari no. 1878)

Lailatul Qadr terjadi pada setiap tahun. Ia berpindah-pindah di antara malam-malam ganjil 10 hari terakhir (bulan Ramadhan) tersebut sesuai dengan kehendak Allah Yang  Maha Kuasa.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Lailatul Qadr itu (dapat) berpindah-pindah. Terkadang terjadi pada malam ke-27, dan terkadang terjadi pada malam selainnya, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits yang banyak jumlahnya tentang masalah ini. Sungguh telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Bahwa beliau pada suatu tahun diperlihatkan Lailatul Qadr, dan ternyata ia terjadi pada malam ke-21″. (Fatawa Ramadhan, hal.855)

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud rahimahumallahu berkata: “Adapun pengkhususan (memastikan) malam tertentu dari bulan Ramadhan sebagai Lailatul Qadr, maka butuh terhadap dalil. Akan tetapi pada malam-malam ganjil dari 10 hari terakhir Ramadhan itulah dimungkinkan terjadinya Lailatul Qadr, dan lebih dimungkinkan lagi terjadi pada malam ke-27 karena telah ada hadits-hadits yang menunjukkannya”. (Fatawa Ramadhan, hal.856)

Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan t:

عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ إِذَا قَالَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ: لَيْلَةُ سَبْع وَعِشْرِيْنَ

Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya apabila beliau menjelaskan tentang Lailatul Qadr maka beliau mengatakan : “(Dia adalah) Malam ke-27″. (H.R Abu Dawud, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan Asy-Syaikh Muqbil dalam Shahih Al-Musnad)

Kemungkinan paling besar adalah pada malam ke-27 Ramadhan. Hal ini didukung penegasan shahabat Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu :

عن أبي بن كعب قال : قال أبي في ليلة القدر : والله إني لأعلمها وأكثر علمي هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين

Demi Allah, sungguh aku mengetahui malam (Lailatul Qadr) tersebut. Puncak ilmuku bahwa malam tersebut adalah malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menegakkan shalat padanya, yaitu malam ke-27. (HR. Muslim)

Tanda-tanda Lailatul Qadr

Pagi harinya matahari terbit dalam keadaan tidak menyilaukan, seperti halnya bejana (yang terbuat dari kuningan). (H.R Muslim)

Lailatul Qadr adalah malam yang tenang dan sejuk (tidak panas dan tidak dingin) serta sinar matahari di pagi harinya tidak menyilaukan. (H.R Ibnu Khuzaimah dan Al Bazzar)

Dengan Apakah Menghidupkan 10 Terakhir Ramadhan dan Lailatul Qadr?

Asy-Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz dan Asy Syaikh Abdullah bin Qu’ud rahimahumallahu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih bersungguh-sungguh beribadah pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan untuk mengerjakan shalat (malam), membaca Al-Qur’an, dan berdo’a daripada malam-malam selainnya”. (Fatawa Ramadhan, hal.856)

Demikianlah hendaknya seorang muslim/muslimah … Menghidupkan malam-malamnya pada 10 Terakhir di bulan Ramadhan dengan meningkatkan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala; shalat tarawih dengan penuh iman dan harapan pahala dari Allah I semata, membaca Al-Qur’an dengan berusaha memahami maknanya, membaca buku-buku yang bermanfaat, dan bersungguh-sungguh dalam berdo’a serta memperbanyak dzikrullah.

Di antara bacaan do’a atau dzikir yang paling afdhal untuk dibaca pada malam (yang diperkirakan sebagai Lailatul Qadr) adalah sebagaimana yang ditanyakan Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah jika aku mendapati Lailatul Qadr, do’a apakah yang aku baca pada malam tersebut?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bacalah:

اللهم إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“Ya Allah sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Pemberi Maaf, Engkau suka pemberian maaf, maka maafkanlah aku”. (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Maka hendaknya pada malam tersebut memperbanyak do’a, dzikir, dan istighfar.

Apakah pahala Lailatul Qadr dapat diraih oleh seseorang yang tidak mengetahuinya?

Ada dua pendapat dalam masalah ini:

Pendapat Pertama: Bahwa pahala tersebut khusus bagi yang mengetahuinya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama. Yang menunjukkan hal ini adalah riwayat yang terdapat pada Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafazh:

مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِفَيُوَافِقُهَا

“Barangsiapa yang menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr dan menepatinya.”

{kalimat  فيوافقها di sini diartikan: mengetahuinya (bahwa itu Lailatul Qadr), pen-}

Menurut pandanganku pendapat inilah yang benar, walaupun aku tidak mengingkari adanya pahala yang tercurahkan kepada seseorang yang mendirikan shalat pada malam Lailatul Qadr dalam rangka mencari Lailatul Qadr dalam keadaan ia tidak mengetahui bahwa itu adalah malam Lailatul Qadr”.



Pendapat Kedua: Didapatkannya pahala (yang dijanjikan) tersebut walaupun dalam keadaan tidak mengetahuinya. Ini merupakan pendapat Ath-Thabari, Al-Muhallab, Ibnul ‘Arabi, dan sejumlah dari ulama.

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat ini, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kitabnya Asy-Syarhul Mumti’:

“Adapun pendapat sebagian ulama bahwa tidak didapatinya pahala Lailatul Qadr kecuali bagi yang mengetahuinya, maka itu adalah pendapat yang lemah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِإِيْمَاناًوَاحْتِسَاباً،غُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr dalam keadaan iman dan mengharap balasan dari Allah I, diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. (H.R Al Bukhari no.1768, An Nasa’i no. 2164, Ahmad no. 8222)

Rasulullah tidak mengatakan: “Dalam keadaan mengetahui Lailatul Qadr”. Jika hal itu merupakan syarat untuk mendapatkan pahala tersebut, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan pada umatnya. Adapun pendalilan mereka dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِفَيُوَافِقُهَا

“Barangsiapa yang menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr dan menepatinya.”

Maka makna فيوافقها di sini adalah: bertepatan dengan terjadinya Lailatul Qadr tersebut, walaupun ia tidak mengetahuinya”.

Semoga anugerah Lailatul Qadr ini dapat kita raih bersama, sehingga mendapatkan keutamaan pahala yang setara (bahkan) melebihi amalan 1000 bulan. Amiin Ya Rabbal ‘Alamin.

Selengkapnya...

ADAB - ADAB I'TIKAF

oleh Ali Wafa Abu Sulthon


1.       Hendaknya  bagi seorang mu’takif (orang yang i’tikaf) untuk banyak  menyibukkan dirinya dengan memperbanyak shalat sunnah, qiyamullail, membaca Al-Qur’anul Karim, dan bersemangat untuk mengkhatamkannya lebih dari satu kali.

2.       Memperbanyak dzikir kepada Allah ta’ala, istighfar, do’a, dan shalawat atas Nabi yang ini dilakukan bersamaan dengan dzikir-dzikir syar’i yang telah dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

3.       Seorang mu’takif hendaknya menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat baginya, baik berupa perkataan maupun perbuatan.

4.       Tidak banyak bicara (yang tidak bermanfaat), karena seorang yang benyak bicaranya, akan lebih banyak salahnya.

5.       Seorang mu’takif hendaknya menjauhi segala bentuk jidal (perdebatan) dan perselisihan. [Al-Mughni karya Ibnu Qudamah]

6.       Seorang mu’takif hendaknya mau mengulurkan tangannya guna membantu para mu’takifin yang lain.

7.       Senantiasa bersikap tenang, menjaga akhlak yang baik, dan tidak membuat keributan / mengganggu para mu’takifin yang lain dengan suara yang keras yang bisa mengganggu tidur mereka atau kekhusyu’an ketika shalat.

8.       Seorang mu’takif hendaknya tidak menjadikan i’tikaf dia sebagai tempat untuk kumpul-kumpul dan begadang bersama sebagian teman-temannya atau bersama orang yang mengunjunginya, kemudian mengobrol dalam waktu yang cukup lama. Ini semua tidak selayaknya dilakukan karena menyelisihi hikmah yang dengannya i’tikaf ini disyari’atkan.
Hal-hal Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf




Para ulama telah menyebutkan beberapa hal yang dibolehkan bagi para mu’takifin ketika itikaf, di antaranya:

1.       Membuat kemah di dalam masjid yang dia gunakan untuk menyendiri di dalam beribadah.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan aku membuatkan kemah untuk beliau, beliau shalat shubuh kemudian memasukinya.” [HR. Al-Bukhari]

2.       Keluar dari masjid ketika ada kebutuhan, seperti keluar untuk menyediakan makanan dan minuman, keluar untuk menunaikan hajatnya, berwudhu, dan juga mandi. Dengan syarat kebutuhan-kebutuhan tadi memang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.

3.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk bertemu dan duduk bersama istri di dalam kemahnya, demikian pula boleh untuk menyambut siapa saja yang dating mengunjunginya, dengan syarat tidak menimbulkan fitnah.

Dari ‘Ali bin Husain radhiyallahu ‘anhuma:

أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ أي تعود إلى بيتها وَقَامَ النَّبِيُّ ليَقْلِبهَا أي ليوصلها إلى بيتها

“Bahwasanya Shafiyyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan kepadanya, bahwa dia pernah datang mengunjungi Nabi ketika beliau sedang i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, kemudian dia (Shafiyyah) berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, dan kemudian dia berdiri untuk kembali ke rumahnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengantarkan dia sampai ke rumahnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

4.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk meminang, melakukan akad nikah, dan menjadi saksi nikah di dalam masjid. Karena i’tikaf itu adalah ibadah yang tidak mengharamkan (menghalangi dikerjakannya) kebaikan (yang lainnya), maka i’tikaf tidak mengharamkan (menghalangi) seseorang dari nikah sebagaimana puasa. Demikian pula karena nikah itu adalah bentuk ketaatan, menghadirinya adalah juga merupakan bentuk taqarrub. Dan hendaknya itu semua dilakukan dengan tidak terlalu berlama-lama yang menyebabkan tersibukkannya dari i’tikaf ……

5.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk membersihkan badannya, memakai parfum, dan memakai pakaian yang baik, boleh pula menyisir rambutnya dan juga memotong kukunya.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendongokkan kepalanya kepadaku (ketika aku berada di rumahku yang) bersebelahan dengan masjid. Aku menyisir rambut beliau dalam keadaan aku sedang haid.” [HR. Al-Bukhari]

6.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk mengadakan halaqah dalam rangka mengajarkan cara membaca Al-Qur’an atau menghadiri halaqah bacaan Al-Qur’an tersebut, demikian pula dibolehkan untuk membaca kitab-kitab ilmiah dan menghadiri majelis-majelis para ulama dan diskusi mereka, atau kegiatan lain yang bisa memberikan manfaat kepada orang lain.

7.       Boleh bagi seorang mu’takif untuk naik ke atap (lantai paling atas) masjid karena itu masih termasuk bagian dari masjid.


Beberapa hal yang merusak (membatalkan) i’tikaf

Para ulama juga telah menyebutkan beberapa hal yang bisa merusak (membatalkan) i’tikaf, di antaranya:

1.       Keluar dari masjid tanpa ada keperluan yang mendesak.

Dari ‘Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لاَ يَعُودَ مَرِيضًا وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً وَلاَ يَمَسَّ امْرَأَةً وَلاَ يُبَاشِرَهَا وَلاَ يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ مِنْهُ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ بِصَوْمٍ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِي مَسْجِدٍ جَامِعٍ

“Termasuk sunnah bagi seorang mu’takif adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak menghadiri jenazah, tidak menyentuh atau bercumbu dengan istri, tidak keluar dari masjid untuk urusan apapun kecuali memang urusan yang harus diselesaikan (di luar masjid), tidak ada i’tikaf  kecuali dengan puasa, dan tidak ada i‘tikaf kecuali dilakukan di masjid jami’.” [Shahih Sunan Abi Dawud, karya Asy-Syaikh Al-Albani] [Al-Mughni]

2.       Menggauli istri.

Para ulama sepakat bahwa seorang mu’takif jika menggauli istrinya dengan sengaja, maka i’tikafnya batal dan tidak ada kewajiban menqadha’ i’tikafnya, kecuali jika i’tikafnya tersebut adalah i’tikaf wajib. Berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.” [Al-Baqarah: 187]

3.       Murtad (keluar) dari Islam.

Jika seorang mu’takif murtad -wal’iyadzubillah-, maka batallah i‘tikafnya, berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” [Az-Zumar: 65]

Dan dengan murtadnya itu dia telah keluar dari keadaan dia sebagai seorang mu’takif. [Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah]

4.       Hilang akal.

Disebabkan minum khamr, pingsan, atau gila. Karena berakal merupakan syarat i’tikaf.

5.       Junub atau nifas.

Karena dengan itu hilanglah syarat thaharah kubra yang juga menjadi salah satu syarat i’tikaf. [Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah]

Terakhir, kami memohon kepada Allah ta’ala agar Dia menjadikan amalan kita ini sebagai amalan yang ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya Yang Mulia, dan agar Dia juga menjadikan amalan ini bermanfaat bagi segenap kaum muslimin di manapun berada.

وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Selengkapnya...

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>