TAAT PEMERINTAH ADALAH AKHLAQ KAUM MUSLIMIN

Oleh Ali Wafa Abu Sulthon



Seyogyanya kita harus  selalu mengkaji Ad-Dien ini dalam meniti kehidupan ini dengan istidzlal {Dalil - dalil } yang shohih baik secara  mujmal dan tafasil hatta dalam urusan kepemerintahan  sehingga akan selamat di dunia dan di akhirat.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيَّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian.” (An-Nisa`: 59)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

وقال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: { وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ } يعني: أهل الفقه والدين. وكذا قال مجاهد، وعطاء، والحسن البصري، وأبو العالية: { وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ } يعني: العلماء.

“Berkata Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas: “Dan Ulil Amri di antara kalian” artinya ahli fiqih dan agama. Begitu pula menurut Mujahid, Atha’, Hasan Al Bashri, dan Abu al ‘Aliyah: “Dan Ulil Amri di antara kalian” artinya ulama.”[2]



Sedangkan Imam Ibnu Katsir sendiri mengartikan ulil amri adalah umara (para pemimpin) dan ulama. Berdasarkan hadits Bukhari dan Muslim berikut:



من أطاعني فقد أطاع الله، ومن عصاني فقد عصا الله، ومن أطاع أميري فقد أطاعني، ومن عصا أميري فقد عصانى



“Barangsiapa yang taat kepadaku, maka dia telah taat kepada Allah, barangsiapa yang membangkang kepadaku maka dia telah membangkang kepada Allah, barangsiapa yang mentaati amir (pemimpin)ku, maka dia taat kepadaku, dan barangsiapa yang membangkang kepada pemimpinku maka dia telah membangkang kepadaku.”
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta yang lainnya.”(Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)

Adapun baginda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau seringkali mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini. Di antaranya dalam hadits-hadits beliau berikut ini:
1. Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ! لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى، وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ- فَذَكَرَ الشَّرَّ- فَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوا وَأَطِيْعُوا
“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)
2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ، قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِيْ جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ (حُذَيْفَةُ): قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!
“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)
3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهُ! أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)
Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang daerah, pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini, sebagaimana berikut:
 Shahabat Ali bin Abi Thalibq radhiallahu ‘anhu berkata: “Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.” Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?” Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad…” (Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13, hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas hal. 57)
 Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafiq berkata: “Adapun kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Karena tidak menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 368)
 Al-Imam Al-Barbahari berkata:q “Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya akan mendapat pahala yang sempurna insya Allah. Yakni kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersama mereka, dan juga berpartisipasilah bersamanya dalam semua jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hal. 14)
 Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbariq berkata: “Telah sepakat para ulama ahli fiqh, ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak generasi pertama umat ini hingga masa kita ini: bahwa shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan qurban dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat.” (Al-Ibanah, hal. 276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal. 16)
 Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Akuq telah bertemu dengan 1.000 orang lebih dari ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir….” Kemudian beliau berkata: “Aku tidak melihat adanya perbedaan di antara mereka tentang perkara berikut ini –beliau lalu menyebutkan sekian perkara, di antaranya kewajiban menaati penguasa (dalam hal yang ma’ruf)–.” (Syarh Ushulil I’tiqad Al-Lalika`i, 1/194-197)
 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalaniq berkata: “Di dalam hadits ini (riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah di atas, -pen.) terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:





كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاء



“Adalah Bani Israel bahwa mereka disiyasahkan (diatur, dipimpin, diperintah) oleh para nabi.” [3]



Jadi politik (siyasah) adalah warisan kenabian, karena dahulu para nabi telah mensiyasahkan Bani Israil. Bukan orang awam yang mengatur dan memerintahkan mereka, tetapi para nabi ‘Alaihim As Shalatu was Salam. Maka, para ulama sebagai warasatul anbiya, sebenarnya lebih layak berpolitik. Tetapi, kondisi saat ini adalah kondisi penuh fitnah, sekulerisme yang lebih kuat, kondisi di mana umat Islam tidak lagi percaya dengan ulama, suka meledek ulama (termasuk para ABG di multipy). Mereka baru bertanya kepada ulama ketika ada urusan wanita haid, nifas, dan penentuan awal ramadhan dan akhirnya. Tetapi urusan kenegaraan, urusan politik, urusan hukum, urusan hudud, urusan hubungan antara negara, dan urusan besar lainnya. Ulama ? No Way!!


Dalam Islam, ahli agama bukanlah rohaniawan yang hanya mengurus rohani, itulah ruhbaniyah, itulah nasrani. Dalam Islam, sebagai agama yang syumul (lengkap), ahli agama adalah mengatur banyak hal aspek kehidupan umatnya, oleh karena itu dia disebut 'ulama.' Bukan rohaniawan.





Demikian pandangan siyasah syar’iyah dalam Islam. Wallahu A’lam



[1] HR. Ibnu Majah, Kitab Al Fitan Bab Syiddatiz Zaman, Juz. 12, Hal. 44, No hadits. 4026, dan lafal hadits ini adalah berdasarkan riwayat Ibnu Majah. Ahmad, Juz. 16, Hal. 112, No hadits. 7571. Ath Thabarani, Mu’jam Al Kabir, Juz. 12, Hal. 437, No hadits. 14550. Musnad Abu Ya’la, Juz. 8 Hal. 241, No hadits. 3615. Al Hakim, Mustadrak ‘Alas Shahihain, Juz. 19, Hal. 331, No hadits. 8571. Katanya: Shahih sanadnya, tetapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani hadits ini hasan. LihatAs Silsilah Ash Shahihah, Juz. 4, Hal. 386, No hadits. 1887.




  Selengkapnya...

Adab – Adab Pegawai dalam Bekerja



Oleh  Ali Wafa Abu Sulthon
Setiap pegawai wajib menjadi seorang yang menjaga kehormatan dirinya, berjiwa mulia dan kaya hati. Jauh dari memakan harta-harta manusia dengan batil, dari apa-apa yang diberikan kepadanya berupa suap walau dinamakan dengan hadiah. Karena apabila dia mengambil harta manusia dengan tanpa hak berarti ia memakannya dengan batil, dan memakan harta dengan cara batil merupakan salah satu sebab tidak dikabulkannya do’a.
Al Imam Muslim meriwayatkan di dalam Shahih-nya (1015) dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah telah bersabda,
“Sesungguhnya yang pertama busuk dari manusia adalah perutnya, maka barangsiapa yang sanggup untuk tidak memakan melainkan yang baik maka lakukanlah, dan barangsiapa yang bisa untuk tidak dihalangi antara dia dan surga walau dengan segenggam darah yang ditumpahkannya maka lakukanlah”
Dan yang juga diriwayatkannya (2083) dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak peduli dengan cara apa dia mengambil harta, apakah dari yang halal atau dari yang haram”.
Menurut orang-orang yang mengambil harta tanpa peduli ini, bahwasanya yang halal adalah yang berada di tangan dan yang haram adalah yang tidak sampai ke tangan. Adapun yang halal dalam Islam adalah apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan yang haram adalah yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Telah datang dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits-hadits yang menunjukkan tentang bagi para pekerja dan pegawai mengambil sesuatu dari harta walaupun dinamakan hadiah, diantaranya hadits Abu Humaid As-Saidi, ia berkata.
“Rasulullah mempekerjakan seseorang dari suku Al-Asad, namanya Ibnul Latbiyyah untuk mengumpulkan zakat, maka tatkala ia telah kembali ia berkata, ‘Ini untuk engkau dan ini untukku dihadiahkan untukku’. Ia (Abu Humaid) berkata, ‘Maka Rasulullah berdiri di atas mimbar, lalu menyanjung dan memuji Allah Ta’ala dan bersabda, “Kenapa petugas yang aku utus lalu ia mengatakan, “Ini adalah untuk kalian dan ini dihadiahkan untukku?!” Kenapa dia tidak duduk di rumah bapaknya atau rumah ibunya sehingga dia melihat apakah dihadiahkan kepadanya atau tidak?! Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya! Tidaklah seorangpun dari kalian menerima sesuatu darinya melainkan ia datang pada hari Kiamat sambil membawanya di atas lehernya onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh atau kambing yang mengembik’, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sampai kami melihat putih kedua ketiaknya, kemudian bersabda dua kali, ‘Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan?” (Diriwayatkan Al-Bukhari 7174 dan Muslim 1832 dan ini adalah lafazh darinya)
Termasuk sikap adil dan insaf, hendaknya seorang pegawai tidak mengakhirkan orang yang duluan dari orang-orang yang berurusan, atau mendahulukan orang yang belakangan. Namun ia mendahulukan orang yang berurusan lebih dahulu. Karena perkara seperti ini akan memudahkan pegawai dan orang-orang yang berurusan.
Telah datang dalam sunnah Rasulullah dalil yang menunjukkan atas hal itu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata, “Ketika Nabi shallallahu’alaihi wasallam di suatu majelis berbicara kepada orang-orang, datanglah seorang Arab badui lantas berkata. ‘Kapan terjadinya Kiamat? Rasulullah terus berbicara, sebagian orang berkata, ‘Beliau mendengar apa yang dikatakannya dan beliau membencinya’, sebagian lain mengatakan, ‘Bahkan beliau tidak mendengar’, sehingga tatkala beliau menyelesaikan pembicaraannya lalu beliau berkata, ‘Mana orang yang bertanya tentang hari Kiamat?’ Ia berkata, ‘Ini aku wahai Rasulullah’, Rasul bersabda, ‘Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Ia bertanya lagi, ‘Bagaimana menyia-nyiakannya?’ Beliau menjawab, ‘Apabila diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah hari Kiamat” [Diriwayatkan Al-Bukhari]
Hadits ini menunjukkan bahwasanya Rasulullah tidak menjawab si penanya tentang hari Kiamat melainkan setelah ia selesai berbicara kepada orang-orang yang telah mendahuluinya. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam uraiannya, “Disimpulkan darinya bahwa dalam hal memberi pelajaran berdasarkan yang duluan, dan begitu juga dalam fatwa-fatwa, urusan pemerintahan dan lain sebagainya”.
Dan disebutkan dalam biografi Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari di kitab Lisanul Mizan karangan Al-Hafizh Ibnu Hajar, “Dan Ibnu Asakir mengeluarkan dari jalan Abu Ma’bad Utsman bin Ahmad Ad-Dainuri ia berkata, ‘Aku menghadiri majelis Muhammad bin Jarir dan hadir juga menteri Al-Fadhal bin Ja’far bin Al-Furat, dan dia telah didahului oleh seseorang. Maka berkata Ath-Thabari kepada orang tersebut, ‘Tidakkah engkau ingin membaca?’ Maka ia menunjuk kepada si menteri. Maka Ath-Thabari berkata, ‘Apabila giliran untukmu maka janganlah engkau terganggu oleh Dajlah (nama sungai) atau Efrat (Al-Furat)’. Aku katakan, “Dan ini sebagian dari keunikan dan kemahiran bahasanya serta tidak tertariknya ia pada anak-anak dunia”.
Dan di dalam Shahih Bukhari (3073) dan Shahih Muslim (1831) –dan dengan lafazh darinya- dari Abu Hurairah, ia berkata :
“Rasulullah berbicara kepada kami pada suatu hari, maka beliau menyebutkan Ghulul [1] dan beliau menganggapnya perkara yang besar, kemudian ia berkata, ‘Aku akan temui salah seorang kalian yang datang pada hari Kiamat di atas lehernya ada onta yang bersuara, ia berkata, ‘Hai Rasulullah, tolonglah aku’, maka aku (Rasulullah) mengatakan, ‘Aku tidak mampu berbuat apa-apa untukmu sedikitpun, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku tidak temui salah seorang dari kalian datang pada hari Kiamat dengan kuda di atas pundaknya yang memiliki hamhamah (suara), lantas ia berkata, ‘Hai Rasulullah! Bantulah aku’, maka aku berkata, ‘Aku tidak bisa membantu sedikitpun, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku tidak dapatkan salah seorang darimu datang pada hari Kiamat dengan kambing yang mengembik diatas pundaknya seraya berkata, ‘Hai Rasulullah! Tolonglah aku’, Maka aku menjawab, ‘Aku tidak mampu berbuat apa-apa untukmu, aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku akan dapatkan salah seorang dari kalian datang pada hari Kiamat dengan membawa jiwa yang menjerit, lantas ia berkata, ‘Hai Rasulullah! Tolonglah aku’, Maka aku berkata, ‘Aku tidak memiliki apa-apa untukmu, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku akan mendapatkan salah seorang dari kalian datang pada hari Kiamat dengan pakaian diatas pundaknya ada shamit (emas dan perak), lalu ia berkata, ‘Hai Rasulullah! Tolonglah aku’, maka aku akan menjawab, ‘Aku tidak memiliki apa-apa untukmu, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu”.
Riqa di dalam hadits ini maksudnya adalah pakaian dan shamit adalah emas dan perak.
Diantaranya hadits Abu Humaid As-Sa’di, bahwasanya Rasulullah bersabda :
“Hadiah-hadiah para pekerja adalah ghulul (khianat)”.
Diriwayatkan oleh Ahmad (23601) dan lainnya, dan lihat takhrijnya di dalam kitab Irwa Al-Ghalil karya Al-Albani (2622), dan ini semakna dengan hadits yang terdahulu dalam kisah Ibnu Al-Latbiyyah.
Diantaranya hadits Adi bin Umairah, ia berkata, “Aku mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa diantara kalian yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan, lalu ia menyembunyikan dari kami satu jarum atau yang lebih kecil, maka dia adalah ghulul dan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat”. [Dikeluarkan oleh Muslim]
Diantaranya hadits Buraidah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
“Barangsiapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan, lalu kami memberinya bagian, maka apa yang diambilnya setelah itu adalah perbuatan khianat” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan isnad shahih, dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Dan dalam biografi Iyadh bin Ghanam dari kitab Shifatush Shafwah oleh Ibnul Jauzi (1/277), ketika itu statusnya sebagai gubernur Himsh dalam pemerintahan Umar, bahwasanya ia berkata kepada sebagian kerabatnya dalam sebuah kisah yang panjang, ‘Demi Allah! Jika aku digergaji lebih aku sukai daripada aku berkhianat seperak uang atau aku melampaui batas!”.
Aku memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar membimbing setiap pegawai dan karyawan dari kaum muslimin untuk menunaikan pekerjaannya sesuai dengan yang diridhai Allah Tabaraka wa Ta’ala, dan ia mendapatkan pahala serta akhir yang terpuji di dunia dan akhirat.
Dan semoga Allah bershalawat dan salam serta memberkahi hamba dan rasul-Nya, nabi kita Muhammad, keluarga serta shahabat-shahabatnya. Selengkapnya...

MENYAMBUT RAMADHAN DENGAN HATI LAPANG DAN PERSIAPAN YANG SYAR'I

  Ditulis Oleh Ali wafa abu sulthon

Alangkah bahagianya kaum muslimin dengan kedatangan bulan Ramadhan, bulan yang penuh keberkahan, bulan Al-Qur’an, bulan ampunan, bulan kasih sayang, bulan doa, bulan taubat, bulan kesabaran, dan bulan pembebasan dari api neraka. Bulan yang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh segenap kaum muslimin. Bulan yang sebelum kedatangannya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam berdoa kepada Allah Azza Wa Jalla: “Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadan.” Bulan dimana orang-orang saleh dan para generasi salaf berdoa kepada Allah Azza Wa Jalla agar mereka disampaikan ke bulan Ramadhan enam bulan sebelum kedatangannya, Mualla bin al-Fadhl  Rahimahullah  berkata: “Mereka (salaf) selama enam bulan  berdoa kepada Allah supaya disampaikan ke bulan Ramadhan, dan berdoa enam bulan selanjutnya agar amalan mereka pada bulan Ramadhan diterima.” Supaya ramadhan yang akan datang kita bisa menjalaninya dengan sukses, maka perlu ada persiapan-persiapan yang baik. Sekarang apa saja yang perlu kita siapkan untuk menjamu tamu kita? Di sini akan diutarakan beberapa hal yang harus kita siapkan dalam menghadapi tamu idaman kita itu, bukan bermaksud untuk menggurui pembaca, tapi mungkin ada terselip sedikit manfaat yang dapat kita ambil dari apa yang ada.
Di antara persiapan tersebut adalah:
a. Persiapan Mental  ( Ruhiyah)
Islam selalu mengajarkan kita dalam melaksanakan amal shaleh harus diawali dengan niat yang tulus. Bahkan dalam beberapa amal shaleh, niat itu merupakan syarat atau rukun dari amal yang akan dilaksanakan. Secara psikologis niat sangat membantu amal yang akan dilakukan dan memberikan dampak yang sangat positif. Niat akan memunculkan sebuah semangat dan ketahanan seorang muslim dalam melaksanakan ibadah. Oleh karena itulah niat menjadi pilar utama dalam beribadah. Ramadhan adalah bulan yang dipenuhi oleh ibadah yang akan dilakukan orang-orang beriman selama sebulan. Oleh karenanya, diperlukan kesiapan mental dalam menyongsong pelbagai macam bentuk ibadah tersebut, khususnya puasa, bangun malam, tarawih dan lain-lain. Tanpa persiapan mental yang prima, maka orang-orang beriman akan cepat loyo dalam beribadah atau bahkan meninggalkan sebagian ibadah sama sekali. Kesiapan mental sangat dibutuhkan pada saat menjelang hari-hari terakhir, karena tarikan keluarga yang ingin belanja mempersiapkan hari raya, pulang kampung dan sebagainya, sangat mempengaruhi umat Islam dalam menunaikan kekhusyukan ibadah Ramadhan. Padahal, kesuksesan ibadah Ramadhan seorang muslim dilihat dari akhirnya. Jika akhir Ramadhan diisi dengan ‘i`tikâf dan taqarrub serta ibadah lainnya, maka insya Allah, dia termasuk yang sukses dalam melaksanakan ibadah Ramadhan di mana
Ini adalah persiapan yang paling utama karena kekuatan ruh inilah yang akan menjadi motor penggerak segala bentuk ibadah kita sebelum, ketika dan pasca ramadhan. Maka itu apabila kita membaca sirah Rasul Shallallahu alaihi wasallam, betapa persiapan beliau dari sisi ini sangat luar biasa, yaitu dengan melaksanakan puasa sya’ban.Hal tersebut beliau lakukan dalam rangka mempersiapkan dan menyongsong kedatangan bulan Ramadhan. Disamping itu kita dianjurkan untuk banyak istighfar dan memohon serta memberi maaf agar kedatangan bulan suci kita sambut dengan hati bersih dari segala bentuk dosa dan perselisihan, rasa dengki dan penyakit-penyakit hati yang lainnya.Dan hal lain yang harus dilakukan dalam persiapan ruhi adalah banyak berdoa kepada Allah agar DIA menyampaikan kita kepada bulan Ramadhan. Ma’la ibn Fadl berkata “Para salafus shaleh berdoa selama 6 bulan agar mereka disampaikan hingga bulan ramadhan dan kemudian berdoa(pasca Ramadhan-pent) selama 6 bulan agar ibadah mereka diterima”.
Yahya Ibn Katsir berkata ” diantara doa yang dibaca oleh para salaf adalah Ya Allah selamatkan aku hingga bulan ramadhan dan karuniakan aku ramadhan dan terimalah ibadah-ibadahku pada bulan ramadhan”
b. Persiapan spiritual ( sulukiyah )
Persiapan ruhiyah dapat dilakukan dengan memperbanyak ibadah, seperti memperbanyak membaca al-Qur’an, puasa sunnah, dzikir, do’a dan lain-lain. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  mencontohkan kepada umatnya dengan memperbanyak puasa di bulan Sya`ban, sebagaimana yang diriwayatkan `A’isyah ra.:
“Saya tidak melihat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya`ban.” (HR Muslim).
Bulan Sya`ban adalah bulan di mana amal shaleh diangkat ke langit. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:
“Dari Usamah bin Zaid berkata, saya bertanya: “Wahai Rasulullah, saya tidak melihat engkau puasa di suatu bulan lebih banyak melebihi bulan Sya`ban”. Rasul Shallallahu alaihi wasallam  bersabda: “Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkatnya amal-amal kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam keadaan berpuasa.” (Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Huzaymah).
Sebenarnya inilah hal-hal yang selama ini sering kita lupakan. entah itu karena kita tidak tahu, karena lalai, dan bahkan kita tahu, tapi berpura-pura tidak tahu.
c. Persiapan Fisik  ( Jasadiyah )
Fisik dan materi sangat menopang ibadah di bulan Ramadhan yang dilakukan seorang Muslim. Seorang Muslim tidak akan maksimal dalam berpuasa jika fisiknya lemah. Oleh sebab itu kita dituntut untuk menjaga kesehatan fisik, kebersihan diri sendiri, rumah, dan bahkan lingkungan kita. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  justru mencontohkan kepada umatnya agar selama berpuasa tetap memperhatikan kesehatan dalam berpuasa jika fisiknya lemah. Oleh sebab itu kita dituntut untuk menjaga kesehatan fisik, kebersihan diri sendiri, rumah, dan bahkan lingkungan kita. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  justru mencontohkan kepada umatnya agar selama berpuasa tetap memperhatikan kesehatan.
Menjaga kesehatan adalah bagian dari ajaran agama. Oleh karena itu berulang kali Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  mengingatkan umatnya agar meminta kesehatan kepada Allah dan menjaganya supaya tidak merugi, karena kesehatan adalah salah satu modal terpenting kita untuk bisa beribadah.
Orang yang merugi adalah yang tidak menggunakan kesehatannya untuk kebaikan dan yang lebih rugi lagi tidak menjaga kesehatannya. Rasullah Shallallahu alaihi wasallam  bersabda dalam hadist sahih riwayat Tirmidzi
“Dua nikmat Allah yang di situ banyak orang merugi, yaitu nikmat kesehatan dan waktu luang”
Ya karena banyak orang menyia-nyiakan kesehatan dan waktu luangnya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.

d. Persiapan Ilmu. ( Naqliyah )
Yang satu ini jangan dianggap remah. Jangan mentang-mentang sudah setiap tahun melakukan puasa, lalu menganggap semua persoalan puasa sudah diketahui. Ingatlah bahwa salah satu syarat diterimanya amal adalah mutaba’ah. Yakni mengikuti sunnah dan tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  Ibadah yang dilakukan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah tidak ada nilainya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  :
Barangsiapa mengamalkan suatu amal perbuatan, yang bukan merupakan perintah kami, maka ia tertolak (HR Muslim)
nah, agar ibadah bisa sesuai dengan sunnah Rasulullah  Shallallahu alaihi wasallam   itulah, kita dituntut untuk senantiasa mempelajari amal kita. berkaitan dengan amaliyah bulan ramadlan ini, maka kita pun harus persiapkan ilmu yang berkaitan dengan persoalan Ramadlan. Agar kita bisa menjalani kewajiban agung di bulan yang penuh dengan berkah ini dengan optimal. dan pahala kita diterima oleh Allah Azza Wa Jalla.
Dengan persiapan optimal yang komprehensif itu, insya Allah, bukan hanya kita memasuki Ramadhan dengan lapang dada dan fisik prima, tapi juga dengan semangat prima untuk berlomba menuju ke puncak kebaikan. Kondisi fisik dan mental yang prima adalah kondisi yang paling kondusif untuk kita beribadah secara optimal.
InsyaAllah, fadhilah-fadhilah (hikmah dan keutamaan) Ramadhan yang sangat banyak itu, hanya bisa diraih oleh orang-orang yang melakukan persiapan secara optimal dan serius.

Ramadhan adalah fase dimana kita memasuki dunia spiritual yang paling dalam. Dunia yang selama ini banyak dilalaikan oleh manusia lantaran disibukkan oleh dunia materi. Lama sudah barangkali kita bergulat dibelantara materialistik. Kita mungkin piawai dalam mencapai prestasi-prestasi material. Sementara kita gagal mengokohkan pilar-pilar spiritual. Sehingga sadar atau tidak, kita menjadi manusia yang lupa diri, lupa pada Pencipta kita, lupa pada tugas-tugas yang Allah 'AzzawaJalla embankan pada kita, lupa bahwa kita akan mati, lupa bahwa kita akan ditanyai tentang nikmat-nikmat yang begitu banyak Allah berikan pada kita- untuk apakah selama ini kita habiskan seluruh nikmat itu?


Selengkapnya...

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>