Memahami Taubat Yang Benar

 Oleh Ali Wafa Abu Sulthon

Silahkan    Download  KAJIAN ISLAM SUMENEP   di sini

the benefit in seeking the knowledge by Ali wafa Abu Sulthon.mp3

berdzikir & bersyukur oleh Ali wafa Abu Sulthon.mp3





Sebagai seorang muslim wajib baginya untuk mengetahui tentang Dien- Nya khususnya berkenaan dengan Tazkiyah An- Nufus = Penyucian Jiwa sebagai jalan menuju Rabb-nya salah satunya Taubat dimana Taubat itu  ada dua macam: taubat mutlak dan taubat muqayyad (terikat). Taubat mutlak ialah bertaubat dari segala perbuatan dosa. Sedangkan taubat muqayyad ialah bertaubat dari salah satu dosa tertentu yang pernah dilakukan.

Kita harus mengetahui syarat-syaratnya dari betaubat  meliputi: beragama Islam, berniat ikhlas, mengakui dosa, menyesali dosa, meninggalkan perbuatan dosa, bertekad untuk tidak mengulanginya, mengembalikan hak orang yang dizalimi, bertaubat sebelum nyawa berada di tenggorokan atau matahari terbit dari arah barat. Taubat adalah kewajiban seluruh kaum beriman, bukan kewajiban orang yang baru saja berbuat dosa. Karena Allah berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31) (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah, tentang pembahasan isi khutbatul hajah).
Allah Maha Pengampun, Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang
Allah menyifati diri-Nya di dalam Al Quran bahwa Dia Maha pengampun lagi Maha Penyayang hampir mendekati 100 kali. Allah berjanji mengaruniakan nikmat taubat kepada hamba-hambaNya di dalam sekian banyak ayat yang mulia. Allah ta’ala berfirman,
وَاللّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُواْ مَيْلاً عَظِيماً
“Allah menginginkan untuk menerima taubat kalian, sedangkan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya ingin agar kalian menyimpang dengan sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa’: 27)
Allah ta’ala juga berfirman,
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ
“Dan seandainya bukan karena keutamaan dari Allah kepada kalian dan kasih sayang-Nya (niscaya kalian akan binasa). Dan sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha bijaksana.” (QS. An Nuur: 10)
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ
“Sesungguhnya Tuhanmu sangat luas ampunannya.” (QS. An Najm: 32)
Allah ta’ala berfirman,
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“Rahmat-Ku amat luas meliputi segala sesuatu.” (QS. Al A’raaf: 156)
Wahai Saudaraku  yang seiman
Pintu taubat ada di hadapanmu terbuka lebar, ia menanti kedatanganmu… Jalan orang-orang yang bertaubat telah dihamparkan. Ia merindukan pijakan kakimu… Maka ketuklah pintunya dan tempuhlah jalannya. Mintalah taufik dan pertolongan kepada Tuhanmu… Bersungguh-sungguhlah dalam menaklukkan dirimu, paksalah ia untuk tunduk dan taat kepada Tuhannya. Dan apabila engkau telah benar-benar bertaubat kepada Tuhanmu kemudian sesudah itu engkau terjatuh lagi di dalam maksiat, sehingga memupus taubatmu yang terdahulu, janganlah malu untuk memperbaharui taubatmu untuk kesekian kalinya. Selama maksiat itu masih berulang padamu maka teruslah bertaubat.
Allah ta’ala berfirman,
فَإِنَّهُ كَانَ لِلأَوَّابِينَ غَفُوراً
“Karena sesungguhnya Dia Maha mengampuni kesalahan hamba-hamba yang benar-benar bertaubat kepada-Nya.” (QS. Al Israa’: 25)
Allah ta’ala juga berfirman,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ
“Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa, sesungguhnya Dialah Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka kembalilah kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datangnya azab kemudian kalian tidak dapat lagi mendapatkan pertolongan.” (QS. Az Zumar: 53-54)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Seandainya kalian berbuat dosa sehingga tumpukan dosa itu setinggi langit kemudian kalian benar-benar bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubat kalian.” (Shahih Ibnu Majah)
Maka di manakah orang-orang yang bertaubat dan menyesali dosanya? Di manakah orang-orang yang kembali taat dan merasa takut siksa? Di manakah orang-orang yang ruku’ dan sujud?

Berbagai Keutamaan Taubat
Pada hakikatnya taubat itulah isi ajaran Islam dan fase-fase persinggahan iman. Setiap insan selalu membutuhkannya dalam menjalani setiap tahapan kehidupan. Maka orang yang benar-benar berbahagia ialah yang menjadikan taubat sebagai sahabat dekat dalam perjalanannya menuju Allah dan negeri akhirat. Sedangkan orang yang binasa adalah yang menelantarkan dan mencampakkan taubat di belakang punggungnya. Beberapa di antara keutamaan taubat ialah:
Pertama: Taubat adalah sebab untuk meraih kecintaan Allah ‘azza wa jalla.
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang suka membersihkan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)
Kedua: Taubat merupakan sebab keberuntungan.
Allah ta’ala berfirman
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kepada Allah wahai semua orang yang beriman, supaya kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31)
Ketiga: Taubat menjadi sebab diterimanya amal-amal hamba dan turunnya ampunan atas kesalahan-kesalahannya.
Allah ta’ala berfirman
وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ
“Dialah Allah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan Maha mengampuni berbagai kesalahan.” (QS. Asy Syuura: 25)
Allah ta’ala juga berfirman
وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً
“Dan barang siapa yang bertaubat dan beramal saleh maka sesungguhnya Allah akan menerima taubatnya.” (QS. Al Furqaan: 71) artinya taubatnya diterima
Keempat: Taubat merupakan sebab masuk surga dan keselamatan dari siksa neraka.
Allah ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئاً
“Maka sesudah mereka (nabi-nabi) datanglah suatu generasi yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, niscaya mereka itu akan dilemparkan ke dalam kebinasaan. Kecuali orang-orang yang bertaubat di antara mereka, dan beriman serta beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang akan masuk ke dalam surga dan mereka tidaklah dianiaya barang sedikit pun.” (QS. Maryam: 59, 60)
Kelima: Taubat adalah sebab mendapatkan ampunan dan rahmat.
Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ عَمِلُواْ السَّيِّئَاتِ ثُمَّ تَابُواْ مِن بَعْدِهَا وَآمَنُواْ إِنَّ رَبَّكَ مِن بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang mengerjakan dosa-dosa kemudian bertaubat sesudahnya dan beriman maka sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengampun dan Penyayang.” (QS. Al A’raaf: 153)
Keenam: Taubat merupakan sebab berbagai kejelekan diganti dengan berbagai kebaikan.
Allah ta’ala berfirman,
وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Dan barang siapa yang melakukan dosa-dosa itu niscaya dia akan menemui pembalasannya. Akan dilipatgandakan siksa mereka pada hari kiamat dan mereka akan kekal di dalamnya dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman serta beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang digantikan oleh Allah keburukan-keburukan mereka menjadi berbagai kebaikan. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS. Al Furqaan: 68-70)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang yang bertaubat dari suatu dosa sebagaimana orang yang tidak berdosa.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Ketujuh: Taubat menjadi sebab untuk meraih segala macam kebaikan.
Allah ta’ala berfirman,
فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
“Apabila kalian bertaubat maka sesungguhnya hal itu baik bagi kalian.” (QS. At Taubah: 3)
Allah ta’ala juga berfirman,
فَإِن يَتُوبُواْ يَكُ خَيْراً لَّهُمْ
“Maka apabila mereka bertaubat niscaya itu menjadi kebaikan bagi mereka.” (QS. At Taubah: 74)
Kedelapan: Taubat adalah sebab untuk menggapai keimanan dan pahala yang besar.
Allah ta’ala berfirman,
إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَاعْتَصَمُواْ بِاللّهِ وَأَخْلَصُواْ دِينَهُمْ لِلّهِ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْراً عَظِيماً
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, memperbaiki diri dan berpegang teguh dengan agama Allah serta mengikhlaskan agama mereka untuk Allah mereka itulah yang akan bersama dengan kaum beriman dan Allah akan memberikan kepada kaum yang beriman pahala yang amat besar.” (QS. An Nisaa’: 146)
Kesembilan: Taubat merupakan sebab turunnya barakah dari atas langit serta bertambahnya kekuatan.
Allah ta’ala berfirman,
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلاَ تَتَوَلَّوْاْ مُجْرِمِينَ
“Wahai kaumku, minta ampunlah kepada Tuhan kalian kemudian bertaubatlah kepada-Nya niscaya akan dikirimkan kepada kalian awan dengan membawa air hujan yang lebat dan akan diberikan kekuatan tambahan kepada kalian, dan janganlah kalian berpaling menjadi orang yang berbuat dosa.” (QS. Huud: 52)
Kesepuluh: Keutamaan taubat yang lain adalah menjadi sebab malaikat mendoakan orang-orang yang bertaubat.
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ta’ala,
الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْماً فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ
“Para malaikat yang membawa ‘Arsy dan malaikat lain di sekelilingnya senantiasa bertasbih dengan memuji Tuhan mereka, mereka beriman kepada-Nya dan memintakan ampunan bagi orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu maha luas meliputi segala sesuatu, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu serta peliharalah mereka dari siksa neraka.” (QS. Ghafir: 7)
Kesebelas: Keutamaan taubat yang lain adalah ia termasuk ketaatan kepada kehendak Allah ‘azza wa jalla.
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ta’ala,
وَاللّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُواْ مَيْلاً عَظِيماً
“Dan Allah menghendaki untuk menerima taubat kalian.” (QS. An Nisaa’: 27). Maka orang yang bertaubat berarti dia adalah orang yang telah melakukan perkara yang disenangi Allah dan diridhai-Nya.
Kedua belas: Keutamaan taubat yang lain adalah Allah bergembira dengan sebab hal itu.
Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Sungguh Allah lebih bergembira dengan sebab taubat seorang hamba-Nya ketika ia mau bertaubat kepada-Nya daripada kegembiraan seseorang dari kalian yang menaiki hewan tunggangannya di padang luas lalu hewan itu terlepas dan membawa pergi bekal makanan dan minumannya sehingga ia pun berputus asa lalu mendatangi sebatang pohon dan bersandar di bawah naungannya dalam keadaan berputus asa akibat kehilangan hewan tersebut, dalam keadaan seperti itu tiba-tiba hewan itu sudah kembali berada di sisinya maka diambilnya tali kekangnya kemudian mengucapkan karena saking gembiranya, ‘Ya Allah, Engkaulah hambaku dan akulah tuhanmu’, dia salah berucap karena terlalu gembira.” (HR. Muslim)
Ketiga belas: Taubat juga menjadi sebab hati menjadi bersinar dan bercahaya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: Sesungguhnya seorang hamba apabila berbuat dosa maka di dalam hatinya ditorehkan sebuah titik hitam. Apabila dia meninggalkannya dan beristighfar serta bertaubat maka kembali bersih hatinya. Dan jika dia mengulanginya maka titik hitam itu akan ditambahkan padanya sampai menjadi pekat, itulah raan yang disebutkan Allah ta’ala,
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak akan tetapi itulah raan yang menyelimuti hati mereka akibat apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Muthaffifin: 14) (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dihasankan Al Albani)
Oleh karena itu, saudaraku yang kucintai…
Sudah sepantasnya setiap orang yang berakal untuk bersegera menggapai keutamaan dan memetik buah memikat yang dihasilkan oleh ketulusan taubat itu…, Saudaraku:
Tunaikanlah taubat yang diharapkan Ilahi
demi kepentinganmu sendiri
Sebelum datangnya kematian dan lisan terkunci
Segera lakukan taubat dan tundukkanlah jiwa
Inilah harta simpanan bagi hamba yang kembali taat dan baik amalnya
Tingkatan Jihad Melawan Syaitan
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: Jihad melawan syaitan itu ada dua tingkatan.
Pertama, berjihad melawannya dengan cara menolak segala syubhat dan keragu-raguan yang menodai keimanan yang dilontarkannya kepada hamba.
Kedua, berjihad melawannya dengan cara menolak segala keinginan yang merusak dan rayuan syahwat yang dilontarkan syaitan kepadanya.
Maka tingkatan jihad yang pertama akan membuahkan keyakinan sesudahnya. Sedangkan jihad yang kedua akan membuahkan kesabaran.
Allah ta’ala berfirman,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Maka Kami jadikan di antara mereka para pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami karena mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah: 24)
Allah mengabarkan bahwasanya kepemimpinan dalam agama hanya bisa diperoleh dengan bekal kesabaran dan keyakinan. Kesabaran akan menolak rayuan syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak, sedangkan dengan keyakinan berbagai syubhat dan keragu-raguan akan tersingkirkan.
Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam. Wal hamdu lillaahi Rabbil ‘aalamiin. Selengkapnya...

BERPUASA, BER'IDUL FITRI DAN IDUL ADHA BERSAMA PEMERINTAH, BUKAN BERSAMA ORGANISASI TERTENTU


BERPUASA, BER'IDUL FITRI DAN IDUL ADHA BERSAMA PEMERINTAH,
BUKAN BERSAMA ORGANISASI TERTENTU 1

Puasa Ramadhan maupun Sholat Idul Fithri / Idul Adha, adalah satu ibadah dalam Islam yang tidak sekedar ibadah, namun mempunyai nilai SYI’AR sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada masa beliau, para shahabat dan kurun para ulama salaf. Maka dalam hal ini, salah satu hal yang dilazimi para generasi salafush-sholeh (generasi terdahulu yang sholeh) tersebut, adalah bahwa penetapan awal Ramadhan, Syawwal, Dzulhijjah atau lainnya ditetapkan oleh Pemerintah (Pemimpin Negeri / waliyyul amr), dan bukan oleh individu maupun kelompok individu. Selain untuk menjaga Syi’ar Islam, juga sebagai bentuk ketaatan kaum muslimin kepada Pemerintah, sesuai perintah Nabi shallallahu alaihi wasalla.
Perlu diketahui oleh segenap kaum muslimin, bahwa sejak zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Khulafaur Rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu anhum serta penguasa-penguasa kaum muslimin lainnya, bahwa Idul Fitri (demikian pula Ramadhan maupun Idul Adha) selalu ditetapkan oleh para Waliyyul Amr (penguasa kaum muslimin). Mengapa demikian? karena puasa Ramadhan -- demikian pula Idul Fitri dan 'Idul Adha -- adalah ibadah yang bersifat kolektif bersama seluruh kaum muslimin.
Sabda Nabi shallallahualaihi wasallam :
"Puasa itu pada hari (ketika) kalian semua berpuasa, Idul Fitri adalah pada hari ketika kalian semua ber-Idul Fitri, dan Idul Adha adalah ketika kalian semua beridul adha" (Hadits Riwayat Tirmidzi dalam "Sunan”-nya no : 633 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam "Silsilah ash-shahihah” no : 224).
Menurut penuturan shahabat Anas bin Malik radliyallahu anhu, bahwa suatu ketika seorang a’rob (arab pedalaman) datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan menyampaikan bahwa dirinya telah melihat hilal (awal bulan Ramadhan), maka setelah Nabi shallallahu alaihi wasallam meminta persaksiannya (dengan syahadat, untuk membuktikan keislamannya), Beliau shallallahu alaihi wasallam memanggil Bilal dan berkata :
Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (orang-orang), bahwa besok mereka sudah bisa berpuasa (Ramadhan)(Hadits Riwayat al-Khomsah, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dalam “Subulussalaam” hal. 153).
Hadits pertama adalah arahan dari Nabi kita yang Mulia shallallahu alaihi wasallam, bahwa pelaksanaan ibadah Puasa Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, tidak sekedar berpuasa atau sholat Ied, namun harus dilaksanakan serentak oleh kaum Muslimin di suatu negeri, dan pengejawantahannya tidak ada lain adalah diwakili oleh Pemerintah negeri tersebut (Kecuali jika pemerintah suatu negeri tidak mengatur masalah ini, maka pelaksanaan syi’ar bisa saja oleh jamaah / organisasi / forum kaun muslimin di negeri tsb).
Mengapa para shahabat tidak secara individual atau berkelompok masing-masing berusaha melihat (membuktikan) adanya hilal? Mengapa penyaksi hilal tidak menetapkan untuk dirinya sendiri, akan tetapi melaporkannya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam? Mengapa Nabi shallallahu alaihi wasallam harus mengumumkannya (melalui Bilal)? Hal tersebut Semata-mata membuktikan bahwa penetapan awal Ramadhan / Syawwal / Dzulhijjah adalah kewenangan pemimpin (pemerintah suatu negeri), demi tegaknya Syi’ar Islam.
Hal ini telah dijelaskan pula oleh para Shahabat (yang notabene manusia yang paling faham terhadap Islam dari siapapun di dunia ini selain Nabi shallallahu alaihi wasallam hingga akhir dunia) maupun para ulama salaf yang sholeh dan tsiqoh (terpercaya) sebagai berikut :

Aisyah radhiyallahu anha berkata :
"Hari Raya Qurban adalah ketika manusia (orang banyak) berkorban dan hari Idul Fitri adalah ketika manusia (orang banyak) ber-Idul Fitri"
Setelah membawakan hadits di atas, Imam At-Tirmidzi berkata :
"Sebagian ulama mentafsirkan hadits ini dengan mengatakan, makna hadits ini bahwasanya puasa dan Idul Fitri dilaksanakan bersama jama'ah dan mayoritas umat Islam".
Ash-Shan'ani berkata :
"(Dalam) hadits ini terdapat dalil bahwasanya ketetapan Ied akan dianggap sah, jika sesuai dengan seluruh kaum muslimin dan bahwasanya seorang yang secara sendirian mengetahui hari Id dengan melihat (hilal), wajib baginya menyesuaikan dengan yang lainnya, dan merupakan kelaziman baginya hukum mereka dalam shalat, berbuka dan berqurban” (Subulussalam 2462).
Dalam "Hasyiyah Ibnu Majah" Abu Hasan as-Sindi berkata, setelah menyebut hadits di atas : "Yang tampak dari makna hadits ini bahwasanya hal-hal seperti ini (penentuan awal puasa, Idul Fitri dan Idul Adha) bukan urusan perorangan dan mereka tidak bisa berbuat secara sendirian, akan tetapi urusannya diserahkan kepada penguasa pemerintah (jama'ah kaum muslimin), dan wajib bagi perorangan mengikuti pemerintah dan jama'ah kaum muslimin"
Nyatalah bahwa tidak ada dalil baik dari al-Qur'an, hadits Nabi shallallahualaihi wasallam, contoh, pendapat maupun ijma' ulama salaf yang shaleh dari kalangan Sahabat, Tabi'in dan Tabi' Tabi'in bahwa penentuan awal puasa Ramadhan, Idul Fitri / Idul Adha di tangan organisasi.
Kenyataan itu (penetapan oleh Organisasi) di Indonesia, menjadikan terpecahnya Syi’ar Islam, dan tidak sedikit membuat ummat yang awam menjadi ragu (waswas), bahkan sampai ada yang terpaksa berpuasa mendahului Ramadhan utk berjaga2 jika ternyata ‘ijtihad’ mereka salah (padahal puasa mendahului Ramadhan ini adalah diharamkan oleh Nabi).
Bukankah organisasi kami juga ada pemimpinnya atau bahkan dewan syariah / fatwa yg dapat menentukan awal puasa? Ketahuilah bahwa pemimpin organisasi adalah pemimpin (baca: waliyyul amri) SEMU bagi kaum muslimin, karena disamping kalangan mereka adalah hanya sekelompok (bukan seluruhnya) kaum muslimin, namun juga urusan mereka bukanlah urusan haqiqi kenegaraan yag mengurus segala urusan kaum muslimin, sehingga penentuan awal Ramadhan / Iedul Fithri oleh mereka yang berbeda dengan penentuan oleh Pemerintah yang haqiqi, adalah bentuk pemecah-belahan dan pemadaman syiar Islam. Dan tidak seorangpun shahabat Nabi Saw maupun Ulama Salaf mencontohkannya di masa sepeninggal Nabi.
Lalu bagaimana sebaiknya? Alhamdulillah, di negeri kita (Indonesia) Pemerintah berkenan mengatur permasalahan ini (penetapan Ramadhan/Syawwal), dan kita sebagai kaum Muslimin dan rakyat yang berpegang pada Sunnah Rasulullah SAW, hanya tinggal menunggu dan mengikuti Penetapan (itsbat) Pemerintah kita, dan kita dapat beribadah dengan tenang. Syiar Islam pun tegak kokoh sebagaimana dikehendaki oleh Nabi shallallahu alihin wa sallam.
Semoga Allah meberikan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita, sehingga kita bisa melaksanakan Puasa / Ied dengan Syi’ar sebagaimana dikehendaki Rasulullah SAW.

1)       Foot Note :
Sumber utama : artikel al-Ustadz Mubarak Bamuallim, LC (Dosen ST-AI Ali bin Abi Thalib, Surabaya)
Ditulis / diedit kembali oleh Abu Muhammad
Selengkapnya...

SEMANGAT MENUNTUT ILMU

 Oleh Ali wafa Abu Sulthon


 Sebagai seorang muslim yang konsisten dalam menuntut ilmu , hendaknya kita istiqomah dalam memperlajari Ad-Dien ini di mana begitu pentingnya menumbuhkan motivasi dalam diri seseorang karena apabila motivasi telah hilang, maka ia akan enggan untuk berbuat sesuatu. Kita berada di zaman dimana banyak manusia semangatnya sudah mati, sehingga keinginan belajar ilmu syar’i semakin melemah dan kemauan untuk mengajarinya semakin menurun. Semoga Allah merahmati Ibnu Jarir ath-Thabari. Suatu saat ia pernah berkata kepada muridnya, “Apakah kalian siap menulis sejarah? “Para murid bertanya, “Berapa lembar?” Ibnu Jarir menjawab, “Tiga puluh ribu lembar.” Mereka berkata, “Ini suatu yang sulit yang menghabiskan seluruh umur.” Ibnu Jarir berkata, “La haula wala quwwata illa billah, semangat sudah mati.” Apa yang akan dikatakan Ibnu Jarir jika menjumpai masa kita ini, yang seseorang tidak dapat memaksa dirinya menulis atau menghafal tiga puluh ribu lembar. Keharusan kita untuk belajar ilmu syar’I karena ilmu ini termasuk bagian dari syari’at Allah dan juga warisan para nabi yang diberikan kepada kita. Adalah hak Beliau atas kita untuk menjaga warisannya dari kebinasaan dan kepunahan.

Cerita tentang para ulama dan para imam yang mendapat petunjuk adalah sarana terbesar untuk menanamkan keutamaan dalam jiwa demi mengobarkan semangat dan memotivasi untuk kebaikan dan ketakwaan. Ibnu Katsir bercerita tentang dirinya ketika beliau sedang menulis kitabnya “jami’ul masaanied”, “Konon aku terus menerus menulisnya dimalam hari, sedang cahaya pelita yang menerangiku terang-redup hingga akupun menjadi buta karenanya. Ja’far bin Durustuwaih berkata, “ Kami mengambil tempat duduk karena terlalu padat di sebuah majelis Ali bin Al-Madini waktu Ashar untuk kajian esoknya. Kami menempatinya sepanjang malam karena khawatir esoknya tidak mendapat tempat untuk mendengarkan kajiannya karena penuh sesaknya manusia. Saya melihat seseorang yang sudah tua di majelis tersebut kencing dijubahnya karena khawatir tempat duduknya diambil apabila ia berdiri untuk kencing.”

Ibnu Asakir ketika menyebutkan biografi seorang yang shaleh Abu manshur Muhammad bin Husain An-Naisbury berkata, “Beliau orang yang selalu giat dan semangat dalam belajar, meski dalam keadaan fakir. Sampai-sampai beliau menulis pelajarannya dan mengulangi membacanya dibawah cahaya rembulan karena tidak punya sesuatu untuk membeli minyak tanah. Walaupun beliau dalam kedaan fakir, namun beliau selalu hidup wara’ dan tidak mengambil harta yang syubhat sekalipun.

Kisah mengenai perjuangan para ulama dalam menuntut ilmu sungguh bagaikan cerita fiksi atau dongeng bagi kita saat ini karena beratnya perjalanan menuntut ilmu dan sulitnya kondisi mereka sehingga kita berpikir seolah-olah hal itu tidak mungkin terjadi pada orang-orang saat ini. Terbatasnya fasilitas baik alat komunikasi dan transportasi tidak menyurutkan motivasi mereka untuk menuntut ilmu sebagaimana perjuangan yang dilakukan oleh Sa’id bin Musayyab. Beliau berkata, “Sesungguhnya aku pernah berjalan berhari-hari dan bermalam-malam untuk mencari satu hadits.” Renungkanlah bagaimana perjuangan Imam Syafi’I yang terus bersemangat menuntut ilmu walaupun beliau hidup dalam kesulitan materi.

Imam Syafi’I menceritakan kisahnya, “Dahulu aku menyimak guru yang mengajarkan para muridnya dan aku menghafal apa yang dikatakannya. Sedangkan ibuku tidak punya apa-apa untuk membayar guru. Aku adalah seorang anak yatim. Guruku itu juga membolehkanku untuk ikut bersamanya. Para murid menulis. Sebelum guru tersebut selesai dari mendiktekan, aku telah terlebih dahulu menghafalkan apa yang aku tulis. Setelah pulang, aku mengutip tembikar, pelepah kurma dan tulang unta. Aku menulis hadits padanya dan aku pergi ke tempat belajar sambil mencari sisa-sisa kertas dan aku menyalinnya hingga penuh gentong milik ibuku dengannya.

Bayangkan! Imam syafi’I yang seorang yatim, miskin, yang hanya mampu menulis diatas sisa-sisa kertas, tulang dan pelepah kurma namun segala keterbatasan tersebut tidak membuat beliau mengeluh, putus asa dan berdiam diri dari menuntut ilmu. Perjuangan yang tak kenal lelah itu telah menjadikan beliau sebagai seorang yang memiliki ilmu yang mendalam hingga akhirnya beliau menjadi Imam kaum Muslimin, Para ulama terdahulu melakukan perjalanan jauh hingga mengelilingi negeri-negeri yang jauh untuk menuntut ilmu. Motivasi yang rendah takkan mampu menggerakkan tubuhnya walau hanya selangkah. Motivasi yang rendah hanya menjadikan dirinya santai berbaring diatas ranjang, malas melakukan aktivitas dan hanya melamun memimpikan kesenangan dialam bawah sadarnya.

Motivasi yang tinggi telah mendorong Imam Ibn Mandah untuk mengelilingi timur dan barat sebanyak dua kali. Beliau melakukan perjalanan menuntut ilmu dalam jangka waktu yang lama. Imam Ibn Mandah pergi menuntut ilmu ketika berumur 20 tahun dan kembali ketika berumur 65 tahun. Lama perjalanan menuntut ilmu beliau selama 45 tahun. Imam Ibn Mandah kembali ke negerinya setelah tua dan dia baru menikah ketika berumur 65 tahun. Kecintaan para ulama pada ilmu syar’I meyebabkan mereka rela untuk lelah berjalan, menahan lapar dan dahaga.

Imam Bukhari bercerita tentang keadaannya ketika menuntut ilmu, “Suatu ketika aku pergi mengunjungi Adam bin Abi Iyas di ‘Asqalan, namun uang belanjaku tidak kunjung datang hingga aku terpaksa memakan rerumputan dan tidak seorangpun yang tahu hal itu. Hingga memasuki hari ketiga, tiba-tiba ada seorang lelaki tidak dikenal yang mendatangiku lalu memberiku sekantung uang dinar, sambil berkata, “Pergunakanlah uang ini untuk mencukupi ke*****anmu.”

Simaklah pula kisah Abu Hatim yang mengisahkan segala ujian berat yang beliau hadapi selama menuntut ilmu, “Pada tahun 214 H aku menetap dikota Basrah selama delapan bulan dan aku telah merencanakan untuk menetap selama setahun penuh, namun aku kehabisan bekal hingga aku terpaksa menjual pakaianku satu per satu hingga tidak ada lagi yang tersisa bagiku. Akupun tetap berkeliling dengan seorang sahabatku mendatangi rumah para syaikh dan mendengarkan hadits dari mereka hingga sore. Setelah itu, temankupun beranjak dan aku pulang sendirian kesebuah rumah kosong, lalu aku cepat-cepat minum air karena begitu laparnya. Keesokan harinya, aku kembali berkeliling dengan sahabatku untuk mendengarkan hadits dalam keadaan lapar berat. Sampai ia beranjak dan aku berpisah dengannya. Keesokan harinya, sahabatku itu datang lagi kepadaku lalu mengatakan, “Ayo kita pergi mendatangi para syaikh.” Maka jawabku, “Aku sudah lemas tidak sanggup lagi..” Ia bertanya, “Kenapa?” Maka jawabku, “Aku akan berterus terang padamu; sudah dua hari berlalu dan aku belum makan sesuap pun.” Maka katanya, “Ini masih ada satu dinar, akan kuberikan setengahnya padamu atau yang setengahnya lagi kau ambil sebagai upah.” Maka kamipun meninggalkan kota Basrah setelah kuambil darinya setengah dinar.”

Begitu cintanya para ulama terdahulu pada ilmu syar’I hingga mereka rela mengorbankan jiwa dan raga karena bagi mereka ilmu syar’I merupakan harta yang sangat berharga dan permata yang mahal. Ketika para salaf memahami hal ini, mereka merasa rugi jika tidak mendapatkannya atau bersedih karena kehilangan sesuatu yang berkaitan dengan ilmu syar’i. Sebagaimana mereka merasa rugi karena kehilangan anak, istri dan hartanya. Abu Ali Al-Farisi berkata, “pernah terjadi kebakaran di Baghdad yang menghanguskan semua kitab saya, Padahal saya menuliskannya dengan tangan saya sendiri. Selama dua bulan saya tidak bisa berbicara dengan seorangpun karena diselimuti rasa sedih dan bingung. Saya terus menerus sedih dan bingung.”

Mempelajari perjuangan para ulama dalam menuntut ilmu akan menyalakan semangat yang padam kembali membara. Perjuangan mereka yang tak kenal lelah dan segala keterbatasan mereka baik moril maupun materil dalam menuntut ilmu telah menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mulia dari kalangan kaum Muslimin hingga saat ini. Para ulama salaf telah memberikan contoh yang baik dan teladan yang agung tentang bagaimana bersemangat dalam menuntut ilmu, meraihnya serta merindukannya. Mereka mengembara keluar dari negerinya dengan membawa bekal seadanya dan meninggalkan kenikmatan berkumpul bersama keluarga untuk berburu ilmu pada para ulama tanpa mengenal batas dimensi ruang dan waktu.

Kisah-kisah para ulama ketika menuntut ilmu merupakan pelajaran bagi kita sebagaimana dalam firman Allah, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf: 111)

Jika motivasi kita mulai melemah ketika menuntut ilmu, maka ada baiknya kita menengok kisah-kisah para ulama besar sehingga menumbuhkan kembali motivasi kita dalam menuntut ilmu syar’I Selengkapnya...

Bencana dan Musibah karena Dosa - Dosa dan Maksiat

 Wahai saudara - saudaraku , Pernakah kita bayangkan ketika kaum  tsamud dan Add berbuat maksiat dan dosa di mana Allah Timpakan Adzab dan Bencana kepada mereka , apakah itu karena gejala ALAM  ??????? , begitu juga musibah dan bencana kepada kita apakah itu terjadi karena Gejala ALAM ,lempengan Bumi, Global Warming ???????, Jawabannya ada pada Kitabullah dan Assunah sebagai Pedoman kita

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

Ali bin Abi Tholib –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ
Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)
Perkataan ‘Ali –radhiyallahu ‘anhu- di sini selaras dengan firman Allah Ta’ala,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

Para ulama salaf pun mengatakan yang serupa dengan perkataan di atas.
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan,
“Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)
Ibnu Rojab Al Hambali –rahimahullah- mengatakan,
“Tidaklah disandarkan suatu kejelekan (kerusakan) melainkan pada dosa karena semua musibah, itu semua disebabkan karena dosa.” (Latho’if Ma’arif, hal. 75)
Saatnya Merubah Diri
Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap hamba merenungkan hal ini. Ketahuilah bahwa setiap musibah yang menimpa kita dan datang menghampiri negeri ini, itu semua disebabkan karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Betapa banyak kesyirikan merajalela di mana-mana, dengan bentuk tradisi ngalap berkah, memajang jimat untuk memperlancar bisnis dan karir, mendatangi kubur para wali untuk dijadikan perantara dalam berdoa. Juga kaum muslimin tidak bisa lepas dari tradisi yang membudaya yang berbau agama, namun sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masih banyak yang enggan meninggalkan tradisi perayaan kematian pada hari ke-7, 40, dst. Juga masih gemar dengan shalawatan yang berbau syirik semacam shalawat nariyah. Juga begitu banyak kaum muslimin gemar melakukan dosa besar. Kita dapat melihat bahwa masih banyak di sekitar kita yang shalatnya bolog-bolong. Padahal para ulama telah sepakat –sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qoyyim- bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa besar yang lainnya yaitu lebih besar dari dosa berzina, berjudi dan minum minuman keras. Na’udzu billah min dzalik. Begitu juga perzinaan dan perselingkuhan semakin merajalela di akhir-akhir zaman ini. Itulah berbagai dosa dan maksiat yang seringkali diterjang. Itu semua mengakibatkan berbagai nikmat lenyap dan musibah tidak kunjung hilang.
Agar berbagai nikmat tidak lenyap, agar terlepas dari berbagai bencana dan musibah yang tidak kunjung hilang, hendaklah setiap hamba memperbanyak taubat yang nashuh (yang sesungguhnya). Karena  dengan beralih kepada ketaatan dan amal sholeh, musibah tersebut akan hilang dan berbagai nikmat pun akan datang menghampiri.
Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمْ وَأَنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni'mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri , dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Anfaal: 53)
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ro’du: 11)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmus sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Rujukan:

Al Jawabul Kaafi Liman Sa-ala ‘anid Dawaa’ Asy Syafii, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah,cetakan kedua: 1427 H

Kaifa Nakuunu Minasy Syakirin, ‘Abdullah bin Sholeh Al Fauzan, Asy Syamilah
Disusun oleh Ali wafa Abu Sulthon Selengkapnya...

أقسام الناس في التقوى والصبر

سئل الشيخ الإمام، العالم العامل، الحبر الكامل، شيخ الإسلام، ومفتي الأنام، تقي الدين بن تيمية أيده الله وزاده من فضله العظيم، عن الصبر الجميل والصفح الجميل، والهجر الجميل، وما أقسام التقوى والصبر الذي عليه الناس؟ فأجاب رحمه الله: الحمد لله، أما بعد فإن الله أمر نبيه بالهجر الجميل، والصفح الجميل، والصبر الجميل، فالهجر الجميل هجر بلا أذى، والصفح الجميل صفح بلا عتاب، والصبر الجميل صبر بلا شكوى، قال يعقوب عليه الصلاة والسلام: " إنما أشكو بثي وحزني إلى الله " مع قوله: " فصبر جميل، والله المستعان على ما تصفون " فالشكوى إلى الله لا تنافي الصبر الجميل.
ويروى عن موسى عليه الصلاة والسلام أنه كان يقول: اللهم لك الحمد، وإليك المشتكى، وأنت المستعان، وبك المستغاث، وعليك التكلان.
ومن دعاء النبي صلى الله عليه وسلم: " اللهم إليك أشكو ضعف قوتي، وقلة حيلتي، وهواني على الناس، أنت رب المستضعفين وأنت ربي، اللهم إلى من تكلني؟ أإلى بعيد يتجهمني أم إلى عدو ملكته أمري؟ إن لم يكن بك غضب علي فلا أبالي غير أن عافيتك هي أوسع لي، أعوذ بنور وجهك الذي أشرقت الظلمات له، وصلح عليه أمر الدنيا والآخرة، أن ينزل بي سخطك، أو يحل علي غضبك، لك الغنى حتى ترضى " .
وكان عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقرأ في صلاة الفجر " إنما أشكو بثي وحزني إلى الله " ويبكي حتى يسمع نشيجه من آخر الصفوف. بخلاف الشكوى إلى المخلوق.
قرئ على الإمام أحمد في مرض موته أن طليوساً كره أنين المرض وقال: إنه شكوى. فما أنّ حتى مات. وذلك أن المشتكي طالب بلسان الحال، إما إزالة ما يضره أو حصول ما ينفعه، والعبد مأمور أن يسأل ربه دون خلقه، كما قال تعالى: " فإذا فرغت فانصب وإلى ربك فارغب " .
وقال صلى الله عليه وسلم لابن عباس: " إذا سألت فاسأل الله، وإذا استعنت فاستعن بالله " . ولا بد للإنسان من شيئين: طاعته بفعل المأمور، وترك المحظور، وصبره على ما يصيبه من القضاء المقدور، فالأول هو التقوى والثاني هو الصبر، قال تعالى: " يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا بطانة من دونكم لا يألونكم خبلاً " إلى قوله: " وإن تصبروا وتتقوا لا يضركم كيدهم شيئاً إن الله بما يعملون محيط " ، وقال تعالى: " بلى إن تصبروا وتتقوا يأتوكم من فورهم هذا يمددكم ربكم بخمسة آلاف من الملائكة مسومين " ، وقال تعالى: " لتبلون في أموالكم وأنفسكم ولتسمعن من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم ومن الذين أشركوا أذى كثيراً، وإن تصبروا وتتقوا فإن ذلك من عزم الأمور " .
Selengkapnya...

Penyebab Terbesar Bencana Merapi

Penyebab Terbesar Bencana Merapi

Oleh: Ustadz Sofyan Chalid Ruray

Tradisi LABUHAN MERAPI yang pernah dipimpin MARIDJAN untuk menghormati KYAI SAPU JAGAT [Iblis penghuni Merapi, semoga Allah Ta'ala melaknatnya] yang mereka yakini sebagai penjaga keselamatan dan ketentraman Kesultanan dan warga Jogya, adalah bentuk SYIRIK kepada ALLAH TA’ALA dalam ULUHIYYAH dan RUBUBIYYAH sekaligus dan SEBAB TERBESAR bencana Merapi.
Betapa Allah Ta’ala tidak murka, ibadah yang seharusnya hanya dipersembahkan kepada-Nya mereka persembahkan kepada IBLIS PENGHUNI GUNUNG MERAPI. Mereka persembahkan beberapa bentuk ibadah kepadanya:
1. Memohon keselamatan kepadanya [Du'aul Mas'alah]
2. Harap kepadanya [ibadah hati]
3. Takut kepadanya [ibadah hati]
4. Tawakkal kepadanya [ibadah hati]
5. Biasanya ditambahi dengan sesajen berupa hewan sembelihan dan berbagai jenis makanan sebagai persembahan kepadanya
Ini dalam uluhiyyah [ibadah]. Adapun dalam rububiyyah, mereka yakini iblis tersebut sebagai penyelamat mereka, pelindung dan pemberi rasa aman kepada mereka. Demi Allah, tidak ada sebab bencana yang melebihi kezaliman terbesar ini. Allah Ta’ala telah mengingatkan
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا
“Dan mereka berkata, “(Allah) Yang Maha Penyayang mempunyai anak.” Sesungguhnya (dengan perkataan itu) kamu telah mendatangkan suatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, serta gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Penyayang mempunyai anak”.” (Maryam: 88-91)
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga telah mengingatkan
اجتنبوا السبع الموبقات قالوا يا رسول الله وما هن قال الشرك بالله والسحر وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق وأكل الربا وأكل مال اليتيم والتولي يوم الزحف وقذف المحصنات المؤمنات الغافلات
“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”, Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah apakah tujuh perkara yang membinasakan itu?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan harta anak yatim, memakan riba’, lari dari medan perang (jihad), menuduh berzina wanita mu’minah padahal dia tidak tahu menahu (dengan zina tersebut)”.” (HR. Al-Bukhari, no. 2615 dan Muslim, no. 272)
Lebih parah lagi, ketika mereka ditimpa musibah, bukannya kembali kepada Allah Ta’ala, bertaubat kepada-Nya dam memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, malah mereka kembali kepada juru kunci pewaris Maridjan dan kepada benda-benda [jimat] yang mereka yakini itulah yang bisa menyelamatkan mereka dari bencana.
Maka dalam hal ini, kesyirikan mereka lebih buruk dari syiriknya orang-orang musyrikin Jahiliyah dahulu [yang Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam diutus untuk MENDAKWAHI dan MEMERANGI mereka], dimana mereka (sebagian musyrikin Jahiliyah) hanya menyekutukan Allah Ta’ala ketika mereka dalam keadaan aman dan tantram, namun ketika ditimpa bencana dan membutuhkan pertolongan, mereka kembali mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka menyekutukan-Nya.” (Al-‘Ankabut: 65)
Jika mereka mengatakan, “Kami mempersembahkan upacara kepada KYAI SAPU JAGAT [maupun bertawasul dengan para nabi dan wali] hanyalah agar beliau menjadi WASILAH atau perantara untuk mendekatkan diri kami kepada Allah Ta’ala, atau agar beliau memintakan keamanan untuk kami kepada Allah Ta’ala”.
JAWABANNYA: Kesyirikan ini sama persis dengan yang dilakukan oleh kaum musyrikin di zaman jahiliyah dahulu, dimana mereka memohon kepada berhala-berhala juga agar bisa lebih dekat dengan Allah Ta’ala atau mendapat syafa’at di sisi-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَالّذِينَ اتّخَذُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاّ لِيُقَرّبُونَآ إِلَى اللّهِ زُلْفَىَ
Dan orang-orang mengambil penolong selain Allah mereka berkata: “Kami tidaklah meng`ibadati mereka melainkan supaya mereka betul-betul mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.” [Az-Zumar: 3]
Juga firman Allah Ta’ala
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” [Yunus: 18]
Namun jika kenyataannya mereka berkeyakinan bahwa KYAI SAPU JAGAD yang memberikan keamanan kepada mereka [bukan sebagai wasilah untuk beribadah kepada Allah Ta'ala dan mendapatkan keamanan dari-Nya], maka dari sisi ini pun kesyirikan mereka lebih buruk dari kesyirikan kaum musyrikin Jahilyah. Wallahul Musta’an.
Oleh karenanya kami katakan, membantu korban bencana dengan materi sangat penting. Namun sungguh jauh lebih penting dari itu adalah membantu mereka dengan MENGAJAK mereka kepada TAUHID dan SUNNAH.
Sebab, musibah yang menimpa mereka di dunia ini tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan adzab Allah Ta’ala di akhirat kelak jika mereka mati dalam keadaan menyekutukan Allah Ta’ala. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” (Al-Maidah: 72)
Juga firman Allah Ta’ala
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluq.” (Al-Bayyinah: 6)
Selengkapnya...

Kewajiban Mengamalkan Sunnah

Translate

>