Perintah Nabi Agar Memelihara Jenggot

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Kalau sudah melihat orang yang berjenggot, pasti sebagian orang merasa aneh dan selalu mengait-ngaitkan dengan Amrozi, cs. Jadi, seolah-olah orang yang berjenggota adalah orang yang sesat yang harus dijauhi dan disingkarkan dari masyarakat. Itulah salah satu ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terzholimi. Berikut kami akan membahas mengenai hukum memelihara jenggot dan pada posting berikutnya kami akan menyanggah beberapa kerancuan mengenai masalah jenggot. Semoga bermanfaat.

Jenggot (lihyah) adalah rambut yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu. Jadi, semua rambut yang tumbuh pada dagu, di bawah dua tulang rahang bawah, pipi, dan sisi-sisi pipi disebut lihyah (jenggot) kecuali kumis. (Lihat Minal Hadin Nabawi I’faul Liha, ‘Abdullah bin Abdul Hamid dengan edisi terjemahan ‘Jenggot Yes, Isbal No’, hal. 17)

Nabi Saja Berjenggot

Memelihara dan membiarkan jenggot merupakan syari’at Islam dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Marilah kita lihat bagaimana bentuk fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berjenggot.

Dari Anas bin Malik –pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengatakan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah laki-laki yang berperawakan terlalu tinggi dan tidak juga pendek. Kulitnya tidaklah putih sekali dan tidak juga coklat. Rambutnya tidak keriting dan tidak lurus. Allah mengutus beliau sebagai Rasul di saat beliau berumur 40 tahun, lalu tinggal di Makkah selama 10 tahun. Kemudian tinggal di Madinah selama 10 tahun pula, lalu wafat di penghujung tahun enam puluhan. Di kepala serta jenggotnya hanya terdapat 20 helai rambut yang sudah putih.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, Muhammad Nashirudin Al Albani, hal. 13, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)

Lihatlah saudaraku, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat di atas dengan sangat jelas terlihat memiliki jenggot. Lalu pantaskah orang berjenggot dicela?!

Perintah Nabi Agar Memelihara Jenggot

Hadits pertama, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
Potong pendeklah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Muslim no. 623)

Hadits kedua, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim no. 625)

Hadits ketiga, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّهُ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong pendek kumis dan membiarkan (memelihara) jenggot.” (HR. Muslim no. 624)

Hadits keempat, dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
Pendekkanlah kumis dan biarkanlah (perihalah) jenggot dan selisilah Majusi.” (HR. Muslim no. 626)

Hadits kelima, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْهَكُوا الشَّوَارِبَ ، وَأَعْفُوا اللِّحَى
Cukur habislah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Bukhari no. 5893)

Hadits keenam, dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى ، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Selisilah orang-orang musyrik. Biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” (HR. Bukhari no. 5892)

Ulama besar Syafi’iyyah, An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Kesimpulannya ada lima riwayat yang menggunakan lafazh,
أَعْفُوا وَأَوْفُوا وَأَرْخُوا وَأَرْجُوا وَوَفِّرُوا
Semua lafazh tersebut bermakna membiarkan jenggot tersebut sebagaimana adanya.” (Lihat Syarh An Nawawi ‘alam Muslim, 1/416, Mawqi’ Al Islam-Maktabah Syamilah 5)

Di samping hadits-hadits yang menggunakan kata perintah di atas, memelihara jenggot juga merupakan sunnah fithroh.

Dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ
Ada sepuluh macam fitroh, yaitu memendekkan kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung,-pen), memotong kuku, membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ (cebok) dengan air.” (HR. Muslim no. 627)

Jika seseorang mencukur jenggot, berarti dia telah keluar dari fitroh yang telah Allah fitrohkan bagi manusia. Allah Ta’ala berfirman,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada penggantian pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Ruum [30] : 30)

Selain dalil-dalil di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sangat tidak suka melihat orang yang jenggotnya dalam keadaan tercukur.

Ketika Kisro (penguasa Persia) mengutus dua orang untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menemui beliau dalam keadaan jenggot yang tercukur dan kumis yang lebat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka melihat keduanya. Beliau bertanya,”Celaka kalian! Siapa yang memerintahkan kalian seperti ini?” Keduanya berkata, ”Tuan kami (yaitu Kisra) memerintahkan kami seperti ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Akan tetapi, Rabb-ku memerintahkanku untuk memelihara jenggotku dan menggunting kumisku.” (HR. Thabrani, Hasan. Dinukil dari Minal Hadin Nabawi I’faul Liha)

Lihatlah saudaraku, dalam hadits yang telah kami bawakan di atas menunjukkan bahwa memelihara jenggot adalah suatu perintah. Memangkasnya dicela oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Menurut kaedah dalam Ilmu Ushul Fiqh, ”Al Amru lil wujub yaitu setiap perintah menunjukkan suatu kewajiban.  Sehingga memelihara jenggot yang tepat bukan hanya sekedar anjuran, namun suatu kewajiban. Di samping itu, maksud memelihara jenggot adalah untuk menyelisihi orang-orang musyrik dan Majusi serta perbuatan ini adalah fithroh manusia yang dilarang untuk diubah.

Berdasar hadits-hadits di atas, memelihara jenggot tidak selalu Nabi kaitkan dengan menyelisihi orang kafir. Hanya dalam beberapa hadits namun tidak semua, Nabi kaitkan dengan menyelisihi Musyrikin dan Majusi. Sehingga tidaklah benar anggapan bahwa perintah memelihara jenggot dikaitkan dengan menyelisihi Yahudi.

Maka sudah sepantasnya setiap muslim memperhatikan perintah Nabi dan celaan beliau terhadap orang-orang yang memangkas jenggotnya. Jadi yang lebih tepat dilakukan adalah memelihara jenggot dan memendekkan kumis.

Catatan:

Namun, apakah kumis harus dipotong habis ataukah cukup dipendekkan saja? Berikut ini adalah intisari dari perkataan Al Qodhi Iyadh yang dinukil oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim, 1/416.

Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa kumis harus dicukur habis karena hal ini berdasarkan makna tekstual (zhohir) dari hadits yang menggunakan lafazh ahfuu dan ilhakuu. Inilah pendapat ulama-ulama Kufah. Ulama lainnya melarang untuk mencukur habis kumis. Ulama-ulama yang berpendapat demikian menganggap bahwa lafazh ihfa’, jazzu, dan qossu adalah bermakna sama yaitu memotong kumis tersebut hingga nampak ujung bibir. Sebagian ulama lainnya memilih antara dua cara ini, boleh yang pertama, boleh juga yang kedua.

Pendapat yang dipilih oleh An Nawawi dan insya Allah inilah pendapat yang kuat dan lebih hati-hati adalah memendekkan kumis hingga nampak ujung bibir. Wallahu a’lam bish showab.

Pembahasan ini masih akan dilengkapi pembahasan selanjutnya yang akan menjawab beberapa kerancuan tentang jenggot. Semoga Allah mudahkan.

Hanya Allah yang senantiasa memberi taufik. Selengkapnya...

MARAH YANG SYAR'I

 Oleh Ali Wafa Abu Sulthon



Abu Mas’ud Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu yang meriwayatkan hadits ini mengatakan, bahwa dia tidak pernah melihat Nabi sangat marah seperti hari itu. Nabi bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya di antara kalian ada yang senang membuat orang lari dari agama. Oleh karena itu, siapa pun di antara kalian yang menjadi imam shalat, maka hendaknya ia memperingan shalatnya. Sebab di belakangnya ada orang tua, anak kecil, dan orang yang mempunyai keperluan!”
( Lu'lu' wa Al Marjan I/97 No. hadist 267 )

Aisyah Radhiyallahu ‘Anha meriwayatkan, bahwasanya kaum Quraisy sedang dipusingkan oleh masalah seorang perempuan Bani Makhzum yang mencuri. Mereka berkata, “Siapa yang akan berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?”    (Maksudnya, siapa yang berani berbicara kepada Nabi agar memberikan dispensasi hukuman kepada perempuan Bani Makhzum ini?    ) Sebagian dari mereka berkata, “Siapa lagi yang berani melakukannya kalau bukan Usamah bin Zaid anak kesayangan beliau?”[ Usamah adalah anak Zaid bin Haritsah, dan Zaid adalah anak angkat Rasul ketika di Makkah, dan sebelum turun ayat yang melarang penisbatan seseorang kepada selain bapaknya.   ] Maka Usamah pun menyampaikan masalah ini kepada Rasulullah.
Tetapi apa reaksi beliau? Beliau sangat marah kepada Usamah. Beliau berkata, “Apakah engkau akan memberikan perlindungan dalam masalah hukum (had) Allah?!” Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah, “Sesungguhnya umat sebelum kalian hancur dikarenakan apabila ada orang terhormat yang mencuri, mereka membiarkannya. Namun jika yang mencuri adalah orang lemah, maka mereka menjatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah, sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya!”  (Al-Lu‘lu‘ wa Al-Marjan 2/185, hadits nomor 1100. )
Demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau tidak pernah marah jika dirinya disakiti. Akan tetapi, tidak demikian halnya apabila yang disakiti adalah Allah. Dalam arti kata, apabila hukum Allah yang dilanggar, maka beliau akan sangat marah.
 Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim disebutkan, ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia berkata, “Sesungguhnya aku ini sering –sengaja– terlambat shalat jamaah subuh dikarenakan si fulan yang senang memperpanjang shalatnya bersama kami.”

Dibolehkan marah untuk dua hal yaitu:
  1. Marah mempertahankan kehormatan. Jika anggota keluarga kita dicemarkan, dihina, dilecehkan dan direndahkan orang, Kita marah dan membalas dengan marah, mengambil pembalasan menegakkan harkat martabat keluarga dengan cara yang haq. Marah yang seperti ini diberi nama ghirah lissyaraf (cemburu menjaga kehormatan).
  2. Marah mempertahankan agama, ghirah alad-Dhin (cemburu atas agama), marah karena Allah (agama), menegakkan keadilan dan kebenaran. Kemarahan dalam agama membolehkan menyerang negeri musuh yang hendak mengusir kita dari negeri sendiri, dan membunuh lawan, tetapi tidak membolehkan membakar rumah, menebang pohon yang berbuah dan menganiaya musuh yang sudah mati.
Kebiasaan beliau yang agung ini, hendaknya dapat kita jadikan pelajaran. Karena sering kita saksikan, dimana seseorang akan marah jika dirinya merasa tersinggung atau disakiti. Namun manakala hukum Allah dilanggar seperti melakukan perzinahan , percurian, kejahatan , minum khamr , korupsi  , Riba dan  dia cuek saja atas keluarganya melakukan hal tersebut. Selengkapnya...

BOLEH KITA MINTA JABATAN ?


Oleh Ali Wafa Abu Sulthon

Tidak terlepas dari Fitnah jabatan, banyak di kalangan kaum muslimin di negara kita tergoda dengan jabatan yang menjanjikan keberhasilan, kejayaan dan ketenaran padahal jabatan itu akan memusnakan ketawaddu'an dan kemulyaan seseorang di sisi Allah selama seseorang tersebut tidak berpegang kepada Al Qur'an Dan Sunnah dan Tidak Selayaknya meminta jabatan karena hal tersebut dilarang oleh Rasulullah Shollallahu wa Sallam dimana
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah radliallahu 'anhu:
(( يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بن سَمُرَة , لاَ تَسْأَلُ الإِمَارَةَ. فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا))
"Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta Jabatan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)."
Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Bukhari dalam Shahih-nya no. 7146 dengan judul “Siapa yang tidak meminta jabatan, Allah akan menolongnya dalam menjalankan tugasnya” dan no. 7147 dengan judul “Siapa yang minta jabatan akan diserahkan kepadanya (dengan tidak mendapat pertolongan dari Allah dalam menunaikan tugasnya)”. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 1652 yang diberi judul oleh Al-Imam Nawawi “Bab larangan meminta jabatan dan berambisi untuk mendapatkannya”.

Juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar Al Ghifari radliallahu 'anhu. Ia berkata: "Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?" Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:

(( يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ , وَ إِنَّهَا أَمَانَةٌ , وَ إِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَ نَدَامَةٌ, إلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا , وَ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا ))

"Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut." (HR. Muslim no. 1825)



Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


((يَا أَبَا ذَرٍّ, إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيْفًا, وَ إِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي, لا تَأَمَّرَنَّ اثنَينِ و لا تَوَلَّيْنَ مَالَ يَتِيْمٍ ))


"Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim." (HR. Muslim no. 1826)


Al-Imam Nawawi rahimahullah membawakan kedua hadits Abu Dzar di atas dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin, bab “Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan”.

Berkata Al Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135): "Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi."

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintahkannya dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bahagiannya di akhirat. Oleh karena itu dilarang seseorang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadlus Shalihin, 2/469)

Rasullah shallallahu alaihi wasallam menggambarkan kerakusan terhadap jabatan lebih dari dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda:



(( مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَ الشَّرَفِ لِدِيْنِهِ ))



Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:



إِذَا ضُيِّئَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةُ. قال : كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَال : إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهَا َانْتَظِرِ السَّاعَةُ



“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya: 'Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?' Beliau menjawab: 'Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat".” (HR. Bukhari no. 59)



Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radliallahu 'anhu berkata: "Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka salah seorang dari keduanya berkata: "Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah". Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:



(( إِنّا لا نُوَلّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَ لا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ ))



"Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya." (HR. Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)



Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan karena permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Abdurrahman bin Samurah di atas : "Bila engkau diberikan dengan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)." Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Dan tidak mungkin jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap. (Syarah Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari, 13/133, Nailul Authar, 8/294)



Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: "Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apa pun. Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta jabatan tersebut dalam rangka wara' dan kehati-hatiannya dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh Riyadlus Shalihin, 2/470)



Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits Abu Dzar: "Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan terlebih lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya. Maka Allah menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan menyesal atas kesia-siaan yang dilakukannya. Adapun orang yang pantas menjadi pemimpin dan dapat berlaku adil, maka akan mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih seperti hadits: "Ada tujuh golongan yang Allah lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya Al-Imam (pemimpin) yang adil". Dan juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat) berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadits lainnya. Kaum muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu karena banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memperingatkan darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang yang shalih dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut." (Syarah Shahih Muslim, 12/210-211)



“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya disebabkan ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. Tirmidzi no. 2482, dishahihkan Syaikh Muqbil dalam Ash Shahihul Musnad, 2/178).

Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil permintaan Nabi Yusuf alaihis salam kepada penguasa Mesir:



اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ اْلأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ



"Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan." (Yusuf: 55)



Maka dijawab, bahwa permintaan beliau alaihis salam ini bukan karena ambisi beliau untuk memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena keinginan beliau untuk memberikan kemanfaatan kepada manusia secara umum sementara beliau melihat dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah dan menjaga terhadap apa yang tidak mereka ketahui. (Taisir Al-Karimur Rahman, hal. 401)



Al-Imam Syaukani berkata: "Nabi Yusuf alahis salam meminta demikian karena kepercayaan para Nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya penjagaan dari Allah terhadap dosa-dosa mereka (ma`shum). Sementara syariat kita yang sudah kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang oleh syariat umat yang terdahulu sebelum kita, karena mungkin meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf alaihis salam pada waktu itu dibolehkan." (Nailul Authar, 8/ 294)



Ketahuilah wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan, sementara dia bukan orang yang pantas untuk mendudukinya, kelak pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan menjadi penyesalan karena ketidakmampuannya dalam menunaikan amanah sebagaimana mestinya. Berkata Al-Qadli Al-Baidlawi: “Karena itu tidak sepantasnya orang yang berakal, bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)



Meminta jabatan, mencalonkan diri, dicalonkan dan diminta mencalonkan diri adalah 4 hal yang berbeda.

1. Meminta jabatan

Benar-benar meminta jabatan. Misal meminta langsung pada pemimpin agar diberi jatah untuk memimpin atau menjabat satu daerah.

2. Mencalonkan diri

Satu bentuk lain dari “meminta jabatan”, biasanya didasari pada “merasa mampu menjadi pemimpin”.

3. Dicalonkan

Ada orang lain yang mencalonkan. Lalu orang yang mencalonkan itu mengurusi semua proses pencalonan si calon.

4. Diminta mencalonkan diri

Ada orang lain yang mencalonkan dirinya. Lalu orang yang dicalonkan itu diminta untuk mengurusi semua proses pencalonan dirinya.

—–

Dari 4 hal di atas, nomor 1 dan nomor 2 adalah dua hal yang tidak disukai di dalam Islam.

Nomor 3 adalah yang hal yang diperbolehkan.

Nomor 4 juga diperbolehkan, karena karena pada masa sekarang ini setiap hal pasti melalui prosedur, baik itu prosedur yang sederhana (misal, hanya menandatangani satu surat) sampai pada prosedur yang rumit (misal, harus melalui proses seleksi berkali-kali). Selama ada pendukung yang meminta kepada ybs untuk mencalonkan diri, maka berarti ybs berstatus “diminta mencalonkan diri”.

yang penting kita tidak meminta jabatan dalam penitian karier di pemerintahan untuk menuju negara yang makmur nan jaya. Selengkapnya...

MARI BERSHALAWAT KEPADA RASULULLAH SHOLLALLAHU ALAIHI WA SALLAM


oleh Ali Wafa Abu Sulthon



Sebagai kaum muslimin kita oleh Allah Azza Wa Jallah diperintahkan untuk bershalawat kepada Rasulullah Shollallahu alaihi Wa Sallam disebutkan dalam Al Qur'an , Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

“Siapa yang bershalawat untukku satu kali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.”

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu Berkata :

“Mengucapkan shalawat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan perkara yang disyariatkan. Di dalamnya terdapat faedah yang banyak. Di antaranya menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala, menyepakati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para malaikat-Nya yang juga bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Faedah lainnya adalah melipatgandakan pahala orang yang bershalawat tersebut, adanya harapan doanya terkabul, dan bershalawat merupakan sebab diperolehnya berkah dan langgengnya kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana bershalawat menjadi sebab seorang hamba beroleh hidayah dan hidup hatinya. Semakin banyak seseorang bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengingat beliau, akan semakin kental pula kecintaan kepada beliau di dalam hati. Sehingga tidak tersisa di hatinya penentangan terhadap sesuatu pun dari perintahnya dan tidak pula keraguan terhadap apa yang beliau sampaikan.

Dari Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِيْ عِيْدًا، وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُمَا كُنْتُمْ

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan2 dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai id3. Bershalawatlah untukku karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.”

Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud.

Bersholawat untuk Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam bukan hanya di lisan kita akan tetapi waktu penulisan nama Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam harus pula disertai tulisan sholawat terhadap Beliau Shollallahu alaihi wa Sallam tampa menyingkatnya sebagaimana diterangkan oleh Al Imam As - Suyuthi rahimahullah Berkata:

dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, bahwa “Dibenci menyingkat tulisan shalawat di sini dan di setiap tempat yang disyariatkan padanya shalawat, sebagaimana disebutkan dalam Syarah Muslim dan selainnya, berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا

As-Suyuthi juga mengatakan, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan صلعم, bahkan semestinya ditulis secara lengkap.”

Inilah wasiat saya kepada setiap muslim dan pembaca juga penulis, agar mereka mencari yang utama/afdhal, mencari yang di dalamnya ada tambahan pahala dan ganjaran, serta menjauhi perkara yang dapat membatalkan atau menguranginya.”

Juga Ibnu Shalah Berkata:

“Hendaklah ia menjauhi dua kekurangan dalam penyebutan shalawat tersebut:

Pertama, ia menuliskan lafadz shalawat dengan kurang, hanya meringkasnya dalam dua huruf atau semisalnya.

Kedua, ia menuliskannya dengan makna yang kurang, misalnya ia tidak menuliskan وَسَلَّمَ.”

Al-’Allamah As-Sakhawi rahimahullahu dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, menyatakan, “Jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, dengan engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang jahil dari kalangan ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam. Mereka singkat lafadz shalawat dengan ص, صم, atau صلعم.6 Karena penulisannya kurang, berarti pahalanya pun kurang, berbeda dengan orang yang menuliskannya secara lengkap.

Shalawat Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam bukanlah amalan yang asing bagi seorang muslim. Hampir-hampir setiap majlis ta’lim ataupun acara ritual tertentu tidak pernah lengang dari dengungan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassalam.

Diantara shalawat-shalawat yang telah dituntunkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam kepada umatnya, yaitu:

اللّهُمَّ صّلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، اللهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

“Ya, Allah curahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah curahkan shalawat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, curahkanlah barakah kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah curahkan barakah kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Terlebih bagi seorang muslim yang merindukan syafa’atnya, ia pun selalu melantunkan shalawat dan salam tersebut setiap kali disebutkan nama beliau Shallallahu 'alaihi wassalam. Karena memang shalawat kepada beliau Shallallahu 'alaihi wassalam merupakan ibadah mulia yang diperintahkan oleh Allah Ta'ala.

Allah Ta'ala berfirman :

إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

(artinya): “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepada Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya”. (Al Ahzab: 56)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda (artinya): “Barangsiapa bershalawat kepadaku sekali saja, niscaya Allah akan membalasnya dengan shalawat sepuluh kali lipat.” (H.R. Al Hakim dan Ibnu Sunni, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’)



Makna Shalawat

Di antara makna shalawat Allah kepada hamba-Nya adalah apa yang disebutkan Al Imam Al Bukhari dalam Kitab Shahih-nya dari Abul ‘Aliyah. Beliau berkata:

صَلاَةُ اللهِ ثَنَاؤُهُ عَلَيْهِ عِنْدَ الْمَلاَئِكَةِ, وَصَلاَةُ الْمَلاَئِكَةِ الدُّعَاءِ

“Shalawat Allah kepada hamba-Nya adalah pujian-Nya kepada hamba di sisi para malaikat, sedangkan shalawat para malaikat adalah mendo’akannya.”

Ibnu Hajar Al ‘Asqalani di dalam kitabnya, Fathul Bari Bisyarhi Shahih Al Bukhari menerangkan bahwa shalawat Allah adalah rahmat dari-Nya.

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa shalawat para malaikat maknanya adalah do’a adalah hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

لَمْ تَزَلِ الْمَلاَئِكَةُ تُصَلِيّ عَلَيْهِ مَادَامَ فِيْ مُصَلاَّهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللََّهُمَّ اغْفِرْلَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ

“Para malaikat senantiasa bershalawat kepada seorang hamba selama ia berada di tempat shalatnya. (Mereka mengatakan), “Ya Allah, berilah shalawat padanya. Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah rahmatilah dia.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Ibnu ‘Abbas berkata: “Mereka bershalawat, maksudnya mendo’akan seorang hamba agar mendapat berkah dari Allah .”

Adapun makna dari ayat 56 dari surat Al Ahzab di atas adalah sebagai berikut:

Al Imam Ibnu Katsir berkata: “Bahwa Allah mengkhabarkan kepada para hamba-Nya tentang kedudukan hamba dan Nabi-Nya di sisi makhluk-Nya yang tinggi. Di mana Allah memujinya di hadapan para malaikat yang dekat, dan para malaikat pun bershalawat kepadanya. Kemudian (Allah ) memerintahkan penduduk jagat raya bagian bawah (penduduk bumi) agar bershalawat dan mengucapkan salam atasnya (Nabi Muhammad), sehingga berkumpul segala pujian atasnya dari dua penghuni alam jagat raya yang di atas dan yang di bawah.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/ 508)

Al Imam Al Qurthubi berkata: “Ayat ini menunjukkan kemuliaan yang Allah berikan kepada Rasul-Nya di saat hidup dan wafatnya. Serta menyebutkan kedudukan dan mensucikannya dari jeleknya perbuatan orang-orang yang memiliki pikiran buruk terhadap beliau, atau terhadap istri-istrinya dan yang semisalnya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/ 232)

Asy Syaikh As Sa’di berkata: “(Dalam ayat ini) terdapat penjelasan tentang kemuliaan Rasulullah , ketinggian derajatnya, mulianya kedudukan beliau di sisi Allah dan di sisi makhluknya. Dan sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat, yaitu memujinya di hadapan para malaikat dan kelompok makhluk yang mulia, yang menunjukkan kecintaan-Nya kepada Nabi dan para malaikat yang dekat (dengan Allah) memberi pujian, mendo’akan serta merendahkan diri kepadanya. Maka wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepadanya dan ucapkanlah salam dalam rangka mengikuti Allah dan para malaikat-Nya serta sebagai balasan baginya atas sebagian hak-hak beliau atas kalian dan untuk menyempurnakan keimanan kalian. Mengagungkannya, mencintai dan memuliakannya, serta untuk menambah kebaikan-kebaikan dan menghapus kesalahan-kesalahan kalian.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 671)



Keutamaan Shalawat Kepada Nabi

Di antara keutamaan yang Allah dan Rasul-Nya janjikan bagi orang yang bershalawat kepada Nabinya, adalah:

1. Allah bershalawat kepada orang yang bershalawat kepada Nabi Muhammad .

Rasulullah bersabda:

مَنْ صَلىَّ عَلَيَّ صَلاَةً وَاحِدَةً صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ عَشْراً

“Barangsiapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali, maka Allah mengucapkan shalawat kepadanya 10 kali.” (HR. Muslim no. 408)

2. Sebagai penghapus dosa-dosa dan menambah ketinggian derajat di sisi Allah .

Rasulullah bersabda:

مَنْ صَلَّ عَلَيَّ صَلاَةً وَاحِدَةً صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرَ خَطَيـَاتٍ وَرَفَعَتْ لَهُ عَشْرَ دَرَجَاتٍ

“Barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah bershalawat kepadanya 10 shalawat, dihapuskan darinya 10 kesalahan dan diangkat untuknya 10 derajat.” (HR. An Nasai, 3/50 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)



Bagaimana Cara Bershalawat Yang Benar?

Ada beberapa riwayat shahih dari Rasulullah tentang tata cara bershalawat kepada beliau. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari (no. 3370) dan Al Imam Muslim (no. 406) dari shahabat Ka’ab bin ‘Ujrah , ia berkata: “Rasulullah keluar menuju kami, lalu kami pun berkata: “Kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat kepadamu?” Beliau menjawab: “Ucapkanlah:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ, اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلىَ آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

Dan diriwayatkan oleh Al Imam Muslim (no. 405) dari hadits Abu Mas’ud . Ia berkata: “Rasulullah datang kepada kami dan kami bersama Sa’ad bin ‘Ubadah. Lalu Basyir bin Sa’ad berkata kepada beliau: “Allah memerintahkan kami bershalawat kepadamu wahai Rasulullah, lalu bagaimana cara kami bershalawat kepadamu?” Rasulullah pun diam sehingga kami berangan-angan seandainya dia tidak menanyakannya. Lalu beliau bersabda: ‘Ucapkanlah:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

Al Imam An Nawawi mengatakan dalam kitabnya, Al Adzkar: “Apabila bershalawat kepada Nabi , maka hendaklah menggabung antara shalawat dan salam, dan tidak mencukupkan salah satunya. Maka janganlah ia mengatakan: ’shallallahu ‘alaihi’ saja, dan tidak pula (hanya mengatakan) ‘alaihis salam’ saja.”



Di Mana Saja Seseorang Bershalawat, Akan Tetap Sampai Pada Rasulullah

Dari Abu Hurairah , bahwa Rasulullah bersabda:

لاَتَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيْداً وَلاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْراً وَصَلُّوا عَليَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ

“Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai (tempat) berhari raya dan jangan kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Dan bershalawatlah kepadaku di manapun kalian berada karena sesungguhnya shalawat kalian (itu) sampai kepadaku.” (HR. Abu Dawud no. 2042 dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)

Waktu-Waktu Yang Dianjurkan Untuk Bershalawat

1. Ketika Nama Beliau Disebut

Berdasarkan hadits Al-Husain bin ‘Ali bahwa Rasulullah bersabda:

البَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Orang yang kikir adalah orang yang jika disebut namaku di dekatnya, lalu ia tidak bershalawat kepadaku.” (HR. At Tirmidzi, Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 1/5)

Dan dari hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Nampak kehinaan atas seseorang di mana aku disebut di dekatnya, namun dia tidak bershalawat kepadaku.” (HR. At Tirmidzi, Al Hakim dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’, 1/6)

2. Pada Hari Jum’at

Berdasarkan hadits Aus bin Aus, bahwa Rasulullah bersabda:

أَكْثِرُوْا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ يَوْمَ اْلجُمْعَةِ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوَْضَةٌ عَلَيَّ. قَالُوْا: كَيْفَ تُعْرَضُ عَلَيْكَ وَقَدْ أَرَمْتَ؟ قَالَ: إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلىَ اْلأرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ اْلأَنْبِيَـاء.

“Perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari jum’at, karena sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku.” Mereka bertanya: “bagaimana bisa disampaikan kepadamu (sedang jasadmu telah hancur)?” beliau menjawab: Sesunggunya Allah mengharamkan tanah untuk memakan jasad para nabi.” (HR. Abu Ishaq Al-Harby dalam Gharibul Hadits dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’, 1/4 dan didukung oleh hadits-hadits yang lain)

3. Ketika Masuk Masjid

Berdasarkan hadits Fathimah ia berkata: “Adalah Rasulullah bila masuk masjid bershalawat untuk diri beliau sendiri dan berkata:

رَبِّ اغْفِرْلِي ذَنْبِيْ وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

“Wahai Rabbku ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.” (HR. At Tirmidzi, 2/314 dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)

4. Saat Berdoa

Berdasarkan hadits Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda:

كُلُّ دُعَاءٍ مَحْجُوْبٌ حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَى اْلنَّبِيِّ

“Setiap doa tertutup hingga bershalawat kepada nabi .” (HR. Ad Dailami, dan dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani)

5. Di Waktu Pagi Dan Petang

Berdasarkan hadits Abu Ad Darda’ bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ صَلَّ عَلَيَّ حِيْنَ يُصْبِحُ عَشْراً وَحِيْنَ يُمْسِي عَشْراً أَدْرَكَتْهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ اْلقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku di waktu pagi 10 kali dan di waktu sore 10 kali, maka dia akan mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat.” (HR. Ath Thabrani dan dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihul Jami’)

Al-Munawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang keutamaan shalawat dan salam kepada Rasulullah dan hal tersebut termasuk amalan yang paling afdhal dan dzikir yang paling agung dan mengikuti (perintah) Al Jabbar (Allah ) dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi”, kalau sekiranya tidak ada ganjaran lain bagi yang bershalawat kecuali mengharap syafa’atnya, maka sudah mencukupi untuk kita semua.” (Faidhul Qadir, hal. 170-171)

6. Ketika Tasyahhud Dalam Shalat

Berdasarkan hadits Fadhalah bin ‘Ubaid, ia berkata: “Rasulullah mendengar seorang laki-laki berdoa dalam shalatnya (ketika tasyahhud) tidak memuji Allah dan tidak pula bershalawat kepada Nabi . Maka beliau bersabda: “orang ini tergesa-gesa.” Kemudian beliau memanggil dan berkata kepadanya:

إِذَ صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيْدِ رَبِّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ لْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ ثُمَّ لْيَدْعُ بَعْدُ بِمَا شَاءَ

“Jika salah seorang kalian shalat, maka hendaklah dia memulai dengan memuji Allah dan mengagungkan-Nya, kemudian bershalawat atas Nabi, lalu berdoa dengan apa yang dia kehendaki.” (HR. At Tirmidzi, Abu Dawud, An Nasai, dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Al Jami’ Ash Shahih, 2/124)

7. Sesudah Adzan

Berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash bahwa Rasulullah bersabda:

إِذَ سَـمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَايَقُوْلُ, ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا, ثُمَّ سَلُوا اللهَ لِيْ اْلوَسِيْلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي اْلجَنَّةِ لاَتَنـْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِيَ اْلوَسـِيْلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

“Jika kalian mendengar mu’adzin, maka ucapkanlah seperti apa yang dia ucapkan lalu bershalawatlah kalian kepadaku. Karena sesungguhnya barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali. Lalu mintalah kepada Allah wasilah untukku karena (wasilah) itu adalah satu kedudukan (yang tertinggi-red) dalam jannah yang tidak sepantasnya (dimiliki)kecuali bagi seorang hamba diantara hamba-hamba Allah. Dan aku berharap (hamba) itu adalah aku. Maka siapa yang memintakan wasilah tersebut untukku, maka halal baginya syafa’atku.” (HR. Muslim) Wallahu A'lam Bis Showab.
Selengkapnya...

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>